20110429

Memandang Disabilitas sebagai Suatu Keunikan, Do You Think So???



-Saat seseorang menjadikan disabilitas yang dimiliki menjadi kapabilitas yang luar biasa.-

Bu Mimi & Bu Dwi Widiastri
Jumat, 29 Maret 2011. Seperti biasa pada sekitar pukul 13.15 saya masuk ke dalam kelas Komunikasi Bisnis di FEUI. Namun suasana kali ini tampak berbeda, bangku-bangku disusun berbentuk U dan ada dua kursi di depan. Seperti yang dijanjikan oleh dosen saya, Bu Dwi Widiastri, kali ini kami akan kedatangan seorang dosen tamu spesial yaitu pemilik dari Mimi Institute, Dra. V. L. Mimi Mariani Lusli, M.Si, M.A. Saat beliau memasuki ruangan, pandangan saya dan teman-teman beralih dan mungkin tidak tampak lagi kebingunggan dalam raut wajah kami karena Bu Dwi sebelumnya telah menjelaskan kondisi dari Bu Mimi.

Dra. V. L. Mimi Mariani Lusli, M.Si, M.A. adalah seorang praktisi pendidikan dan konsultan disabilitas yang ternyata memiliki disabilitas dalam hal penglihatan. Saat usianya 10 tahun penglihatannya mulai menurun, namun dokter terus memberikan harapan kepadanya dengan menyuruhnya mengkonsumsi vitamin-vitamin agar penglihatannya kembali seperti awal. Namun waktu demi waktu berlalu sampai pada usia ke 17 tahun, dokter mengabarkan bahwa penyakitnya tidak bisa disembuhkan dan masih dilakukan penelitian hingga saat ini. “Saat itu saya marah karena dokter baru sekarang mengatakannya pada saya…” ujar Bu Mimi. Tetapi ternyata seiring berjalannya waktu, beliau dapat survive dalam menjalani hidup dan saat ini menjadi salah satu orang yang fokus menangani masalah disabilitas.

Pertanyaan awal yang beliau berikan kepada kami, “apa yang kalian rasakan saat melihat orang cacat?” Jawaban-jawaban pun bermunculan, ada yang bilang ingin menolong, kasihan, hebat, merasa dirinya lebih beruntung, sedih, malu, dan lain-lain. Pada kenyataannya, kecacatan selama ini dipahami sebagai handicap, impairment, dan disability. Namun dari tiga pemahaman tersebut, kata mana yang paling tepat untuk menggambarkan kecacatan? Pertama, saat kecacatan diartikan sebagai handicap berarti kecacatan adalah suatu keterbatasan. Sedangkan keterbatasan tersebut sebenarnya tidak dimiliki oleh orang cacat saja, tetapi juga dimiliki oleh orang normal seperti kita. Kedua, jika kecacatan diartikan sebagai impairment berarti kecacatan menggambarkan sesuatu yang rusak. “Hanya retina saya yang rusak saat saya berusia 10 tahun. Retina hanya bagian dari anggota tubuh saya artinya tidak semua bagian dari tubuh saya yang rusak,” jelasnya. Ketiga, apabila kecacatan dianggap sebagai disabilitas artinya ada ketidakmampuan dalam diri seseorang. Maka kata yang paling pantas untuk menggantikan kata ‘cacat’ yang kerap kali berkonotasi negatif adalah ‘disabilitas’.

Penggunaan kata ‘cacat’ juga harus mulai ditinggalkan karena cacat itu misalnya barang cacat adalah sesuatu yang kesannya harus dibuang, sementara jika kata tersebut digunakan untuk manusia maka akan memiliki kesan kurang menghargai. Selain penggunaan kata ‘cacat’, penggunaan kata ‘tuna’ juga harus dipertimbangkan lagi untuk digunakan. Tuna = Tanpa. Bu Mimi menyatakan, “saya punya mata kok, hanya tidak dapat berfungsi jadi saya bukan tuna netra (tanpa mata).”

UU No 4 Th 1997 tentang penyandang cacat di Indonesia sudah lama, namun hanya segelintir orang yang mengetahui  keberadaannya. Ada beberapa alasan yang mendasari kurang dikenalnya undang-undang tersebut, yaitu kurangnya kepedulian orang di Indonesia terhadap sesama yang memiliki disabilitas dan pemerintah yang kurang dalam melakukan sosialisasi (membuat undang-undang sekedar disimpan dalam laci). International Classification Function (ICF) dari PBB menyatakan bahwa disabilitas mengakibatkan seseorang memiliki body disfunction, activity limitation, participation restriction, personal, and environment. Bu Mimi kembali mencontohkan dirinya dimana dia tidak dapat berpartisipasi di dalam kelas bukan karena lemahnya intelegensi yang dimiliki, tetapi adanya disabilitas yang memutuskan jembatan komunikasinya dengan guru. Misalnya saat guru hanya menggunakan kalimat : “Ini dikali ini sama dengan?”, maka akan ada kesulitan untuk menjawab pertanyaan tersebut karena keterbatasan tidak bisa melihat apa yang ditulis di papan. Hal ini tentu akan berbeda saat guru menggunakan kalimat : “Dua dikali tiga sama dengan?”

Indonesia bersama 154 negara lain ikut serta dalam menandatangani Convention on the Right of Person with Disability (CRPD) pada tahun 2007 di Jenewa sehingga seharusnya memiliki tanggung jawab unttuk menyediakan fasilitas bagi penyandang disabilitas, namun hal ini belum terlihat nyata. Sarana pendukung aktifitas bagi penyandang disabilitas masih terbatas di Indonesia dan hal ini berbeda dengan apa yang telah dilakukan diluar negeri dimana terdapat ’Layanan Disabilitas’, misalkan (1) saat ingin berbelanja dapat menelpon supermarket lalu penyandang disabilitas akan ditemani berbelanja dan (2) fasilitas umum seperti kendaraan umum yang memiliki tempat duduk khusus bagi penyandang disabilitas dimana masyarakatnya juga memiliki kepeduliaan dengan mengutamakan fasilitas tersebut bagi yang benar-benar membutuhkan. Hal ini berbeda menurut Bu Mimi dengan kondisi di Indonesia, masyarakat bahkan masih banyak yang bersikap acuh seperti saat penyandang disabilitas penglihat menyebrang jalan bukannya membantu tapi malah meneriaki dengan kalimat tidak sopan seperti “Woy mata lo kemana?” atau “Heh gak ngelihat ya?”. Kesadaran untuk menghargai dan menghormati sesama harus ditumbuhkan secara pribadi, tentu tidak dapat diipaksakan pada masing-masing individu. Mungkin ada satu kunci versi saya agar orang dalam kondisi normal memahami kondisi para penyandang disabilitas : “Tanyakan pada diri anda sendiri, bagaimana anda saat berada pada posisi mereka yang terbatas dalam penglihatan, pendengaran, atau keterbatasan-keterbatasan lainnya.”

Pertanyaan selanjutnya yang beliau ajukan, “Saya unik atau abnormal?”. Saat semua menjawab ‘unik’ maka beliau mulai menanyakan alasan mengapa orang mengatakan dirinya unik. “Setiap orang pasti unik karena diciptakan berbeda oleh Tuhan. Coba teman-teman bayangkan, teman-teman kalau baca pakai mata sedangkan saya membaca pakai tangan. Artinya, saya bisa melihat tetapi dengan cara berbeda.” Begitu pula dengan penyandang disabilitas lainnya juga memiliki keunikan. Orang yang tidak dapat mendengar, membaca apa yang dikatakan orang melalui matanya. Orang yang tidak berjalan, kalau normalnya dengan kaki maka mereka dapat berjalan dengan roda. Keunikan itu sendiri sebenarnya wujud dari bhineka tunggal ika yang selama ini mengkoar-koarkan toleransi dalam kehidupan. Disabilitas, sesuatu yang unik bukan?

Tentu tidak ada seorang pun yang ingin dilahirkan dalam kondisi terbatas. Keterbatasan itu dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu pre natal, natal, dan past natal. Pre natal adalah kondisi sebelum kelahiran atau pada masa kehamilan misalnya disebabkan oleh keturunan, virus, saat pembuahan janin, atau suami merupakan perokok berat sehingga memang disabilitas pada anak tidak dapat disalahkan secara penuh kepada pihak perempuan. Natal merupakan kondisi saat kelahiran misalkan anak yang lahir prematur lalu terlalu lama di dalam inkubator dengan mata yang tidak tertutup kain hitam sehingga bisa menyebabkan disabilitas penglihatan. Past natal lebih luas lagi pada masa kehidupan seseorang misalnya kecelakaan.

Disabilitas merupakan isu lintas sektoral, bukan hanya sekedar memberikan belas kasih atau charity tetapi bagaimana menghargai mereka yang hidup dalam keterbatasan. Penanganan disabilitas selama ini dibedakan menjadi dua, yaitu model medis dan model sosial. Dalam penerapannya, model sosial yang dianggap paling utama. Lingkungan yang perlu berubah untuk menyesuaikan dengan para penyandang disabilitas karena didalamnya terdapat berbagai variabel, namun hal ini bukan berarti para penyandang disabilitas tidak mau melakukan perubahan, hanya saja mereka tidak mampu untuk melakukannya sehingga membutuhkan aksesbilitas. UUD 1945 Pasal 28 merupakan dasar untuk menjelaskan kewajiban dalam memberikan aksesbilitas bagi mereka.

Lingkungan keluarga memainkan peran sentral dalam menyokong semangat para penyandang disabilitas tersebut. Bu Mimi mengungkapkan, “tidak mudah untuk melabel diri sebagai seorang tuna netra. Awalnya setiap kali ditanya hanya bisa menangis, namun karena keluarga saya menjadi sedikit demi sedikit terbiasa menjalani kehidupan. Mereka membuat saya menjadi lupa dengan kondisi ini…” Saat Bu Mimi divonis dokter tidak bisa disembuhkan, orangtuanya tidak lantas menyalahkan dirinya. Sebaliknya, mereka mengatur berbagai kegiatan sehingga membuat dirinya tidak bengong di rumah. Dari hal-hal kecil yang dilakukan orangtuanya, Bu Mimi menjadi terbiasa menghafal hal-hal disekitarnya sehingga saat penglihatannya benar-benar mulai menghilang maka tidak terlalu menyulitkannya dalam beraktifitas, meskipun memang membutuhkan bantuan orang disekitarnya sebagai fasilitator.

Satu hal lagi yang menarik dari sosok Bu Mimi dan sekaligus cambuk bagi para mahasiswa untuk menjadi lebih bersemangat dalam belajar. Bayangkan bagaimana seseorang dengan disabilitas penglihatan bisa menyelesaikan pendidikan sampai pada S3? Tentu bukan hal mudah jika dibandingkan apabila hal tersebut dilakukan oleh orang normal. Saat SMA, Bu Mimi meminta tolong kepada teman-temannya untuk membacakan buku lalu dia akan merekamnya dengan tape recorder sehingga akan lebih mudah untuk belajar materi yang sama tanpa harus minta tolong dibacakan kembali. Menginjak S1 tentu materi kuliah semakin banyak dan tidak mungkin baginya meminta tolong teman untuk membacakan karena setiap kali ujian bisa dari tiga buku bahkan. Akhirnya setiap 3 minggu sebelum ujian, Bu Mimi selalu menanyakan pada dosen tentang bab-bab mana saja yang akan keluar pada ujian sehingga lebih spesifik bagi dirinya untuk belajar. Akhirnya timbullah simbiosis mutualisme antara Bu Mimi dan teman-temannya sehingga teman-teman Bu Mimi dengan senang hati membantunya belajar dan Bu Mimi dengan senang hati membagi bab berapa saja yang akan menjadi bahan ujian sehingga semuanya mendapat nilai yang baik. “Semua orang bisa mendapatkan keuntungan dari saya,” ucapnya disambut gelak tawa seisi kelas.

Pada penutup sesi, Bu Mimi mengajarkan pada kami tentang bagaimana membantu orang dengan disabilitas penglihatan. Pertama, menawarkan bantuan. Kedua, mengetahui bantuan apa yang dibutuhkan, Ketiga, mengenali karakteristik dari orang tersebut. Selain itu, beliau juga memberitahu bahwa orang dengan tongkat yang memiliki strip merah menandakan orang tersebut mengalami disabilitas penglihatan. Lebih dalam lagi, beliau melakukan simulasi dengan bantuan Diandra, salah satu mahasiswi kombis, untuk memperagakan bagaimana menuntun orang dengan disabilitas penglihatan. Rumus pentingnya adalah 3S yaitu Sapa, Sentuh, dan Salam. Sentuhan dilakukan di bahu tangan agar tidak membentuk hal-hal negatif.

Dari cerita saya yang panjang ini, satu hal yang saya rasa pantas untuk diberikan pada Bu Mimi, yaitu Inspirasional. Sosok itu mampu mengubah disabilitas menjadi kapabilitas. Bahkan beliau bisa membuat buku dengan judul “Helping Children with Sight Loss”. Sangat hebat, bukti bahwa orang dengan disabilitas tidak pantas untuk dipandang rendah. Mereka memiliki keunikan, yang tidak kita miliki sebagai orang biasa. Tugas kita adalah menjadikan mereka sosok yang positif sehingga bisa membangkitkan semangat mereka untuk terus berjalan menjalani hidup ini, menjadi lebih berarti.

 Oleh : Alia Noor Anoviar
Depok, 29 April 2011. Kelas A103.
Kelas Komunikasi Bisnis yang tidak sekedar mengajarkan cara berkomunikasi,
tetapi juga mendatangkan inspirasi berbeda setiap pertemuannya :D
Big Thanks to Ms. Dwi Widiastri

20110423

Menanti Kepastian Kebijakan Tentang Pemilihan Kepala Daerah


Tahun 1998 dapat dikatakan sebagai masa political opening, yaitu masa dimana demokrasi dianggap sebagai sistem yang mendasari ketatanegaraan. Pada masa ini, paket undang-undang politik disesuaikan dengan kondisi sistem demokrasi sehingga Komisi Pemilihan Umum (KPU) dituntut untuk independen. Pemilihan umum terhadap presiden dan wakil presiden diadakan secara langsung pada tahun 2004 hingga akhirnya Susilo Bambang Yudhoyono terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia pertama yang dipilih langsung oleh rakyat. Hal tersebut ternyata menjadi cikal bakal lahirnya wacana mengenai pemilihan langsung kepala daerah. Per juni 2005 dilaksanakanlah pemilihan langsung terhadap Gubernur, Bupati, dan Walikota. 
Namun ternyata, berbagai persoalan pun muncul setelah diberlakukannya kebijakan mengenai pemilihan langsung kepala daerah. Pada awal tahun 2010 muncul keluhan yang berasal dari Darmawan Fauzi, Menteri Dalam Negeri RI, yang dikenal dengan ungkapan Paradoks Pilkada. Paradoks pilkada mengacu pada pengertian dimana pilkada semata-mata digunakan untuk kepentingan dan kekuasaan, tidak berhubungan untuk mewujudkan tujuan esensial pilkada yaitu peningkatan tata kelola dan peningkatan peran publik serta terwujudnya demokrasi. I Gusti, anggota KPU, berpendapat bahwa pilkada harus dihapuskan lalu diganti dengan format pemilu legislatif dan presiden sehingga partai yang menang dapat memberikan perwakilan di daerah. Keuntungan yang akan diterima adalah dapat menghemat biaya pilkada mencapai 13 triliun yang selama ini digunakan hanya untuk pengawasannya; pemerintahan menjadi lebih efektif; dan tidak terjadi konflik horizontal.

Selain itu dalam pelaksanaannya, timbul berbagai permasalahan menyangkut pilkada. Pertama, pilkada dianggap mencederai konstitusi seperti yang dinyatakan oleh Siti Zuhro, Peneliti Senior LIPI, seharusnya yang dipilih secara langsung hanya kepala daerah tidak termasuk wakil kepala daerah. Oleh karena itu, awalnya peraturan pilkada dan desa menjadi bagian dari UU No 32 Tahun 2004, namun terdapat tuntutan yang meminta agar peraturan mengenai pilkada dan desa dikeluarkan. Pada tahun 2007 dibentuklah team pakar yang terdiri dari lima orang ahli untuk melakukan perumusan RUU Pilkada. Terdapat berbagai isu menyangkut pilkada yang tengah dibahas hingga saat ini, yaitu pemilihan gubernur apakah harus langsung atau tidak; pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah perlu berpasangan atau tidak; wakil kepala daerah apakah perlu dipilih secara langsung; pelaksanaan pilkada dan pengadilan pilkada; serta e-voting. Sebenarnya yang dibutuhkan bukanlah e-voting, namun e-counting sehingga penghitungan suara akan lebih 
transparan, cepat, dan meminimalisasi adanya penggelembungan suara.

Kedua, pilkada seringkali menimbulkan berbagai kericuhan dalam masyarakat dengan timbulnya konflik bahkan berujung pada anarkisme. Telah dilaksanakan evaluasi terhadap pilkada pada tahun 2005 – 2008 dimana menunjukkan bahwa persentase terjadinya konflik pilkada di Indonesia masih lebih kecil dibandingkan persentase tidak terjadinya konflik, namun media seringkali melakukan ekspose terhadap konflik pilkada sehingga opini masyarakat pun terbentuk dimana menganggap pilkada selalu menimbulkan kericuhan. Kericuhan serta pelanggaran-pelanggaran selama pilkada seringkali dianggap sebagai tanggung jawab dan kesalahan dari KPU. Hal ini dibantah oleh I Gusti, menurutnya data yang didapat menunjukkan bahwa dari 244 daerah hanya terdapat empat lokasi yang mengalami kasus anarkis dimana hanya dua diantaranya yang terbukti merupakan kelalaian KPU  sehingga tidak dapat dikatakan bahwa KPU yang bertanggung jawab atas semua kekisruhan pilkada. Posisi KPU dalam pilkada adalah sebagai user dimana menunggu kebijakan pemerintah dan memiliki tugas meyakinkan pemerintah untuk mengadakan pemilu yang lebih baik serta menampung keluhan-keluhan masyarakat yang terkait pemilu untuk diselesaikan.

Ketiga, biaya pilkada yang tinggi menimbulkan konsekuensi adanya keinginan dari kepala daerah maupun wakil kepala daerah terpilih untuk mendapatkan pengembalian atas biaya pilkada yang telah dikeluarkan selama masa pemilihan. Hal ini tentu bukan rahasia lagi dimana terdapat beberapa pemimpin daerah yang berakhir di meja hijau akibat kasus korupsi yang dilakukan. Secara logika sederhana menurut Ikhsan Darmawan, Dosen FISIP UI, terjadinya korupsi di kalangan pemimpin daerah menjadi sesuatu yang wajar saat membandingkan antara gaji dan tunjangan yang diterima tidak sesuai dengan biaya yang telah dikeluarkan. Oleh karena itu biaya pilkada harus diperjelas, dalam hal ini terdapat tiga tipe biaya yang harus dikeluarkan saat pilkada yaitu biaya pembiayaan pilkada yang berasal dari APBD setiap daerah; biaya yang dikeluarkan oleh calon yang seringkali secara tertulis dilarang namun nyatanya keluar dan biaya ‘sewa perahu’ untuk partai politik; serta biaya kampanye yang selama ini dibebankan kepada calon kepala daerah. “Solusi yang mungkin ditawarkan adalah pengaturan biaya kampanye maksimal serta transparansi dimana dilakukan audit yang akan menghasilkan laporan auditor independen. Selanjutnya laporan tersebut harus disikapi oleh KPU. Kompetensi dari ketua maupun anggota KPU juga harus jelas dimana dilakukan seleksi tanpa intervensi partai politik dan netralitas harus dijaga dengan tidak memasukkan unsur partai.” Ujar Ikhsan Darmawan.

Hal senada diutarakan oleh Siti Zuhro dimana pilkada dengan biaya besar harus ditiadakan, “Politik transaksional harus dipotong. Saat proses pilkada telah terdistorsi maka semua tahapan akan bersifat transaksional dimana terdapat investasi pilkada sehingga kepala daerah terpilih nantinya saat berkuasa tidak leluasa untuk mewujudkan tujuan utama, energinya akan terkuras untuk mengembalikan sumberdaya yang telah dikeluarkan.” Lalu apakah biaya politik yang tinggi tidak bisa dihindari? “Pertanyaan tersebut hendaknya ditanyakan kepada partai politik. Selama ini Partai membutuhkan program yang bersentuhan dengan massa atau dapat dikatakan konkret-duit.” Siti Zuhro mencontohkan Suyoto, Bupati Bojonegoro, yang merupakan salah satu contoh kepala daerah yang fenomenal karena memahami bagaimana berkomunikasi dengan low cost dan berasal dari kalangan independen. Dalam kepemimpinannya dia dikenal sangat transparan, salah satu bentuknya adalah setiap hari jumat dilaksanakan dialog interaktif dengan masyarakat di Pendopo Malowopati Bojonegoro dengan mendatangkan seluruh pimpinan dinas yang berada wilayahnya. Hal ini menjadi salah satu bukti bahwa tidak selamanya politik transaksional menang. Bertolak belakang dengan pilkada di Kabupaten Bojonegoro, pada awal 2010 di Mojekerto pada tataran awal pilkada saja telah terjadi amuk massa.

Pemerintah pusat diharapkan mampu melakukan pengawalan terhadap pilkada secara langsung yaitu bagaimana dapat mempertahankan dan menunjukkan kesatuan. Saat ini kembali timbul wacana untuk mengembalikan sistem pilkada ke semula yaitu kepala daerah dipilih oleh DPRD setempat. Siti Zuhro menanggapi wacana tersebut dengan memberikan saran hendaknya dilakukan evaluasi kinerja disentralisasi sehingga dapat diputuskan kebijakan mengenai pilkada yang seperti apa yang relevan untuk diterapkan. Menurut peneliti senior LIPI tersebut seharusnya pilkada hanya dilakukan di level provinsi dan pemilihan kepala daerah di level kabupaten atau kota dikembalikan saja kepada DPRD. Selain itu makna dari pilkada harus diluruskan, tidak memaksakan kehendak di level bawah, serta salto-salto politik yang selama ini dilakukan dianggap terlalu beresiko. “Apabila ingin melakukan trial and error seharusnya di level provinsi saja.” Ungkapnya. Pilkada yang dilakukan di 491 kabupaten/kota mungkin membosankan sehingga dengan meminimalisasinya akan mengurangi konflik horizontal yang mewabah dimana pemimpin selama ini terkesan hanya siap menang dan berkuasa.

Ikhsan Darmawan berpendapat bahwa pilkada yang ada saat ini dapat dikatakan belum siap dan dilematis terutama dengan tidak adanya evaluasi khusus dari pemerintah yang dalam hal ini adalah Depdagri. Kunci pembenahannya adalah memperketat undang-undang yang mengatur mengenai partai politik, terutama menyangkut biaya ‘sewa parahu’. Hal-hal yang selama ini masih membingungkan seperti masalah pencalonan, kampanye, netralitas birokrasi, dan sanksi terhadap aturan juga harus segera dibenahi. Harus pula dibedakan antara daerah yang telah siap dengan daerah yang belum siap melakukan pilkada karena setiap daerah belum tentu memiliki persebaran sumber daya yang merata. Dijelaskan lebih lanjut oleh Ikhsan Darmawan, “apabila dikembalikan kepada DRPD memang biayanya akan lebih rendah, meskipun tetap pasti akan ada uang yang harus dikeluarkan. Namun sebenarnya pilkada langsung lebih baik untuk diterapkan, hanya saja perlu adanya perbaikan pada undang-undang yang mengatur sehingga tidak terlalu longgar dan menimbulkan intepretasi yang bias.” 
Oleh : Alia Noor Anoviar
Bagian dari tulisan ini dimuat di Economica 45

Mempertanyakan Nasionalisme Masyarakat Indonesia pada Era Globalisasi

Airmata kembali mengalir, menetes membasahi pipi
Saat melihat rekaman kelam di tengah kepungan penjajah negeri
Sekuat tenaga memperjuangkan hak yang terampas dan dikebiri
Atas nama nasionalisme yang memburu dalam sanubari

Nasionalisme dalam bahasa yang sederhana diartikan sebagai rasa cinta tanah air dan bangsa, diantaranya direfleksikan dalam bentuk sikap patriotisme. Pengertian nasionalisme dibagi menjadi dua, yaitu nasionalisme dalam arti luas yaitu cinta tanah air, bangsa, dan negara tanpa memandang rendah keberadaan bangsa dan negara lain. Sedangkan dalam arti sempit disebut dengan chauvimisme yaitu cinta tanah air, bangsa, dan negara dengan memandang rendah keberadaan bangsa dan negara lain. Bentuk-bentuk nasionalisme antara lain sivik, etnik, romantik, budaya, kenegerian, dan keagamaan. Sejak duduk di bangku taman kanak-kanak hingga di tingkat universitas sekiranya sudah familiar dengan istilah ini melalui pendidikan kewarganegaraan, namun dalam prakteknya entah mengapa sulit mengaplikasikan sikap nasionalisme dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Bahkan mungkin beberapa diantara masyarakat sebenarnya tidak benar-benar memahami makna dari nasionalisme.

Memaknai nasionalisme sebenarnya bukan perkara yang sukar, tetapi juga bukan perkara yang mudah. Bahkan orang-orang yang memiliki hubungan dekat dengan pemerintahan acap kali dianggap tidak memiliki jiwa nasionalisme, salah satu buktinya adalah tergadainya nasionalisme seseorang karena materi semata. Saat ini masyarakat Indonesia berjuang atasnama nasionalisme tidak lagi menggunakan kayu atau bambu, tetapi menggunakan otak dengan menelurkan ide cemerlang bukan lagi untuk merebut, namun untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah diperjuangkan pejuang 65 tahun lalu. Sebagaimana pejuang sebelum kemerdekaan menunjukkan nasionalisme-nya, sudah seharusnya dan menjadi kewajiban bagi generasi muda untuk juga melakukan hal yang sama bagi bangsa dan negara Indonesia.

Mengapa nasionalisme seolah-olah menjadi hal yang sangat penting? Saat ini bangsa-bangsa di seluruh dunia sedang berada pada era globalisasi. Dalam menghadapi globalisasi terdapat tiga hal yang harus dimiliki oleh warga negara suatu negara, yaitu iman dan taqwa, kualitas diri, serta nasionalisme. Globalisasi dapat menjadi tolak ukur apakah seorang warga negara memiliki jiwa nasionalisme atau tidak. Hal lain yang menjadikan nasionalisme penting di Indonesia karena sesuai dengan sila ketiga Pancasila yang mengandung nilai-nilai persatuan bangsa dimana Pancasila merupakan ideologi negara Indonesia. Ideologi adalah ilmu tentang gagasan ideal yang dijadikan pedoman dalam mencapai tujuan bersama. Artinya, nasionalisme di Indonesia merupakan salah satu alat yang dianggap ideal sebagai pedoman guna mencapai tujuan bersama.

Dalam kerangka yang telah dibahas, pengaruh globalisasi di berbagai bidang kehidupan seperti kehidupan politik, ekonomi, ideologi, dan sosial budaya akan mempengaruhi nilai- nilai nasionalisme terhadap bangsa secara positif maupun negatif. Misal pada aspek globalisasi sosial budaya ditunjukkan dengan meniru etos kerja yang tinggi serta ilmu pengetahuan dan teknologi dari bangsa lain yang telah maju sehingga dapat meningkatkan kemajuan bangsa yang pada akhirnya mampu mempertebal rasa nasionalisme seseorang terhadap bangsa. Aspek lain yaitu globalisasi politik dimana saat pemerintahan dilaksanakan secara jurdil, dinamis, dan demokratis maka akan menimbulkan kesan positif dari masyarakat suatu negara yang direalisasikan dengan meningkatnya rasa nasionalisme terhadap negara. Selain itu, globalisasi ekonomi pun menghadirkan sisi positif dengan membuka lebar kesempatan kerja dan peningkatan devisa negara saat suatu negara mampu memanfaatkan peluang yang ada sehingga kesejahteraan masyarakat meningkat dan pada akhirnya semakin memupuk nasionalisme masyarakat. Namun juga berdampak negatif dimana mampu melunturkan nasionalisme terhadap produk dalam negeri akibat produk luar negeri yang dianggap lebih murah, berkualitas, serta menimbulkan prestige. Secara logis bila melihat kondisi dimana banyak dari masyarakat Indonesia yang dapat dikategorikan miskin oleh Bank Dunia, tentu akan memilih produk dengan harga lebih murah tanpa memandang negara penghasilnya. Terjadi bukan karena rendahnya nasionalisme yang dimiliki, namun situasi yang tidak memungkinkan untuk membeli produk nasional. Dampak sosial budaya yang terlihat jelas akibat globalisasi adalah identitas diri yang terlupakan sebagai bangsa Indonesia dengan meniru budaya barat yang dianggap lebih modern dan dinamis. Bahkan masyarakat cenderung menyukai pakaian ala selebritis yang beraksen barat dibandingkan busana khas budaya timur dan pergeseran dalam cara berbicara masyarakat yang lebih bangga saat bisa berbahasa asing dibandingkan berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Globalisasi pun menyuburkan sikap individualisme di kalangan masyarakat sehingga semakin tidak peduli dengan kehidupan bangsa dan negara.

Globalisasi di berbagai bidang yang telah disebutkan di atas telah membuka pandangan masyarakat secara global dan memang tidak secara langsung mempengaruhi nasionalisme, tetapi secara keseluruhan dapat mengikis nasionalisme yang dimiliki masyarakat suatu negara. Globalisasi hendaknya dijadikan sebagai inspirasi untuk berbuat lebih baik bagi bangsa dan negara dimana memuat segala sisi positif yang ada. Efek negatif yang terkandung di dalamnya memang sulit untuk terelakan, namun masyarakat semestinya lebih selektif dalam mengadopsi buah dari globalisasi sehingga meminimalkan lunturnya nasionalisme yang dimiliki seorang warga negara serta mengatisipasi terganggunya stabilitas nasional, ketahanan nasional, serta persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.

Pepatah mengatakan bahwa lebih baik mencegah daripada mengobati. Setelah menelaah berbagai dampak negatif globalisasi yang berpotensi melunturkan nasionalisme masyarakat terutama generasi muda, apakah kita akan mendiamkannya sehingga akan memperlemah perkembangan bangsa dan negara Indonesia? Tentu sebagai generasi penerus bangsa akan menjawabnya dengan lantang, “TIDAK !!!”. Perlu adanya langkah-langkah antisipasi untuk menghalau pengaruh negatif globalisasi terhadap nilai-nilai nasionalisme masyarat Indonesia sehingga masyarakat tidak kehilangan kepribadian sebagai bangsa Indonesia. Jangan sampai suatu saat nanti kita mendengar masyarakat dari negara lain mempertanyakan nasionalisme masyarakat Indonesia di era globalisasi. Butuh waktu memang untuk kembali mempertebal nasionalisme masyarakat Indonesia seperti dahulu kala sebelum kemerdekaan tergengam di tangan, tetapi kita harus yakin bahwa kita bisa mengembalikan semangat nasionalisme yang kini tengah tekikis oleh arus globalisasi.

Dan akhirnya, 65 tahun sudah kemerdekaan menjadi milik sendiri
Bersama nasionalisme yang tergengam, menggelora dalam hati
Kuniatkan untuk mempertahankannya sampai mati
Dan tak akan kubiarkan globalisasi melunturkan perjuangan pejuang negeri.

Oleh : Alia Noor Anoviar
Dimuat dalam Bunga Rampai FEUI, 2010

Deretan Curahan Hari Sang Presiden, Catatan Pasca 7 Tahun Kepemimpinan

Penulis hanya menulis, bukan berarti sinis atau mencoba membuat pembaca berprasangka negatif. Tulisan ini bisa dikatakan curahan hati balasan penulis (aku) sebagai bagian dari rakyat setelah mendengar berbagai curahan hati Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Presiden dianggap tidak menambah nyaman kondisi, tetapi menambah ruwet persoalan negeri dengan curahan hati pribadi.

“Penguasa itu diamanatkan oleh Tuhan pertama-tama dan terutama agar mereka menjadi penjaga yang baik (good guardians) sebaik seperti terhadap anak mereka sendiri.” –Plato-
Curahan Hati Sang Presiden[2]

“Seseorang memang bisa menjadi penguasa atau merebut kekuasaan. Tapi, dia belum tentu mampu merebut identitas sebagai negarawan. Seseorang yang berkuasa, asalkan bisa berkuasa atau menguasai, belum layak mendapat gelar sebagai negarawan. Negarawan memang tidak harus menjadi penguasa, tapi penguasa harus menjadi negarawan. Roda kehidupan bermasyarakat dan bernegara akan berjalan normal dan mencapai apa yang diobsesikan jika masyarakat dan negara ini mempunyai penguasa yang negarawan,” terang Bashori Muchsin.

Jika demikian, apakah penguasa di Indonesia adalah negarawan? Atau dia hanya sekedar penguasa yang tidak dapat diberi embel-embel negarawan? Terlepas dari apakah SBY penguasa yang juga negarawan atau tidak, sudah banyak hal yang dilakukannya untuk membela kepentingan rakyat. Seperti yang dicitrakannya selama ini dan tentu diceritakannya beberapa kali melalui curahan hati colongan pada berbagai kesempatan.

Aku hanya bisa menyaksikan lika-liku kepemimpinan presiden di negeriku. Bagaimana awalnya beliau dipuja hingga kini dicaci seolah tak ada harganya. Ketegasan yang ditunjukkannya dalam berbagai kesempatan, juga termasuk pengusutan kasus-kasus korupsi sampai menyangkut nama besannya, namun dia terlihat tidak gentar menindak dan meminta aparat bekerja dengan jurdil. Hingga akhirnya pada titik dimana rakyat melihat kinerja sang presiden semakin menurun dan menyurutnya ketegasan yang dulu pernah diteladankan.

Ini menjadi salah satu bukti bagaimana kejayaan tidak akan pernah abadi, selalu berganti, dan tentunya diinginkan oleh berbagai kalangan sehingga mereka selalu mencari celah untuk merebutnya. Roda itu selalu berputar, kadang berada di atas dan kadang berada di bawah. Mungkin seperti itulah gambaran perjalanan yang ditempuhnya sebagai presiden di negeri yang sebenarnya sangat kaya ini.

“Dulu kami memilihnya atas dasar kepercayaan. Namun kini, kepercayaan itu telah pudar. Kami pun berkoar-koar menuntutnya untuk lengser jabatan. Dan taukah kalian apa yang dilakukannya? Dia bernyanyi menyuarakan gelisah diri. Berusaha mengetuk kembali pintu hati kami yang telah terkunci.”

Penulisan kata-kata ‘Jujur, Adil, dan Tegas’ di atas atap gedung kura-kura anggota legislatif, akhir Juli 2010, oleh seorang aktor kawakan merupakan salah satu bukti bagaimana rakyat di negaraku mengalami kekecewaan pada pemimpinnya. “Saya kecewa karena dia (presiden) tidak bisa diandalkan lagi. Ia lebih banyak diam melihat persoalan di negara ini,” begitu ucap sang pelaku. Lebih ironi lagi, pelaku mengaku merasa bersalah karena menjadi juru kampanye sang presiden pada Pemilu 2004 lalu. Entah mengapa sikap seperti itu ditunjukkannya, murni karena merasa kecewa dengan polah kepemimpinan pemimpin yang sempat didukungnya atau karena dia tidak mendapatkan apa yang diharapkan setelah menjadi jurkam.

Seperti yang kita ketahui, baru-baru ini terjadi persitegangan antara negeriku dengan negeri tetangga, hingga kembali memunculkan kesangsian rakyat terhadap ketegasan pemimpinnya. Pernyataan tersebut datang dari salah satu anggota legislatif yang berbunyi, “Saya baru dapat informasi mengenai presiden yang mengirimkan surat ke pemerintah Malaysia, terkait pernyataan mereka yang berang dengan Indonesia. Saya tidak tahu apa isi surat itu, semoga itu nota protes. Kalau memang presiden mengirimkan surat nota protes maka seluruh rakyat akan berterima kasih, namun kalau tidak artinya semakin mempertegas kalau sikap pemerintah sangat lembek dalam menyikapi permasalahan ini.”

Sebegitu tidak percayakah rakyat kini dengan pemimpinnya? Atau kepercayaan itu semakin lama semakin tergerus akibat ketidakpastian yang disuguhkan presiden kepada rakyatnya? Kini bahkan rakyat mulai menyebut presidennya ‘lembek’ secara terang-terangan di berbagai media massa. Komentar salah seorang rakyat yang nelangsa melihat kondisi negerinya, di salah satu situs internet, “Presiden terbukti orangnya lembek. Mereka aja terus ngeledek. Laut Ambalat mereka mau pasang gedhek. Peta RI dibiarkan dirobek-robek.”

Kekecewaan tidak hanya datang dari satu bagian rakyat, mayoritas dari mereka kini mulai berteriak. Menuntut janji-janji manis yang sempat terucap dan belum terjamah. Memohon realisasi dari berbagai rencana yang tersusun rapi di hadapan rakyat dahulu kala. Rakyat pun semakin kecewa, saat presiden mulai sering menorehkan kata-kata yang mereka anggap tidak penting. Berbagai kalangan menyebutnya sebagai ‘Diary Sang Presiden’ dimana malah terkesan sesuai dengan pribahasa ‘mencoreng arang di muka sendiri’.

Masih ingatkah kalian dengan pengeboman Hotel JW Marriot dan Hotel Ritz Carlton pada tahun 2009 di Mega Kuningan? Presiden berkesiap membuka suara di depan umum, lalu menunjukkan secara demonstratif bukti foto-foto yang mengindikasikan teror tersebut sebenarnya mengarah pada aksi pembunuhan pada dirinya. Muncullah kalimat-kalimat dari sang presiden yang memunculkan kegelisahan mengenai keberadaan drakula politik, lalu juga pemain-pemain pemilu 2009 yang tidak puas akan kemenangannya hingga dikukuhkan sebagai presiden. Namun, elemen-elemen radikal seperti yang diduga presidenku itu memang sampai saat ini tidak terbukti keberadaannya hingga saat ini.

Curahan hati sang presiden acap kali terdengar. Salah satu pernyataannya, "Ada yang membawa kerbau, Presiden badannya besar, malas dan bodoh seperti kerbau, dibawa itu, apa ya itu unjuk rasa sebagai ekspresi kebebasan, lantas foto diinjak-injak, dibakar-bakar di mana-mana di daerah, silakan dibahas dengan pikiran yang jernih, menyelamatkan demokrasi kita, menyelamatkan budaya kita, menyelamatkan peradaban bangsa." Salah satu aktifis menilai apa yang dinyatakan Presiden tidak cukup penting untuk diutarakan, "Mengenai membawa kerbau, itu cuma kreativitas massa. Pemerintah seharusnya menjawab kekecewaan publik terhadap kinerja pemerintah, bukan membahas cara aksi."

Pada kesempatan lain presiden lagi dan lagi mencurahkan isi hatinya dihadapan puluhan ribu warga korban Gunung Sinabung, September 2010, mengenai kritik pedas yang ditujukan kepadanya saat bermain gitar untuk menghibur pengungsi Gunung Merapi pada 2006 silam oleh sejumlah kalangan. Saat itu dia menginap guna membuktikan bahwa presiden memiliki perasaan sepenanggungan dengan rakyatnya. Kembali dia mengutarakan uneg-unegnya, “Para pengungsi membutuhkan motivasi dan semangat. Namun yang terjadi, banyak orang malah melihat dari sudut pandang yang lain. Tapi kalau kita yakin, go ahead. Nggak penting mendengarkan itu, yang penting rakyat diselamatkan dan dilayani sebaik-baiknya.”

Presiden kembali membela diri dalam salah satu kesempatan "Kritik itu proporsional dan tepat laksana obat terutama kritik padangan komentar yang obyektif. Selebihnya saya serahkan ke Allah. Semoga bangsa kita diberikan kesadaran bahwa menjalankan pemerintahan ini tidak semudah membalikkan telapak tangan."

Kembali aku berpikir, bukankah benar apa yang dikatakan presiden? Kita sebagai rakyat tidak pernah berada diposisinya sebagai pemimpin negara sehingga hanya bisa berkomentar sepedas-pedasnya. Tapi di satu sisi aku berpikir lagi, bukankah ini semua konsekuensi atas kemenangan yang diperjuangkannya hingga menggelontorkan miliaran rupiah… Presiden pun bersuara, “Pemilu 2009 baru saja selesai, Pemilu 2014 masih jauh mengapa politik kita teraduk-aduk begini?”

Begitulah cerita singkat tentang presiden di negaraku. Sebagai rakyat mungkin aku hanya bisa berharap, ketegasan yang dulu dipertunjukkan oleh presiden kembali menjelma pada wujud yang nyata dan semoga rakyat tidak asal bicara, mendemonstrasikan kekecewaan dengan cara yang salah. Bagaimanapun aku mengaguminya (presiden) yang selalu santun dalam berkata dan terlihat bijak dalam bertindak, serta terkesan serius memikirkan kondisi rakyatnya hingga keriput-keriput itu subur membanjiri paras tampannya. “Bukankah rakyat juga berpikir begitu? Buktinya presiden terpilih dua kali berturut-turut dengan cara terhormat, dipilih oleh rakyat.” Dan ada hal yang perlu diingat, presiden telah mengorbankan hampir tujuh tahun hidupnya untuk bangsa ini, berusaha mensejahterahkan rakyatnya… Bukan suatu pekerjaan yang mudah dan mungkin tidak akan pernah sanggup kita lakukan sebaik yang pernah dia lakukan bila kita berada di posisinya.

Terbaru : Curhat Soal Gaji, SBY Menambah Ruwet Persoalan Negeri. Lembaran Baru, Kisah Lama Dendangan Kalbu.

5 Januari 2009, “Gaji presiden harusnya paling tinggi, ternyata tidak”

23 Desember 2010, “Beberapa gaji pimpinan BUMN lebih tinggi daripada presiden, seharusnya tidak”

21 Januari 2011, Presiden kembali menyatakan curahan hati dalam rapim TNI dan Polri mengenai gajinya yang belum naik selama tujuh tahun terakhir. Sebagai orang nomer satu di Indonesia keluhan presiden langsung didengar, tidak seperti keluhan-keluhan rakyat yang acap kali terabaikan. Agus Martowardojo selaku Menteri Keuangan RI mengatakan bahwa pemerintah akan menaikan gaji presiden dan 8000 pejabat negara lain dengan mempertimbangkan beban kerja, luasan tanggung jawab, dan besaran resiko.

Tiga curahan hati presiden di atas mengenai gaji yang tidak naik diungkapkan oleh Direktur riset Charta Politika Yunarta Wijaya, artinya presiden melakukan under block effect yang seharusnya tidak dilakukan. Gaya komunikasi presiden harus diubah, selain itu team komunikasi SBY seharusnya bekerja lebih baik dengan membaca persepsi masyarakat lebih jeli. Seorang pemimpin seharusnya adalah orang yang terakhir kali menunjukkan pesimisme secara psikologi dan hal ini sayangnya dilakukan SBY. Pengamat politik ini menguraikan opini yang fokus pada gaya komunikasi. “Kalimat yang dikeluarkan pemimpin dalam hal ini SBY, bukan menjadi inspirasi tetapi polemik hingga akhirnya dipolitisasi, misalnya Bakrie menyatakan bahwa naikan saja gaji presiden.” Ada beberapa gaya komunikasi menurut Yunarta, diantaranya (1) under block effect dimana menempatkan diri pada posisi yang disudutkan. Pada 2004 sudah terjadi saat presiden seolah-olah didzalimi oleh incummbent dan politisi lain. Hal ini sudah terjadi dua kali semasa pemerintahan SBY. (2) bahasa komunikasi normatif alias tidak jelas. Dua gaya ini dilakukan oleh SBY yang sudah dua masa pemimpinan menjabat, tentu tidak patut dilakukan.

Tabel 1
Daftar Gaji Pejabat Negara (Juta Rupiah) [3]
Presiden*
Gubernur BI
Wapres
Menteri
Ketua DPR
Anggota DPR
Ketua MA
Ketua BPK
62,740
265
42,16
18,648
23,94
13,9
23,94
20
*Anggaran Operasional 2 Miliar per Tahun

Presiden menerima gaji Rp 62,74 juta per bulan atau 28 kali pendapatan perkapita di Indonesia. Kenaikan gaji presiden yang dicanangkan oleh Menteri Keuangan tentu akan menjadi polemik yang tak berkesudahan mengingat kondisi Indonesia yang tengah dirundung duka. “Menaikan gaji presiden bukan akan meredakan emosi, tetapi akan membakar api cemburu dalam masyarakat dimana rakyat akan semakin mencela presiden.” Guru Besar FISIP UI Maswadi Rauf menyesalkan rencana penyesuaian gaji pejabat, “ini jelas blunder dari pemerintah. Citra politik presiden semakin terpuruk. Rakyat akan langsung mengatakan, kalau presiden mengeluh soal gaji, para menterinya langsung bertindak. Kenaikan gaji presiden nyata menunjukkan kelemahan pemerintah SBY. Tidak melihat kondisi riil di masyarakat.”

Penelitian yang dikendarai oleh Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menunjukkan bahwa kenaikan anggaran untuk belanja pegawai di APBN 2010 mencapai 21 persen atau sekitar Rp 28 triliun. Pada APBN 2009, belanja pegawai sebesar Rp 133.7 triliun, sedangkan pada 2010 mencapai Rp 161,7 triliun. Sumber kenaikan adalah rekrutmen CPNS dari sumber tenaga honorer dan remunersi PNS di Depkeu, MA, BPK, dan Sekertariat Kabinet. Hal ini berbanding terbalik dengan anggaran belanja subsidi dan bantuan sosial yang justru menurun. Pada subsidi menurun sebesar 10%, dari Rp 159,9 triliun menjadi Rp 144,3 triliun. Pos yang dikurangin adalah obat generik dihapus dan subsidi pupuk dikurangi Rp 7,1 triliun yang pasti membuat susah petani. Pemangkasan pada belanja sosial adalah belanja bantuan sosial sebesar 11 persen pada pos BOS.[4] Artinya adalah kenaikan gaji pejabat dan remunerasi PNS telah menggorbankan orang miskin di negeri ini. Jika pada tahun 2011 kenaikan gaji yang saat ini hanya sekedar wacana menjelma nyata, nasib rakyat miskin akan semakin teraniaya karena Maret 2011 pemerintah mencanangkan kenaikan harga bahan bakar minyak yang secara tidak langsung dengan mencabut subsidi bahan bakar premium.

Elman Saragih, wartawan senior, mengungkapkan pendapatnya mengenai curahan hati presiden yang tengah gempar digunjingkan oleh masyarakat. “Seorang negarawan yang bersedia menjadi presiden seharusnya tidak bertujuan untuk mencari gaji. Kalau SBY ingin gajinya besar, jangan jadi presiden tetapi jadi direktur BUMN misalnya pertamina. Presiden gagal dalam berkomunikasi saat mencurahkan hati soal kenaikan gaji tentu mencederai rakyat. SBY bukan presiden partai demokrat, tapi seluruh rakyat. Seharusnya presiden merenung dan tidak saban hari curhat pada rakyat, harusnya rakyat yang curhat pada presiden. Saat ini bukan era kampanye, tetapi era kerja sehingga tidak penting janji-janji, pengaduhan, tetapi realisasi dari janji presiden.”[5]

Oleh : Alia Noor Anoviar[1]
Depok, 11 Februari 2011. Pukul 18.19.


[1] Mahasiswi 2009. NPM 0906490645. Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia.
[2] Modifikasi, sebelumnya dimuat dalam Economica Papers Edisi 48, 2010, Badan Otonom Economica (BOE) FEUI pada Rubrik Igauan dengan judul : Curahan Hati Sang Presiden.
[3] Heri Owel, Jawa Pos Edisi Rabu, 26 Januari 2011.
[4] Yuna Farhan, Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Jawapos Edisi Senin 26 Januari 2011.
[5] Pada acara 8-11 Eight Eleven, METRO TV. Senin, 24 Januari 2011.

Perempuan Bukan Komoditas

Mengutip tulisan Arda Dinata (2010), “Perempuan diciptakan Tuhan bukan dari tulang tengkorak pria sehingga hanya bisa menjadi pemikir. Bukan pula dari tulang kaki, yang hanya menurut untuk berjalan. Bukan pula dari tulang tangan yang hanya bisa menengadah dan mengharap belas kasihan. Akan tetapi, wanita diciptakan dari rongga dada seorang pria atau tulang rusuk dimana seluruh pusat kehidupan dimulai dan harus dilindungi.” Ungkapan yang mengatakan bahwa perempuan adalah tiang negara dan surga berada di bawah telapak kaki ibu yang notabene adalah perempuan jelas menempatkan perempuan menjadi kaum yang istimewa. Satu lagi, perempuan diidentikan pula dengan bidadari dunia karena kecantikannya, kelembutannya, kesantunannya, dan seksi ala 3B (Body, Brain, and Behavior).

Berbagai keistimewaan yang dimiliki oleh perempuan tak jarang disalahgunakan atau lebih tepat dieksploitasi secara berlebihan. Sungguh ironi saat penulis membaca berita bersambung ala Radar Jember yang dimulai pada tanggal 6 Januari 2011 dengan topik Menguak “Bisnis Esek-Esek ‘Ayam Kampus’ di Jember”. Dengan gamblang dan jelas pada artikel, para ayam kampus yang bekerja karena desakan ekonomi bahkan adapula yang menikmati pekerjaannya karena materi berlimpah dari cinta satu malam yang dijalani. Bahkan pada edisi 13 diuraikan bahwa kupu-kupu malam kampus tersebut memiliki ‘germo ayam kampus’ yang ternyata juga masih berstatus mahasiswi universitas di Jember. Penulis meyakini bahwa fenomena ini tidak hanya terjadi di Jember, tetapi juga kota-kota lainnya di Indonesia sebagaimana pernah diangkat dalam rubrik sosial Majalah Economica edisi 44, BOE Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dimana penulis bernaung.

Metropolis, Jawa Pos (18/01/2011),menguraikan dalam salah satu artikel dengan judul “Dikira Wartawan, Diusir Keluarga Korban” mengenai Solikuniyah, psikolog pendamping korban pemerkosaan dan trafficking. Disebutkan bahwa perempuan yang menjadi korban semakin banyak dimana berusia kurang dari 20 tahun. Tentu sulit untuk menyembuhkan trauma yang dialami korban dan membutuhkan waktu yang tidak singkat, bahkan dari segelintir korban tak jarang yang menjerumuskan diri sebagai kupu-kupu malam permanen karena merasa dirinya terlanjur kotor pasca dijual atau dihinakan.

Ada yang menjerumuskan diri dengan berbagai dalih dan ada yang terjerumuskan dalam profesi yang dianggap oleh masyarakat sebagai profesi sampah. Tentu keberadaan mereka menimbulkan pro-kontra sebagaimana petikan lirik lagu “Kupu-Kupu Malam” yang dinyanyikan Ariel Peterpan, musisi yang menistakan perempuan di titik terendah dengan skandal video porno yang tidak hanya dengan satu perempuan, “Ada yang benci dirinya. Ada yang butuh dirinya. Ada yang berluntut mencintainya. Adapula yang kejam menyiksa dirinya.”

Tidak hanya berprofesi sebagai penghibur sesaat, seringkali ditemui pula perempuan yang suka rela membuat dirinya sendiri pantas dianggap rendah misalnya dengan bergoyang seronok, memakai pakaian yang sangat minim, dan berlaku genit kepada kaum adam seperti yang dilakoni para remaja dalam masa pencarian jati dirinya, juga para punggawa layar kaca.

Perempuan bukan komoditas. Komoditas ekonomi yang seringkali dibarter dengan beberapa lembar ratus ribu rupiah. Komoditas politik yang menjadi magnet penarik massa terutama saat pemilu berlangsung dimana perempuan menjadi ikon panggung penghibur. Komoditas sosial yang termakan oleh globalisasi sehingga menggunakan pakaian tak layak pakai. Bukan pula sebagai komoditas budaya dimana menggunakan konsep tradisional, dikekang oleh pria dan hidup tanpa kebebasan. Perempuan laksana berlian jika diasah dengan benar dan dapat pula menjadi arang jika dibiarkan hidup dalam kenistaan.

Oleh : Alia Noor Anoviar
Dimuat dalam Jawa Pos For Her

Potret Pekerja Anak di Indonesia Semakin Membudaya

Rumah gedong di salah satu perumahan daerah Halim Perdana Kusuma ternyata menyimpan kisah bocah yang tengah beranjak dewasa, namun terpaksa harus mengubur mimpinya untuk bersekolah demi lima lembar ratusan ribu rupiah.
Namanya Ika. Usianya belum genap 15 tahun. Lulusan SMP negeri di salah satu kecamatan yang tidak tersohor di Jawa Timur. Kecamatan Gentong. Sekarang, dia menempati kamar berukuran 2 x 2 dengan kipas angin kecil pereda gerah di Jakarta. Satu dua minggu jauh dari orangtua masih membuat bulir-bulir bening mengalir dari kedua mata setiap malamnya. Dalam keheningan malam hanya satu yang terus dia tanyakan, “nyapo aku neng kene?”
Tentu Ika berbeda, dia tidak hanya harus jauh dari orangtua. Titelnya seusai lulus SMP bertambah, pembantu rumah tangga.
“Sebenere pengen sekolah, mbak. Tapi disuruh kerja, ndak boleh sekolah. Ya sudah akhirnya ikut kesini. Tapi kangen mbak, kangen sama simbok dan bapak. Ndak bisa telpon juga. Tambah kangen rasane mbak.” Ujar Ika dengan polosnya. Matanya mulai berkilauan pertanda gerimis akan datang.
Aku hanya bisa terdiam. Lalu mencoba memberinya semangat. Namun jauh dari dalam lubuk hati, rasanya aku pribadi tidak sanggup menjadi seorang Ika. Ika dan mungkin ratusan Ika lainnya merupakan anak-anak di Indonesia yang hebat, menjadi penopang hidup keluarga di usia belasan. Membanting tulang demi memberi makan bapak dan simbok di desa. Mengorbankan niat sekolah demi tujuan yang dianggap lebih mulia. Tidak peduli dengan rindu pada desa. Persetan dengan yang namanya cita-cita. Yang penting, ada uang untuk menjaga nyala dunia mereka.
Pilu ini rasanya semakin memburu. Dua bocah penjaja koran dan seorang bocah kecil yang tengah mencari ladang penghasilan. Perbincangan mereka yang menyayat nuraniku sebagai seorang mahasiswa. Namun, tidak satu pun upaya bisa aku lakukan. Aku hanya seorang mahasiswa tahun kedua yang masih bertumpu pada uang orangtua. Terlebih lagi, aku bukan seorang Gayus Tambunan atau Malinda Dee yang menyimpan miliaran rupiah, juga bukan anak orang kaya yang terbiasa hidup mewah.
Dalam sebuah perjalanan pulang dengan bus kuning Universitas Indonesia, bukan sekali dua kali aku melihat mereka masih memangku puluhan koran yang belum terjual. Ada yang memaksa, ada yang pasrah. Mereka menegadah pada para mahasiswa yang mungkin tidak sempat memikirkan harus membeli koran setiap hari karena bangku kuliah tidak hanya memakan ratusan ribu rupiah.
“… Tapi kalau jadi penjual koran itu resikonya besar. Kan bisa ga laku kayak gini,” seorang dari ketiga bocah itu menunjukkan setumpuk korannya. “Tapi biasanya dapat tujuh puluh ribu, terus yang empat puluh disetor ke lopernya.”
“Ngambilnya dimana ya?” Tanya bocah satunya
Bocah lainnya mencoba menjelaskan, “noh banyak di stasiun… Tapi, saingannya banyak sekarang, pada cari duit buat sekolah.”
Lalu sang bocah penanya tadi turun di halte setelah mengucap terima kasih pada kedua teman barunya. Selepas itu, kedua bocah yang masih tersisa di bus kembali membahas hal yang sama. Nurani ini rasanya terus menyelidik, aku pun memberanikan diri bertanya apa yang sebenarnya mereka bahas.
Seorang dari mereka mencoba menjelaskan padaku. “Jadi begini kak, bocah tadi noh lagi cari kerja. Rumahnya di Bogor. Dari siang tadi dia muter-muter cari kerja kagak dapet, kasian banget tuh bocah kagak boleh pulang sama emaknya kalau belom dapet kerjaan. Emaknya kagak kerja. Jahat banget emaknya… Mana lagi dia nggak punya uang, mau kasih tapi takut nggak cukup buat setoran koran, Kak.”
Rasanya perasaan emosional ini semakin tidak tertahankan. Tapi, lagi dan lagi tidak ada yang bisa aku lakukan untuk calon pekerja di bawah umur tadi. Aku hanya bisa mengulum perih, lalu membeli satu koran mereka atas rasa terima kasih karena mereka sudah mau berbagi duka denganku meskipun aku (tetap) tak bisa berbuat apa-apa.
Dalam perjalanan pulang seusai melakukan observasi di sekitar pintu air Manggarai, kembali dua bola mata ini menyaksikan potret pekerja anak yang semakin membudaya. Hari ini, 22 April 2011 sekitar jam dua siang di Stasiun Manggarai.
Kuping ini rasanya panas mendengar seorang wanita paruh baya mengeluarkan kalimat makian pada dua orang bocah. Seorang bocah lelaki berkaos biru meminta dibelikan permen berwarna merah seharga seratus rupiah dan disebelahnya bocah perempuan berdaster hitam menginginkan hal yang sama. Kalau boleh menebak, usia mereka sekitar empat dan enam tahun. Akhirnya wanita itu pasrah menuruti keinginan dua bocah, “Udah sono lo ambil satu habis ntu lo pergi aja ke Bandung…” Sederet kalimat makian diucapkannya. Mereka bertiga menggunakan pakaian lusuh dan berprofesi sebagai peminta-minta.
Beberapa menit kemudian datang seorang anak dengan ibunya membawa karung cokelat berisi kaleng, botol, dan semacamnya. Mereka mendekati bak sampah satu per satu. Penampilan anak dan ibu ini terlihat lebih miris dibandingkan ibu dengan dua bocah sebelumnya. Beberapa menit kemudian mereka berdua menghilang dari pelupuk mata. Mungkin tengah mencari bak sampah lainnya yang menjanjikan beberapa ribu rupiah.
Datang seorang bocah. Berkaos kuning dan bercelana hitam garis-garis. Penampilannya tak terawat dan ingusan. Dia menghampiri dua bocah yang baru saja dimaki ibunya. Mereka bertiga pun menyusuri deretan bangku stasiun yang menyisakan botol atau plastik air minum. Memungutnya satu per satu. Tak lama dari itu, terjadi pertengkaran kecil memperebutkan barang bekas yang berharga menurut mereka.
Mungkin bagi para bocah itu, bekerja adalah biasa. Hidup adalah bermain di sekitar rel kereta. Tawa datang saat ada barang bekas yang bisa ditemukan. Dan kehidupan seolah tidak akan pernah terlepas dari menengadahkan tangan atau memohon belas kasih orang.
Sepertinya aku mulai lelah untuk bercerita tentang mereka, para pekerja anak di Indonesia. Aku mulai lelah mengobral kesedihan tentang mereka tanpa suatu perbaikan yang bisa aku lakukan. Aku bukan tidak mau melakukan sesuatu, namun aku tidak mampu. Terus bercerita membuatku berpikir bahwa pemerintah seolah menutup mata dan telinga mengenai nasib mereka, pekerja anak. Seolah melegalkan keberadaan pekerja anak, bukti salah satu praktek pembodohan bangsa yang terus dilakukan pemerintah setelah deretan pembodohan lainnya. Rasa-rasanya aku tidak perlu menyebutkan, kalian pasti sudah tau.
Mana yang namanya komisi perlindungan anak? Mana juga yang namanya amanat pemerintah di Pasal 34 UUD 1945? Semua hanya sekedar bualan!!! Tidak ada yang namanya perlindungan untuk anak-anak di Indonesia. Realita menunjukkan potret pekerja anak di Indonesia yang semakin membudaya.
Hhhhh… sepertinya aku tidak bisa terus menyalahkan pemerintah. Mungkin mereka bukan lagi hanya tanggung jawab pemerintah. Mungkin pemerintah merasakan apa yang aku rasakan, mau tetapi tidak mampu berbuat bagi para pekerja cilik itu. Sudahlah, aku akhiri saja cerita ini. Ratusan lembar tulisanku mungkin tidak akan pernah merubah nasib anak-anak berotot dewasa itu. Mungkin saat aku bisa menjadi seseorang nanti, memiliki jabatan yang disanjung dan dipuji, aku akan bisa melakukan sesuatu yang berarti.

Oleh : Alia Noor Anoviar
Depok, 22 April 2011. 18.15