Daya saing adalah kemampuan suatu negara untuk mencapai pertumbuhan PDB per kapita yang tinggi terus-menerus (World Economic Forum, Global Competitiveness Report, 1996). Daya saing nasional merupakan kemampuan suatu negara menciptakan, memproduksi dan/atau melayani produk dalam perdagangan internasional, sementara dalam saat yang sama tetap dapat memperoleh imbalan yang meningkat pada sumber dayanya (Scott, B. R. and Lodge, G. C., “US Competitiveness in the World Economy”, 1985). Daya saing harus dilihat sebagai suatu cara dasar untuk meningkatkan standar hidup, menyediakan kesempatan kerja bagi yang menganggur dan menurunkan kemiskinan. Competitiveness Advisory Group, (Ciampi Group): “Enhancing European Competitiveness”. Second report to the President of the Commission, the Prime Ministers and the Heads of State, December 1995. Daya saing menyangkut arti elemen produktivitas, efisiensi dan profitabilitas. Tetapi daya saing bukan suatu akhir atau sasaran, melainkan suatu cara untuk mencapai peningkatan standar hidup dan meningkatkan kesejahteraan sosial. – suatu alat untuk mencapai sasaran. Secara global, dengan peningkatan produktivitas dan efisiensi dalam konteks spesialisasi internasional, daya saing memberikan basis bagi peningkatan penghasilan masyarakat secara “non-inflasioner.” Competitiveness Advisory Group, (Ciampi Group) : “Enhancing European Competitiveness”. First report to the President of the Commission, the Prime Ministers and the Heads of State, June 1995. Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa daya saing adalah kemampuan dalam menciptakan cara peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan mencapai pertumbuhan PDB per kapita yang tinggi serta unggul dalam produktifitas, efisiensi, dan profitabilitas yang secara global mengacu pada konteks spesialisasi internasional.
Beberapa alat pengukuran daya saing menurut Bank Dunia (World Bank, 2001), yaitu neraca perdagangan (trade balance), nilai tukar (exchange rate), upah (wages), ekspor (exports), aliran FDI (FDI flows), dan biaya tenaga kerja (unit labor costs). Sedangkan Institute for Management Development (IMD) berpendapat bahwa empat faktor utama penentu daya saing adalah Kinerja Ekonomi (Economic Performance), efisiensi Pemerintah (Government Efficiency), efisiensi Bisnis (Business Efficiency), dan infrastruktur (Infrastructure). Makalah Economic Outlook 2010 yang dilansir INDEF, menetapkan tiga penentu daya saing, yaitu masalah infrastruktur, efisiensi pasar tenaga kerja, dan stabilitas makro ekonomi.
Indonesia sebagai negara berkembang harus mampu menjaga daya saingnya dalam konteks internasional maupun nasional. Daya saing ekonomi di suatu negara merupakan akumulasi dari daya saing setiap unit usaha yang ada dalam negara tersebut. Guna mencapainya, pemerintah harus menjadi stabilitas politik, budaya, serta sosial yang tentu memiliki multiplier effect terhadap faktor ekonomi. Hal ini mengimplikasikan seberapa pentingnya suatu negara menjadi unit-unit usaha yang dimilikinya sehingga bisa melindungi daya saing secara internasional, terutama terkait dengan era perdagangan bebas.
Hal yang diprediksi akan menjatuhkan daya saing Indonesia, dari sisi sosial, seperti yang diungkap oleh Ketua Bidang Perdagangan Luar Negeri HIPMI Harry Warganegara adanya kasus kerusuhan di Pelabuhan Internasional Tanjung Priok yang dapat berakibat pada menurunnya rasa aman terhadap pelabuhan internasional tersebut lalu nilai asuransi kapal-kapal yang masuk akan meningkat dan daya saing pelabuhan akan melemah karena citra layanan perdagangan Indonesia tercoreng. Hasil survei Political and Economic Risk (PERC) menunjukkan risiko perekonomian Indonesia dinilai oleh para eksekutif bisnis berada dalam urutan terburuk dibandingkan sebelas negara besar Asia lainnya akibat masalah utama berupa buruknya birokrasi, infrastruktur fisik, dan sumber daya manusia.
ASEAN China Free Trade Area (ACFTA) yang disepakati pada tanggal 4 November 2004 oleh para kepala negara anggota ASEAN dan China dalam Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-operation between The Association of Southeast Asian Nations and The People’s Republic of China (ACFTA) di Phnom Penh, Kamboja, menimbulkan pro-kontra akibat dampak positif dan negatif yang akan ditimbulkan, terutama bagi Negara Indonesia. ACFTA diterapkan di Indonesia sejak Januari 2010 hal itu berarti daya saing produk lokal terhadap impor dari China harus semakin ditingkatkan agar industri dalam negeri tetap bisa hidup di negerinya sendiri. Staff Departemen Perdagangan RI Firman Mutakin dan Aziza Rahmaniar Salam (2009) mengungkapkan prediksi berbagai pengamat mengenai dampak pemberlakuan ACFTA akan meningkatkan ekspor kelompok produk pertanian, namun akan memberi dampak negatif terhadap garmen, elektronik, sektor makanan, industri baja/besi, dan produk holtikultura karena Indonesia masih kalah efisien dengan China.
Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu menyatakan bahwa pemerintah optimis dalam menghadapi ACFTA karena daya saing industri lokal dianggap masih lebih unggul. Selain itu, iklim usaha di China yang mengalami penurunan akibat apresiasi mata uang, krisis pekerja di Guanzho, dan tingginya tingkat UMR dibandingkan Indonesia menjadikan mereka tidak kompetitif lagi beberapa tahun belakangan ini. Daya saing lokal dianggap lebih baik karena beberapa industri dalam kurun waktu 10 tahun belakangan telah sadar akan bersaing dengan produk China dalam konteks ACFTA. China dianggap sebagai penyedia bahan penolong hingga 90% bagi UMKM di Indonesia sehingga usaha yang ada di Indonesia bisa mendapatkan bahan baku dengan harga lebih murah sehingga menghasilkan profit yang lebih besar dan hal ini tentu menguntungkan industri lokal. Namun, daya saing Indonesia terkendala oleh lahan, logistik, birokrasi, tenaga kerja, dan biaya transportasi. Perbaikan di sistem logistik diperkirakan baru selsai 20 tahun lagi, tetapi biaya transportasi masih sangat tinggi.
Laporan International Institute for Management Development (IMD) dalam World Competitiveness Yearbook menyatakan daya saing Indonesia menempati urutan ke-52 pada tahun 2006, menurun 2 peringkat di tahun 2007, dan bahkan kemarin merosot menjadi 51 dari 55 negara. Hal yang berbeda diungkapkan oleh laporan survei dan data Departemen Perindustrian (2008), sektor industri Indonesia mengalami peningkatan daya saing secara kontinyu selama kurun waktu satu dekade ini, terutama pada industri mesin.
Terlepas dari pro kontra ACFTA dan perbedaan sudut pandang mengenai naik atau turunnya daya saing Indonesia dalam konteks perdagangan bebas, Indonesia harus mengambil langkah aktif dan preventif dalam meningkatkan pertumbuhan industri lokal serta menciptakan inovasi-inovasi produk secara efisien agar memiliki daya saing yang lebih unggul dibandingkan produk China dan negara-negara lainnya. Beberapa langkah yang mungkin diambil adalah perbaikan sistem birokrasi, efisiensi dan percepatan layanan transportasi, pembangunan infrastruktur, supplai bahan baku dengan harga murah, serta penyediaan balai latihan kerja untuk meningkatkan kualitas SDM industri lokal.
Referensi :
http://pkpds.wordpress.com/2008/12/17/daya-saing-negara/
http://www.seputarforex.com/berita/berita_ekonomi_view.php?nid=15282&title=kerusuhan_priok_dapat_jatuhkan_daya_saing_ekspor
http://www.inilah.com/news/read/ekonomi/2010/01/28/310992/inilah-3-penentu-daya-saing-indonesia/
http://www.majalahtrust.com/danlainlain/kolom/1125.php
http://ekonomi.tvone.co.id/berita/view/34459/2010/03/17/daya_saing_china_melemah_saatnya_indonesia_beraksi/
http://mudrajad.com/upload/Mendongkrak%20Daya%20Saing.pdf
Beberapa alat pengukuran daya saing menurut Bank Dunia (World Bank, 2001), yaitu neraca perdagangan (trade balance), nilai tukar (exchange rate), upah (wages), ekspor (exports), aliran FDI (FDI flows), dan biaya tenaga kerja (unit labor costs). Sedangkan Institute for Management Development (IMD) berpendapat bahwa empat faktor utama penentu daya saing adalah Kinerja Ekonomi (Economic Performance), efisiensi Pemerintah (Government Efficiency), efisiensi Bisnis (Business Efficiency), dan infrastruktur (Infrastructure). Makalah Economic Outlook 2010 yang dilansir INDEF, menetapkan tiga penentu daya saing, yaitu masalah infrastruktur, efisiensi pasar tenaga kerja, dan stabilitas makro ekonomi.
Indonesia sebagai negara berkembang harus mampu menjaga daya saingnya dalam konteks internasional maupun nasional. Daya saing ekonomi di suatu negara merupakan akumulasi dari daya saing setiap unit usaha yang ada dalam negara tersebut. Guna mencapainya, pemerintah harus menjadi stabilitas politik, budaya, serta sosial yang tentu memiliki multiplier effect terhadap faktor ekonomi. Hal ini mengimplikasikan seberapa pentingnya suatu negara menjadi unit-unit usaha yang dimilikinya sehingga bisa melindungi daya saing secara internasional, terutama terkait dengan era perdagangan bebas.
Hal yang diprediksi akan menjatuhkan daya saing Indonesia, dari sisi sosial, seperti yang diungkap oleh Ketua Bidang Perdagangan Luar Negeri HIPMI Harry Warganegara adanya kasus kerusuhan di Pelabuhan Internasional Tanjung Priok yang dapat berakibat pada menurunnya rasa aman terhadap pelabuhan internasional tersebut lalu nilai asuransi kapal-kapal yang masuk akan meningkat dan daya saing pelabuhan akan melemah karena citra layanan perdagangan Indonesia tercoreng. Hasil survei Political and Economic Risk (PERC) menunjukkan risiko perekonomian Indonesia dinilai oleh para eksekutif bisnis berada dalam urutan terburuk dibandingkan sebelas negara besar Asia lainnya akibat masalah utama berupa buruknya birokrasi, infrastruktur fisik, dan sumber daya manusia.
ASEAN China Free Trade Area (ACFTA) yang disepakati pada tanggal 4 November 2004 oleh para kepala negara anggota ASEAN dan China dalam Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-operation between The Association of Southeast Asian Nations and The People’s Republic of China (ACFTA) di Phnom Penh, Kamboja, menimbulkan pro-kontra akibat dampak positif dan negatif yang akan ditimbulkan, terutama bagi Negara Indonesia. ACFTA diterapkan di Indonesia sejak Januari 2010 hal itu berarti daya saing produk lokal terhadap impor dari China harus semakin ditingkatkan agar industri dalam negeri tetap bisa hidup di negerinya sendiri. Staff Departemen Perdagangan RI Firman Mutakin dan Aziza Rahmaniar Salam (2009) mengungkapkan prediksi berbagai pengamat mengenai dampak pemberlakuan ACFTA akan meningkatkan ekspor kelompok produk pertanian, namun akan memberi dampak negatif terhadap garmen, elektronik, sektor makanan, industri baja/besi, dan produk holtikultura karena Indonesia masih kalah efisien dengan China.
Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu menyatakan bahwa pemerintah optimis dalam menghadapi ACFTA karena daya saing industri lokal dianggap masih lebih unggul. Selain itu, iklim usaha di China yang mengalami penurunan akibat apresiasi mata uang, krisis pekerja di Guanzho, dan tingginya tingkat UMR dibandingkan Indonesia menjadikan mereka tidak kompetitif lagi beberapa tahun belakangan ini. Daya saing lokal dianggap lebih baik karena beberapa industri dalam kurun waktu 10 tahun belakangan telah sadar akan bersaing dengan produk China dalam konteks ACFTA. China dianggap sebagai penyedia bahan penolong hingga 90% bagi UMKM di Indonesia sehingga usaha yang ada di Indonesia bisa mendapatkan bahan baku dengan harga lebih murah sehingga menghasilkan profit yang lebih besar dan hal ini tentu menguntungkan industri lokal. Namun, daya saing Indonesia terkendala oleh lahan, logistik, birokrasi, tenaga kerja, dan biaya transportasi. Perbaikan di sistem logistik diperkirakan baru selsai 20 tahun lagi, tetapi biaya transportasi masih sangat tinggi.
Laporan International Institute for Management Development (IMD) dalam World Competitiveness Yearbook menyatakan daya saing Indonesia menempati urutan ke-52 pada tahun 2006, menurun 2 peringkat di tahun 2007, dan bahkan kemarin merosot menjadi 51 dari 55 negara. Hal yang berbeda diungkapkan oleh laporan survei dan data Departemen Perindustrian (2008), sektor industri Indonesia mengalami peningkatan daya saing secara kontinyu selama kurun waktu satu dekade ini, terutama pada industri mesin.
Terlepas dari pro kontra ACFTA dan perbedaan sudut pandang mengenai naik atau turunnya daya saing Indonesia dalam konteks perdagangan bebas, Indonesia harus mengambil langkah aktif dan preventif dalam meningkatkan pertumbuhan industri lokal serta menciptakan inovasi-inovasi produk secara efisien agar memiliki daya saing yang lebih unggul dibandingkan produk China dan negara-negara lainnya. Beberapa langkah yang mungkin diambil adalah perbaikan sistem birokrasi, efisiensi dan percepatan layanan transportasi, pembangunan infrastruktur, supplai bahan baku dengan harga murah, serta penyediaan balai latihan kerja untuk meningkatkan kualitas SDM industri lokal.
Referensi :
http://pkpds.wordpress.com/2008/12/17/daya-saing-negara/
http://www.seputarforex.com/berita/berita_ekonomi_view.php?nid=15282&title=kerusuhan_priok_dapat_jatuhkan_daya_saing_ekspor
http://www.inilah.com/news/read/ekonomi/2010/01/28/310992/inilah-3-penentu-daya-saing-indonesia/
http://www.majalahtrust.com/danlainlain/kolom/1125.php
http://ekonomi.tvone.co.id/berita/view/34459/2010/03/17/daya_saing_china_melemah_saatnya_indonesia_beraksi/
http://mudrajad.com/upload/Mendongkrak%20Daya%20Saing.pdf