20130808

Kajian tentang Bisnis Sosial (Social Entrepreneurship) - Bagian 1 s/d 3

Socent : Wacana dengan Aksi Nyata

Entrepreneur is a person who undertakes and operates a new enterprise or venture and assumes some accountability for inherent risks. -Richard Cantillon, 1755.- 

Menciptakan entrepreneur berarti menciptakan generasi dengan relevansi pemikiran mengenai penciptaan nilai, pandangan baru, model bisnis, serta gaya kepemimpinan berkeputusan mainstream (Nurul Setia Pratiwi, 2011). Kewirausahaan memiliki komponen pemberdayaan dimana secara khusus memberdayakan diri sendiri dan secara umum kemampuan untuk memberdayakan orang lain serta sumber daya yang ada di sekitarnya. Sedangkan social entrepreneur merupakan seseorang yang memiliki solusi inovasi untuk masyarakat dalam menghadapi permasalahan sosial; berambisi dan gigih; menangkap isu-isu sosial; dan menyediakan ide dalam skala luas untuk melakukan perubahan, terutama meliputi bidang kesejahteraan, pendidikan, dan kesehatan. Sebagaimana entrepreneur menghadapi bisnis, social entrepreneur bertindak sebagai agen perubahan bagi masyarakat, mengambil inisiatif atas peluang yang belum tertangkap dan meningkatkan sistem, menemukan pendekatan baru, dan menciptakan solusi terhadap perubahan masyarakat dengan lebih baik. Jika business entrepreneur masuk kepada industri secara keseluruhan, social entrepreneur datang dengan sebuah solusi baru akan masalah sosial dan mengaplikasikannya pada skala besar (Ashoka, 2011).

Konsep social entrepreneurship dikenalkan oleh Robert Owen yaitu pendiri koperasi pertama dan Florence yaitu pendiri sekolah perawat pertama beberapa ratus tahun lalu dan berkembang pada tahun 1980-an. Pada awalnya, social entrepreneurship tidak menekankan pada usaha untuk menghasilkan laba atau non-profit dimana mempunyai inti pemberdayaan masyarakat yang bersifat sukarela, misalnya panti asuhan. Hingga akhirnya Muhammad Yunus, pendiri Grameen Bank di Bangladesh sekaligus berhasil meraih Nobel Perdamaian pada tahun 2006, sebagai salah satu social entrepreneur mampu menunjukkan bahwa  pemberdayaan masyarakat kurang mampu tidak hanya menghasilkan kesejahteraan dalam konteks sosial, namun juga mampu mendatangkan keuntungan finansial. Contoh konkretnya adalah 6 juta wanita terserap sebagai tenaga kerja dimana beralih dari ‘pengemis’ menjadi ‘pelaku UMKM’.

Penulis ingin memperjelas bahwa social entrepreneurship merupakan bentuk dari community development yang fokus pada sosial-ekonomi. Dibagi menjadi dua, yaitu memiliki keuntungan dimana keuntungan tersebut yang digunakan untuk community development dan tidak memiliki keuntungan dimana produknya yang digunakan untukcommunity development. Dalam kerangka ini, social entrepreneurship merupakan bagian dari bisnis dan bisnis seolah tidak akan berjalan tanpa profit. Contoh dari social entrepreneurship yang menghasilkan keuntungan adalah The Loving Company (TLC). Karyawan TLC diberikan gaji dimana setelah penghasilan atau keuntungan perusahaan dikurangi dengan gaji karyawan dan modal operasional usaha maka sisanya digunakan penuh untuk community development.

Terdapat 3 komponen yang menyusun social entrepreneurship. Tiga komponen yang dimaksud adalah (1) Private sector merupakan unsur bisnis pribadi dimana termasuk bagaimana menghasilkan keuntungan karena esensi bisnis adalah menciptakan nilai tambah dari usaha yang dimiliki dan mampu memberi keuntungan maksimal bagi pemiliknya. (2) Public sector berarti melibatkan pihak lain, dapat dikaitkan dalam konteks pemberdayaan masyarakat sekitar maupun pemanfaatan sumber daya yang ada. (3)Voluntary sector dimaknai sebagai fokus dari social entrepreneurship, yaitu sifatnya sukarela untuk membantu pihak lain dan bisa dimaksukkan sebagai bagian dari community development dalam sosial-ekonomi. Ketiga kompenen tersebut terintegrasi dan membentuk social entrepreneurship tidak hanya sebagai kepentingan individu pebisnis, tetapi ditujukan pula bagi pemberdayaan masyarakat sekitar.


Salah Satu Bentuk Revitalisasi Gerakan Mahasiswa : Menjadi Sociopreneur

Pembangunan nasional yang berkelanjutan merupakan salah satu tujuan pemerintah dan cita-cita rakyat. Pembangunan nasional merupakan suatu keadaan yang menunjukkan peningkatan tidak hanya di bidang fisik, namun juga memperlihatkan peningkatan kuantitas dan kualitas hasil produk, peningkatan kesejahteraan, serta perubahan struktur di segala bidang, terutama terkait dengan bidang ekonomi yang memiliki implikasi besar terhadap pembangunan nasional. Pembangunan nasional bukan hal yang mudah dilaksanakan karena membutuhkan peran serta tidak hanya dari pemerintah, namun juga seluruh warga negara Indonesia. Apabila lebih spesifik lagi, Indonesia membutuhkan pemuda-pemudi yang selama ini memiliki peran sentral dalam menentukan nasib bangsa ini. Perubahan-perubahan besar yang terjadi sebelum kemerdekaan 1945 hingga saat ini bersumber dari semangat dan idealisme pemuda, khususnya kaum intelektual mahasiswa dengan berbagai gerakannya.

Pada 2 April 2003 diadakan Konggres Mahasiswa Indonesia (KMI) di Universitas Indonesia, Depok, yang menyimpulkan bahwa gerakan mahasiswa pascareformasi 1998 masih solid dan kritis. Gerakan mahasiswa saat ini tidak memiliki isu bersama seperti pada tahun 1998, namun terkotak-kotak dan terpolarisasi sehingga tidak menguntungkan kondisi Indonesia yang dihadapkan dengan berbagai masalah. Ketua BEM Unpad periode tersebut, Indra Maulana, menyatakan bahwa harus ada sinkronisasi, koordinasi, dan solidaritas gerakan mahasiswa sehingga bisa menjadi alternatif solusi permasalahan bangsa dan tidak menjadi bagian dari permasalahan tersebut.

Sejarah bukanlah sesuatu yang terjadi, tapi sejarah adalah sesuatu yang terjadi dan memiliki arti. –Immanuel Kant-

Gerakan mahasiswa merupakan sebuah topik yang terus dikaji karena pada setiap zamannya memiliki peran yang tidak dapat dianggap remeh di Indonesia. Bukan sesuatu yang berlebihan jika dikatakan bahwa mahasiswa memiliki di Indonesia memiliki romantisme sejarah yang kuat. Berbagai label prestisius diberikan kepada mahasiswa, misalnya agent of changeagent of controliron stockpresure community, dan label-label lain yang menuntut pertanggungjawaban kepada masyarakat luas. Tanggung jawab besar yang dipangku oleh mahasiswa adalah mampu merespon kebutuhan masyarakat secara luas. Persamaan yang menonjol antara gerakan mahasiswa angkatan 1998 dan angkatan selanjutnya adalah mahasiswa sebagai motor penggerak pembaharuan serta kepedulian dan keberpihakan terhadap masyarakat (Adman, 2005).

Berbicara tentang gerakan mahasiswa di Indonesia tempo dulu kerap disinonimkan dengan gerakan-gerakan radikal, seperti demonstrasi yang merusak fasilitas umum. Gerakan mahasiswa konvensional yang sejatinya ditujukan untuk membela masyarakat, justru dianggap merugikan kepentingan masyarakat. Seiring berjalannya waktu, pergerakan semacam itu sudah tidak terlalu tampak dan bergulir dari gerakan mahasiswa yang bersifat vertikal menjadi horizontal. Globalisasi mendatangkan sebuah kondisi dimana permasalahan bangsa ini tidak dapat lagi dihadapi dengan gaya konvensional sehingga mahasiswa juga harus menyesuaikan gerakan-gerakan yang dilakukan dengan kondisi kekinian. Oleh karena itu, BEM Universitas Indonesia menyenggelarakan Konfrensi Mahasiswa Indonesia UI dengan tujuan (1) menjalin konektivitas dari setiap gerakan mahasiswa yang ada dan (2) merevitalisasi pola gerakan agar peran mahasiswa tetap strategis sesuai dengan kondisi zaman saat ini. Kenyataannya, gerakan mahasiswa memiliki sisi positif dan sisi negatif.

Gerakan mahasiswa vertikal berbentuk demonstrasi dalam konteks mengkritisasi kebijakan yang dibuat oleh pemerintah atau penguasa yang saat ini kerap dilakukan secara damai. Sementara gerakan mahasiswa horizontal lebih kepada praktik turun ke lapangan untuk membantu pemberdayaan masyarakat atau lebih dikenal dengan community development(comdev). Comdev tersebut dapat dilakukan di berbagai bidang, salah satunya adalah mengarah pada bidang sosial-ekonomi yang diwujudkan dalam bentuk social entrepreneurship. Artinya, social entrepreneurship merupakan salah satu bentuk dari revitalisasi gerakan mahasiswa yang awalnya konvensional-radikal.

Mahasiswa sebagai agen perubahan, dalam kaitannya dengan social entrepreneurship, sudah seharusnya mampu menempatkan posisi sebagai inisiator atau penggagas, pelaku, dan bahkan tenaga ahli (Adilla Arantika, 2011). Bukti nyatanya adalah gerakan mahasiswa SIFE (Student in Free Entrepreneurship) dimana mahasiswa memulai suatu social entrepreneurship project berdasarkan kebutuhan dan kemampuan komunitas setempat, lalu membantu dalam tahap awal sambil membagi pengetahuan yang didapat dari bangku kuliah. Pada akhirnya, mahasiswa harus mampu mentransfer keahlian yang dimiliki sepenuhnya supaya masyarakat bisa mandiri dan proyek tersebut dipacu agar muncul di tempat lain.

Di segala lapang tanah air,
Aku hidup, aku gembira…..
Di mana kakiku menginjak bumi Indonesia,
Disanalah tumbuh bibit cita-cita
Yang kusimpan dalam dadaku!”
-Dr. Muhammad Hatta (Bung Hatta,1934)-


Memacu Social Entrepreneurship di Indonesia

Jumlah penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan di Indonesia mencapai 30,02 juta orang (12,49 persen) per Maret 2011. Angka tersebut turun sebesar 1,00 juta orang (0,84 persen) dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2010, yaitu 13,33 persen. Jika dilihat dari komposisinya, penduduk miskin di perkotaan menurun sekitar 0,05 juta orang dari Maret 2010, yaitu 11,10 juta orang. Sementara di perdesaan angka tersebut menurun 0,95 juta orang dimana pada Maret 2011 berjumlah 18,97 juta orang (BPS, 2011).

Kemiskinan merupakan persoalan di Indonesia yang disangsikan untuk dapat menunjukkan angka nol persen, namun menjadi sebuah harapan jika angka ini dapat diminimalisasi. Selain kemiskinan, deviasi kesejahteraan antara masyarakat dan masyarakat miskin juga terlampau jauh yang memberi arti bahwa ada kesenjangan pemerataan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Merupakan suatu kewajiban bersama untuk menjawab pertanyaan : bagaimana menjadikan angka kemiskinan tersebut dapat menurun secara singnifikan dan pemerataan kesejahteraan sebagai amanat UUD 1945 dapat direalisasikan?

Kompleksitas tantangan yang dihadapi Indonesia saat ini seperti kemiskinan, layanan buruk bagi masyarakat kurang mampu, perusakan lingkungan, aksesibilitas pendidikan yang terbatas, dan lain-lain kerap kali dianggap sebagai kesalahan pemerintah dan kewajiban bagi pemerintah untuk menanggulangi semua tantangan tersebut. Padahal selain pemerintah, ada tanggungjawab dari swasta dan masyarakat secara umum untuk andil dalam upaya mengatasinya.

Swasta andil dalam tantangan ini melalui berbagai Corporate Social Responsibility (CSR). Muhammad Yunus dalam buku “Menciptakan Dunia Tanpa Kemiskinan” sebagaimana yang ditafsirkan oleh Nurul Setia Pratiwi (2011) menyatakan bahwa filosofi perusahaan melalui CSR, yaitu “Hasilkan uang sebanyak mungkin, meski kalian harus mengeksploitasi orang miskin itu – tetapi kemudian sumbangkan sebagian kecil dari keuntungan itu untuk tujuan sosial atau dirikan yayasan untuk melakukan berbagai hal yang akan mempromosikan kepentingan bisnis Anda. Lantas beritakan betapa dermawannya Anda!” CSR dianggap sebatas tanggungjawab perusahaan dimana tujuan perusahaan adalah memaksimalkan keuntungan bagi kepentingan pemilik saham (shareholders). Orientasi CSR juga hanya sementara, misalnya saat penulis mengadakan penelitian di daerah Kali Manggarai diketahui bahwa daerah ini sebenarnya mendapatkan CSR dari Indosat berupa pemberian komputer dan pembangunan PAUD, namun nyatanya tidak ada tindak lanjut yang jelas pada CSR yang diberikan. Akibatnya, bantuan yang diberikan seperti angin lalu yang tidak dimanfaatkan oleh masyarakat dengan bijaksana karena masih ada kebinggungan sendiri dalam masyarakat tersebut tentang bagaimana cara memanfaatkannya. Intinya, tujuan sosial bukanlah fokus dari perusahaan.

Oleh karena itu, Indonesia membutuhkan peran aktif seluruh masyarakat untuk menghadapi tantangan yang ada. Melalui apa tantangan tersebut dapat diubah menjadi peluang yang menguntungkan secara ekonomi dan sosial?

Selama ini Indonesia sudah cukup mengenal entrepreneurship melalui UMKM yang menjadi motor perekonomian terutama pasca krisis ekonomi 1998. UMKM dipercaya sebagai alat efektif untuk memberdayakan masyarakat sebagai subjek aktif dalam menciptakan kesejahteraannya sendiri dan lalu dapat memberdayakan masyarakat di sekitarnya. Saat UMKM mampu dikembangkan maka para entrepreneur akan membutuhkan tenaga kerja yang tentu mampu menurunkan angka pengangguran di Indonesia. Apabila pengangguran menurun maka kemampuan masyarakat memenuhi kebutuhan hidup akan meningkat sehingga kuantitas masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan pun akan mampu diminimalisasi.
Namun selama ini, konsep kewirausahaan di Indonesia masih menekankan pada profit-oriented atau berpahamkan business entrepreneur, padahal sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya terdapat social entrepreneur. Pemberdayaan masyarakat secara lebih khusus mengacu pada konteks social entrepreneurship. Melihat kondisi kekinian di Indonesia, pendiri Yayasan Dompet Dhuafa Erie Sadewo (2010) menyatakan, “social entrepreneur sangat sulit dicari di Indonesia, padahal social entrepreneur sangat dibutuhkan di negara dengan tingkat kemiskinan yang tinggi seperti Indonesia. Keberadaan  mereka dapat membantu masyarakat miskin dan juga membantu pemerintah untuk mengurangi angka kemiskinan.”

Globalisasi semakin memberikan sinyalemen tentang pentingnya social entrepreneurship dimana saat ini masyarakat dengan mudahnya mampu menggali informasi yang dibutuhkan untuk mengembangkan sektor usaha yang prospektif. Apalagi mengingat sumber daya di Indonesia yang melimpah maka social entrepreneuship memiliki potensi besar untuk bisa mengatasi berbagai masalah, tidak hanya kemiskinan tetapi juga ketidakberdayaan masyarakat yang sebenarnya merupakan masalah multidimensi dan sulit dihapuskan. Jadi, selain menumbuhkan business entrepreneur, social entrepreneur baru juga harus dikembangkan dengan dilandasi kejelian, kreatifitas, dan kesungguhan karena konsep ini berpotensi andil dalam mengatasi persoalan bangsa.

What is the most powerful force in the world? And I think you would agree that is a big idea if it is in the hands of an entrepreneur who is actually going to make the idea not only happen, but spread all across society. And we understand that in business but we have need for entrepreneurship just as much in education, human rights, health, and the environment as we do in hotels and steel. -Bill Drayton-

Jika diperbandingkan, kekuatan social entrepreneur di Indonesia dan negara lain masih jauh, misalnya Inggris. British Council menaksir sedikitnya ada 62.000 social enterprisesyang menyumbang £24 miliar bagi ekonomi Inggris. Social entrepreneurship di Inggris memang sangat maju, bahkan ada Social Enterprise Day yang dirayakan setiap 19 November. Data per tahun 2010 menunjukkan bahwa jumlah entrepreneur di Indonesia hanya 0,18 persen dari target 2 persen seluruh penduduk di Indonesia. Berdasarkan data tersebut, penulis berpendapat bahwa 0,18 persen didominasi kuat oleh business entrepreneur, bukan social entrepreneur. Menjadi tugas rumah tidak hanya bagi pemerintah, tetapi juga seluruh masyarakat di Indonesia, untuk memacu pertumbuhan social entrepreneuship berkaca dari keberhasilan Inggris sebagai salah satu negara maju.

Berbagai upaya dilakukan untuk semakin membumikan social entrepreneurship di Indonesia. Misalnya Hery Wibowo (2006) menggagas kurikulum berbasis kewirausahaan sosial sebagaimana yang disampaikan dalam seminar nasional di Universitas Pajajaran. Seminar dan pelatihan gencar diadakan untuk semakin menyemangati lahirnya social entrepreneur di Indonesia.

Apabila membicarakan social entrepreneurship di Indonesia, isu ini tengah hangat diperbincangkan oleh berbagai media karena perannya yang dianggap sentral untuk memberdayakan masyarakat pada fokus bidang yang penting, yaitu sosial-ekonomi. Houtman Z. Arifin dan Jamil Azzaini merupakan dua dari social entrepreneur Indonesia yang diundang oleh TVOne dalam acara Ada dan Siapa, 10 Agustus 2011, untuk memperkenalkan konsep social entrepreneurship secara teori dan praktik kepada masyarakat di Indonesia. Hal ini menjadi bukti nyata peran pers dalam  memberikan inspirasi pada masyarakat Indonesia mengenai cara jitu menjadi wirausaha yang juga peduli pada masalah sosial. Tidak semua masyarakat mengenal istilah ini karena masih baru dalam pelaksanaannya di Indonesia, namun sudah menunjukkan perkembangan positif dengan menjadi trend konsep baru dalam dunia kewirausahaan di Indonesia.

Selain itu, contoh aksi konkret untuk memacu pengembangan social entrepreneurshipuntuk Indonesia adalah kegiatan yang dilakukan oleh Perhimpunan Profesional Indonesia (IPA) di Singapura yang secara resmi meluncurkan kegiatan “Social Innovation & Entrepreneurship (SOLVE) Awards” pada  13 Agustus 2011 dan penghargaan secara resmi akan diberikan pada 3 Desember 2011 di Singapura. SOLVE Awards bertujuan untuk menghargai dan mempromosikan para inovator dan pengusaha sosial yang berasal dari Singapura atau Indonesia dimana usahanya membawa dampak positif di Indonesia. Sasaran SOLVE Awards adalah LSM kecil atau individu yang akan bersaing dalam tiga kategori, yaitu kategori usaha rintisan (kurang dari 3 tahun), usaha mapan, dan pilihan masyarakat. Acara peluncuran ini dihadiri oleh hampir 150 tamu yang terdiri dari para pengusaha sosial Indonesia dan Singapura, perwakilan LSM dan pemerintahan, serta para pelajar Indonesia dan internasional yang sedang menempuh studi di Singapura (IPA Voices, Singapura, 2011).

 Anies Baswedan dan Jack Sim (2011) dalam kegiatan IPA bersepakat, “ sebenarnya tidak ada yang baru dari konsep social entrepreneurship, namun pemakaian istilah social entrepreneurship-nya saja yang baru berkembang di masyarakat global. Anies mendukung semangat bersukarela masyarakat Indonesia di Singapura dan mengajak semua orang untuk beraksi. Menurutnya masyarakat seharusnya tidak selalu bergantung dan mencari jawaban dari pemerintah karena meskipun pemerintah memiliki tanggung jawab konstitusional, tapi kita sebagai masyarakat dunia juga membawa tanggung jawab moral untuk menyumbang.”

Indonesia tentunya bukan bangsa yang diam dalam menghadapi berbagai isu sosial yang terjadi. Hal ini terbukti dengan beberapa nama social entrepreneur di Indonesia yang terlebih dahulu sukses dengan konsep bisnis sosialnya dalam memberdayakan masyarakat yang dimuat dalam Majalah SWA 03/XXVI/4-17-2-2010. Amin Azis yang merupakan pendiri BMT  sejak tahun 1995 untuk memberikan bantuan terutama dalam pendanaan bagi pengembangan UMKM. Amir Panzuri mendorong ekspor kerajinan UMKM dengan mendirikan Apikri. Bambang Suweda menggagas bank sampah di Bantul, mendulang rupiah dengan pemanfaatan sampah sehingga selain bermanfaat untuk lingkungan juga mampu membantu secara finansial. Pamitkasih mengembangkan kewirausahaan bagi penyandang cacat yang selama ini masih termarginalkan di Indonesia. Onte yang mendirikan Koperasi Hutan Jaya Lestari dimana memperjuangkan perbaikan nasib petani jati. Serta Tri Mumpuni dari Yogyakarta membuat pembangkit listrik mikro hidro. Masih ada sederet nama lainnya seperti Goris Mustaqim, Anies Baswedan, dan lain-lain. Artinya, konsep social entrepreneurship di Indonesia benar-benar bukan konsep yang baru dikenal atau baru ada, namun konsep yang sudah ada lama tetapi belum dikembangkan dengan maksimal karena mungkin sosialisasinya yang kurang gencar.

Potensi besar yang dimiliki Indonesia untuk menghadapi tantangan global selain mengandalkan sumber daya alam yang berlimpah adalah memaksimalkan sumber daya manusia yang tercatat lebih dari 200 juta jiwa. Social entrepreneurship merupakan salah satu celah untuk memaksimalkan potensi sumber daya manusia di Indonesia meskipun keberadaannya saat ini di Indonesia berada pada tahap seperti balita yang sedang berjalan. Menjadi sebuah tujuan bersama untuk mencapai pemerataan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sesuai amanat UUD 1945 yang salah satu caranya adalah memacu potensi Indonesia untuk melahirkan sociopreneur (social entrepreneur).


Bersambung (Bagian 4 s/d 6)
Tulisan ini dibuat pada tahun 2011 oleh penulis untuk KMI UI

Menikah?


Saya jadi bingung, setiap apa yang saya lakukan akhir-akhir ini seringkali dikaitkan dengan 'jodoh', 'pernikahan', dan hal-hal serius lainnya yang tidak seharusnya dibuat bahan becandaan. Bahkan beberapa tulisan yang saya buat juga dikira hasil galau, padahal memang dulu saya penulis cerpen dan puisi sebelum beralih ke penulisan ilmiah, then apa salahnya ingin menyalurkan hobi yang sempat terhenti karena hobi lain? Hehe tapi yasudahlah, di-AMIN-kan saja, doanya juga baik kan sebenarnya terlepas dari kadang-kadang hanya sekedar menggoda dan becandaan.

Banyaknya undangan walimahan dari teman-teman sepertinya menjadi pendorong pertanyaan sejenis muncul, pasti bukan saya doang sih yang digodain soal itu tapi juga banyak anak muda lain yang belum berkeluarga apalagi sudah lulus kuliah. Apalagi tiba-tiba Ibu sama Bapak sering banget menanyakan hal ini "kapan?" "sama siapa?", padahal dulu aja pas saya nya lagi pengen cerita tentang seseorang yang lagi deket selalu dikasih pesan "fokus kuliah!".

Dulu mungkin saya mikir menikah itu mudah, mudah banget malah mikirnya, tinggal memilih sama siapa terus minta ijin orangtua dan menikah deh. Tapi ternyata ya pemikiran saya dulu yang nggak dewasa sama sekali itu salah besar. Berubahnya pikiran ini sejak menghadiri walimahan seorang teman di awal Juni 2013, itu adalah pernikahan pertama yang saya datangi tanpa didampingi orangtua dan pernikahan pertama teman yang bisa saya hadiri, saat pengantin pria dan wanita nya memasuki ruang resepsi rasanya langsung deg-deg-deg gimana gitu. Ini deg-deg-deg nya bukan karena terus pengen segera menikah, tapi jadi muncul pertanyaan "hari seperti ini pasti akan tiba kan, entah kapan, tapi sudah sejauh mana perSIAPan menuju hari itu?"

Bicara soal kesiapan, waktu itu yang saya pikirkan adalah tentang persiapan pra-nikah seperti gedung, busana pengantin, undangan, dan hal-hal yang related dengan hari H ketika orang menikah. Ummm ya sejak itu, terus jadi tertarik buat tau lebih dalam lagi "apa sih yang harus dipersiapkan dan berapa biayanya?" Hahaha lagi-lagi saya mikirnya cuma sebatas apa yang harus disiapkan hanya untuk hari H. Karena memang dasarnya kepo banget akhirnya saya coba cari-cari harga gedung pernikahan, ternyata mahal! Belum lagi seperti busana dan undangannya, butuh biaya yang jelas tidak sedikit. Mungkin soal mahal itu subjektif ya, tapi buat saya yang saat itu belum lulus kuliah dan belum punya pekerjaan seperti sekarang jelas biaya itu terlampau mahal. Kan bisa minta ke orangtua? Mmmm siap menikah buat saya itu berarti ya siap mandiri, saya ingin sekali jika sudah waktunya nanti bisa membiayai semua biaya pernikahan tanpa membebani orangtua siapapun.

Back to topic, kepo-nya saya akan biaya-biaya yang harus dipersiapkan sebelum pernikahan akhirnya membuat saya kepo akan banyak hal lainnya. Mulailah saya coba baca beberapa buku yang related dengan topik menuju pernikahan, lalu juga mem-follow beberapa akun twitter yang kerap membahas tentang pernikahan hehe tapi sengaja saya pilih yang tidak 'menggurui' atau terkesan 'memaksa' untuk segera menikah tapi lebih kepada informasi tentang apa-apa saja yang harus dipersiapkan seseorang sebelum menikah dan gambaran kehidupan pasca menikah, juga bertanya hal-hal yang tidak saya pahami tentang pernikahan kepada murabbi (guru mentoring agama) saya.

MasyaAllah, ternyata banyak banget lho yang harus dipersiapkan bahkan jauh-jauh hari sebelum menikah. Ilmunya harus dicukupkan dulu, setidaknya mengetahui jika belum sampai bisa memahami, sehingga tujuan keluarga yang sa-ma-ra itu bisa tercapai. Kenapa harus ada ilmunya? Kalau lagi ujian sekolah aja nggak belajar nilainya bisa jelek, apalagi kalau mau melakukan ibadah seperti menikah butuh juga ilmunya biar tidak gagal paham #eh

Sederhananya yang saya pahami sebelum menikah harus tau bagaimana cara menjemput jodoh dengan cara yang baik secara agama, tata cara pernikahan yang syar'i, melakukan tugas-tugas rumah tangga pasca menikah, kewajiban-hak seorang istri, cara mengasuh anak, dan masih banyak lagi. Kyaaaaaaaa banyak banget ternyata!!! *lalu panik*

Ngerasa malu aja, saya nya sendiri mudah banget emosi dan marah jadi gimana saya bisa sederhananya jadi perempuan yang baik buat keluarga saya nanti kalau tidak bisa mengatur diri secara pribadi? Fyuhhh... jadi masih dalam tahap bisa mengatur diri sendiri nih :D

Dan lagi saat membaca buku-buku tentang pernikahan saya juga masih malu, bacanya sambil ngunci kamar biar nggak ada yang tau dan menyimpan buku tertentu itu di tempat yang jangan sampai terjangkau penglihatan orang lain (hahahhaha...), sampai suatu hari temen saya bilang bahwa dia membaca buku-buku serupa dari awal kuliah karena dia tidak pernah tau kapan jodohnya akan menjemput. Sementara saya baru belajar setelah lulus kuliah, pasti jauh banget tertinggal ilmunya.

Tentang biaya yang harus dipersiapkan jugaaa pra dan pasca, kyaaaa harus halal sehalal-halalnya. Ini juga yang membuat saya berpikir nggak bisa stay di job yang seharusnya saya jalani pasca lulus kuliah, memilih yang lebih baik selagi belum melangkah ke yang kurang baik semoga hasilnya lebih baik. Amin Ya Allah.

Belum lagi nih ya tentang cara mengasuh anak, aihhhh :3 Meskipun banyak temen yang Alhamdulillah menikah terlebih dahulu, tapi saya nggak mau ah kalau menikahnya cuma karena mengikuti trend. Sudah siap kalau nanti hamil? Sudah siapkah dengan morning sick, ngidam, terus sudah paham cara merawat janin dalam kandungan? Sudah siap melahirkan? Sudah siap bangun 24 jam untuk merawat anak?

Pendidikan parenting yang pernah saya ikuti memberikan pembelajaran berarti, bagaimana NILAI dari seorang ibu terhadap sosok anaknya. Jadi kalau saya nggak paham sama sekali tentang itu, lantas bagaimana anak saya nanti? Bisa mungkin bayar baby sitter, tapi itu kan anak kita bukan anak baby sitter :3

Pikiran saya mungkin agak ribet ya hehe tapi ya inilah pandangan saya tentang persiapan pra-pernikahan. Mungkin bakal ada yang nanya, "Nulis ini buat modus atau kode ya?"  InsyaAllah tidak, jadi buat beberapa orang yang nggak pernah lelah-lelahnya bertanya kepada saya tentang "kapan mau nikah?" "sama siapa?" "udah siap belum nikah?" mungkin ini bisa jadi jawabannya ya :)

Entah kenapa jadi teringat dengan sebuah notes yang pernah di-share oleh seseorang kepada saya agar saya belajar lebih banyak tentang agama, bagaimana memaknai sebuah hubungan yang 'tidak halal', meskipun jujur awalnya saya agak tersinggung dengan isi notes ini tapi ternyata tujuannya sangat baik >>>  "notes penyadaran" (25 Desember 2012). Jadi, terima kasih banyak baik untuk penulis maupun untuk kamu yang sudah membagi tulisan ini pada saya :D

InsyaAllah wanita yang baik untuk lelaki yang baik, pun sebaliknya begitu yang dijanjikan oleh-Nya. Jadi kalau saya mencoba mempersiapkan hal tersebut (semoga) dengan baik, semoga Allah memberikan jodoh yang juga sedang mempersiapkan dirinya dengan baik pula untuk pertemuan kami kelak. Amin Ya Allah.

Dear jodoh... kapanpun dan dimanapun, sudah mengenal ataupun belum sama sekali, semoga kita kompak yaaaa! *ending tulisannya agak gimanaaa gitu ya? hehe*


Jakarta, 8 Agustus 2013
Setelah mendapatkan pertanyaan-pertanyaan
serupa tentang pernikahan, menjadi merasa perlu
menuliskan ini :)

20130805

Menuju Wisuda UI #Bagian5

Cerita kali ini benar-benar edisi keteledoran dan kemalasan ala saya :3 Sebenarnya pendaftaran wisuda online sudah dimulai sejak 5 Juli, namun karena status kelulusan untuk FEUI tidak juga ada maka harus menunggu agar bisa mendaftar seperti teman-teman di fakultas lainnya. Sekitar di akhir Juli akhirnya ada status lulus di SIAK-NG *cieeee akhirnya lulus!* :p


Setelah ada status 'Lulus' akhirnya bisa tuh daftar wisuda online. Nih kalau mau daftar link-nya disini : Pendaftaran Wisuda Online Kalau nggak salah sih saya daftar di tanggal 30 Juli, tapi terus mager banget, lebih tepatnya banget sekali, buat bayar wisudanya. Sebenarnya sih udah ke BNI UI tapi ngelihat antriannya nggak nahan, mana pekerjaan menunggu, coba bayar lewat ATM CIMB Niaga entah kenapa failed terus udah dicoba tiga kali. Yaudah deh akhirnya saya memutuskan bayarnya pas lagi jalan-jalan ke Bandung aja sama Anna, eh ternyata sampai Bandung sama aja penuh sekali lalu cari lagi di lokasi lain ternyata tutup (tanggal 2 Agustus).

Yaudah deh ya sok ngegampangin, kan terakhir bayar tanggal 5 Agustus, ntar aja bayar di Depok :3 Dan hasilnya seperti foto di bawah ini : 



Empat jam dalam penantian, menunggu bayar wisuda di teller. Rasa-rasanya hal ini sangat menjadi pembelajaran, buat lebih attention ke waktu dan menumpas yang namanya kemalasan. Cerita menuju wisuda UI pun memberikan hikmah!


Akhirnya hehe... Tanggal 12 Agustus nanti sudah bisa ambil toga, semoga bisa dipertemukan dengan teman-teman di tanggal 30 Agustus 2013 - Wisuda UI :D