Peran Universitas dalam Pengembangan Social Entrepreneurship
Sebenarnya tidak
perlu diragukan tentang kapabilitas Indonesia dalam menciptakan social entrepreneur, mengingat Indonesia
saat ini memiliki pemuda-pemudi (mahasiswa) yang tengah menimba ilmu di
berbagai perguruan tinggi, sebut saja UI, ITB, UGM, UNPAD, ITS, IPB, dan
lain-lain. Hal ini merupakan potensi dimana generasi muda yang disebut sebagai social agent ini memiliki pengetahuan
dan keahlian yang dapat diberikan kepada masyarakat. Para pemuda yang lebih
akrab disebut mahasiswa mampu berkontribusi dengan kemampuan yang dimiliki dan
membuka mata terhadap tantangan global, penekanannya pada aspek sosial-ekonomi,
yang dihadapi oleh Indonesia.
Winarto (2008)
menyadari sentralnya peran perguruan tinggi atau universitas sebagai pembentuk social entrepreneur. Winarto
mencontohkan universitas yang menyenggelarakan pendidikan di bidang social entrepreneurship adalah Asian
Institute of Management (AIM), Manila, Filipina dalam program Master in Development Management. AIM
unggul dalam menghasilkan social
entrepreneur untuk pendidikan dan pelatihan, disamping menghasilkan model
pengembangan suatu masyarakat atau daerah. Lalu bagaimana dengan universitas di
Indonesia? Kontribusi dari universitas di Indonesia sebagai pencetak agen-agen
pembaharuan dinantikan dalam berbagai bentuk, salah satunya adalah
memperkenalkan, mengajarkan, serta membudayakan social entrepreneurship di kalangan mahasiswa dan menciptakan social entrepreneur yang unggul.
Apabila
mengacu pada Tri Darma Perguruan Tinggi yang memuat pendidikan, penelitian, dan
satu komponen penting pula adalah pengabdian masyarakat maka cocok jika social entrepreneurship dijadikan
sebagai salah satu bagian dari komponen tersebut. Merupakan kewajiban moral
bagi mahasiswa untuk terjun mengatasi persoalan bangsa Indonesia yang bertitik
tolak dari masalah ekonomi. Solusinya jelas melalui pengembangan social entrepreneurship sebagai upaya
perbaikan kesejahteraan masyarakat secara merata sekaligus wahana penyebaran
nilai kepada masyarakat bahwa setiap manusia di dunia mengemban tugas sosial
yang tidak hanya berorientasi pada keuntungan dan kekayaan.
Siti Adiprigandari
Adiwoso Suprapto (2006) mengadakan riset dengan menggunakan pendekatan teoritis
dan interview yang dilakukan terhadap 300 responden untuk meneliti program
pelatihan yang diperuntukkan bagi social
entrepreneurship dimana menjadi perhatian dari Pusat Pengembangan dan
Inkubator Bisnis, Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas
Indonesia. Hal ini dikarenakan jumlah organisasi non laba meningkat secara
eksponensial. Jadi harus diketahui tipe pelatihan seperti apa yang menjadi
kebutuhan dan keinginan dari ranah social
entrepreneurship. Universitas umumnya tertarik dengan penelitian dan
semacamnya untuk meng-update dan
meng-upgrade ilmu pengetahuan yang
sebelumnya telah ada. Bahkan Universitas Indonesia telah mendeklarasikan diri
sebagai ‘World Research University’
sehingga bagaimana penelitian yang dilakukan oleh universitas sebaiknya juga diarahkan kepada mencari metode yang
tepat untuk mengembangkan social
entrepreneurship di Indonesia.
Pada umumnya di
masing-masing universitas memiliki inkubator pengembangan bisnis bagi
mahasiswa, misalnya Universitas Indonesia (UI) memiliki CEDS dan Universitas
Gajah Mada (UGM) memiliki PMW yaitu Program Mahasiswa Wirausaha. Ahmad Haneef
Zuhdy (2011), mahasiswa 2009 Fisipol UGM, menyatakan bahwa pengembangan model
social entrepreneurship di UGM belum ada, namun model-model pengembangan
mahasiswa wirausaha (business
entrepreneur) sudah ada. Ada kemungkinan akan mengembangkan ke ranah social
entrepreneurship karena saat ini UGM menggandeng Mien R Uno Foundation.
Sumber pembelajaran bagi wirausaha adalah berupa pengalaman, belajar dari pihak
lain, kompetensi, dan belajar dari sumber formal. Pada konteks ini, penulis
akan menekankan pada belajar dari sumber formal, yaitu universitas. Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia sendiri misalnya, memiliki mata kuliah pilihan
‘Kewirausahaan’, namun sepengetahuan penulis masih difokuskan ke arah pembuatan
business plan yang mengarah pada business
entrepreneurship. Pada setiap akhir semester, mahasiswa mata kuliah ‘Kewirausahaan’
diwajibkan membuat rencana bisnis per kelompok yang nantinya dipresentasikan
sebagai tugas akhir. Bukan hal yang mustahil jika konsep dari mata kuliah ini
diarahkan pada social entrepreneurship
dimana mahasiswa diwajibkan membuat tugas akhir berupa social entrepreneurship project guna memacu dalam menciptakan social entrepreneur dari kalangan
mahasiswa.
Setelah mendapatkan
pembelajaran dari lembaga pendidikan formal seperti melalui mata kuliah,
seminar, atau pelatihan yang ditujukan untuk membentuk social entrepreneur maka para mahasiswa tersebut akan memiliki
pengalaman dan kompetensi baik secara teoritis maupun praktik sehingga tentu
menjadi individu yang berpengalaman. Selanjutnya, mahasiswa tersebut dapat
memacu diri sendiri untuk menjadi sosok social
entrepreneur dengan terus didukung dengan program-program peningkatan
pengetahuan dan keahlian terkait social
entrepreneurship. Akhirnya, mahasiswa benar-benar dapat menjadi agen
perubahan yaitu bertindak sebagai social entrepreneur.
Pada umumnya, entrepreneur yang mengenyam pendidikan
di level universitas akan lebih berhasil karena dibekali pengetahuan dan
keahlian serta pengalaman secara langsung dan tidak langsung sekaligus. Entrepreneur harus mandiri, kritis,
kreatif, etos kerja tinggi, dan kepekaan terhadap masyarakat dan lingkungan
sekitar yang pada akhirnya melahirkan social
entrepreneur (Gregorius, 2011).
Kesimpulannya,
universitas merupakan lembaga yang berpotensi untuk berperan aktif dalam
mengembangkan social entrepreneurship
di Indonesia melalui berbagai upaya, misalnya mata kuliah, pelatihan, seminar, kompetisi
rencana bisnis, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), dan riset, dengan memberdayakan
mahasiswa yang ada didalamnya sebagai agen perubahan. Seiring berjalannya
waktu, penanaman minat dalam social
entrepreneurship tidak harus baru dimulai dari level universitas namun
sudah harus dimulai dari level pendidikan dasar melalui penyusunan kurikulum
kewirausahaan sosial sehingga menjadi pembelajaran semenjak dini bagi para
tunas pembangun bangsa.
Mahasiswa dan Gerakan Social
Entrepreneurship-nya
Berdasarkan
data PSP 2009/2010 diketahui bahwa jumlah anak yang masuk SD/MI di Indonesia
adalah 31,05 juta pelajar dan berkurang di jenjang SMP menjadi 12,69 juta
pelajar. Secara kuantitas, jumlah anak yang mampu mengenyam pendidikan di level
SMA/MA/SMK hanya 9,11 juta pelajar dimana menurun kembali menjadi 5,1 juta
pelajar yang mampu menikamti pendidikan di perguruan tinggi.
Data
tersebut mengindikasikan bahwa mahasiswa/I adalah kaum terbatas atau lebih
sering disebut dengan kaum elite. Namun justru kaum elite ini yang menjadi
bagian dari permasalahan bangsa dimana mendominasi angka pengangguran di
Indonesia. Pada bulan Februari 2011 tingkat pengangguran terbuka di Indonesia
mencapai 6,8 persen atau 8,12 juta jiwa. Angka ini menurun ketimbang periode
yang sama tahun lalu yang sebanyak 8,59 juta orang, turun 470 ribu orang.
Februari 2010 pengangguran mencapai 7,41 persen atau sebanyak 8,59 juta jiwa
(BPS, 2011). Bappenas (2009) melakukan survei yang menunjukkan bahwa 22,2% dari
21,2 juta angkatan kerja merupakan pengangguran dimana 2 juta dari pengangguran
tersebut berasal dari lulusan perguruan tinggi. Mahasiswa sebagai kaum inteletual
yang seharusnya menjadi pengentas masalah, justru menjadi bagian dari permasalahan
bangsa Indonesia.
Reasonable
people adapt themselves to the world. Unreasonable people attempt to adapt the
world to themselves. All progress, therefore, depends on unreasonable people. - George Bernard Shaw-
Terdapat
dua pilihan bagi mahasiswa, beraksi sebagai reasonable
people atau unreasonable people?
Beberapa dari kalangan intelektual ini jelas memilih being a reasonable people dimana mereka harus beradaptasi dengan
dunia untuk mampu bertahan dan berkembang dalam zona aman dan nyaman. Namun,
beberapa lebih memilih menjadi unreasonable
people yang menurut Nurul Setia Pertiwi (2011) merupakan ‘suatu gambaran
akan generasi yang dibutuhkan dunia untuk menciptakan transformasi besar yang
radikal dan menyeluruh. Generasi yang ambisius, senantiasa ingin mengubah
sistem, digerakkan emosi, menganggap mengetahui masa depan, mengabaikan
stereotip yang ada, dan segala hal yang akhirnya menggerakkan mereka untuk
menjadi bibit perubah dunia’. Seharusnya mahasiswa masuk dalam golongan unreasonable people karena merupakan agent of change yang salah satu wujudnya
adalah menjadi social entrepreneur.
Dhiora
Bintang (2011) menyatakan pendapatnya tentang model social entrepreneur dari basis mahasiswa. Pemberdayaan berbasis komunitas merupakan kuncinya
dimana selama ini mahasiswa mengembangkan ragam komunitas di multi sektor, tapi
peningkatan ke level social entrepreneurship
masih kurang. Pertama, proyek-proyek sosial mahasiswa harus dikonversikan
kedalam social enterpreneur. Proyek
“Bina Desa” misalnya, dilakukan secara komprehensif. Mulai dari pendidikan,
sanitasi yang berkaitan dengan kesehatan, hingga ekonominya. Kedua, universitas bisa memfasilitasi lewat
insentif, misalnya program yang telah dijalankan bisa dituangkan dalam setiap
tugas akhir atau skripsi dan bisa menjadi bagian dari pengurangan sks. Ketiga,
peran pemerintah yang memberi stimulus dalam hal dana jika proyek yang
dilakukan layak dijalankan. Pada akhirnya, mahasiswa dan komunitas yang telah
diberdayakan akan menjalankan usaha dalam social
entrepreneurship tersebut. Gerakan mahasiswa ini akan membantu pemerintah
untuk mengatasi persoalan bangsa Indonesia.
Pada
bahasan ini, penulis hendak menyuguhkan beberapa social entrepreneur yang berasal dari kalangan mahasiswa dimana
mulai merintis usaha semenjak di bangku kuliah yang diharapkan dapat memacu
semangat pembaca untuk mengikuti jejak para mahasiswa pendahulu ini. Gerakan
mahasiswa ini bisa disebut dengan Intelectual
Social Responsibility (ISR), sedangkan bagi swasta disebut dengan Corporate Social Responsibility (CSR).
Kaya bukanlah sesuatu yang berkaitan dengan
diri sendiri, tetapi mengenai sejauh mana kita bisa memberdayakan orang lain
agar turut berkarya dan berpenghasilan. -Presiden Kabinet Keluarga Mahasiswa ITB 2010/2011-
Jaya
Hidayat, mahasiswa akuntansi angkatan 2008 dari Universitas Hasanuddin,
penerima beastudi etos, memperoleh kesempatan menjadi salah satu deklarator
Pengusaha Mahasiswa Indonesia pada 14-15 Juni 2011. Jaya menjadi entrepreneur
di usia muda dengan mendirikan CV Angkasa Mulia dengan empat anak usaha yang
melibatkan etoser di Makassar dalam kepegawaiannya. Kini Jaya tengah menelurkan
program social entrepreneurship dimana memberi beasiswa bagi mereka yang
tidak mampu yang ingin melanjutkan kuliah dengan jurusan Kedokteran, Teknik
Sipil, Akuntansi yang sebagian waktunya bisa langsung bekerja di cabang
perusahaan yang akan dikembangkannya. Hal ini menjadi contoh konkret bagaimana
saat mendirikan usaha maka akan ada kebermanfaatan bagi orang lain atau mampu
memfasilitasi orang lain dengan menjadi social
entrepreneur.
Penulis
berkesempatan menghadiri seminar yang diadakan oleh CEDS Universitas Indonesia
yang mendatangkan social entrepreneur,
salah satunya yang berasal dari kalangan mahasiswa adalah Yoga Rokhmana.
Berlatarbelakang S1 di Institut Pertanian Bogor (IPB) dan melanjutkan S2 di FKM
Universitas Indonesia, mahasiswa ini menjadi pemasar boneka horta. Menurutnya
mahasiswa biasa menjadi tangan dibawah dengan mengharapkan beasiswa atau
bantuan-bantuan pendidikan dan biaya hidup dalam menunjang. Mindset inilah yang harus diubah dimana
mahasiswa yang menjadi tangan dibawah menjadi mahasiswa menjadi tangan diatas
melalui gerakan social entrepreneurship-nya.
Boneka
horta sendiri merupakan buah dari penelitian yang berjudul ‘Perakitan Boneka
Tanaman sebagai Mainan Edukatif untuk Mengajarkan Kecintaan Pertanian terhadap
Anak-anak’. Penggagasnya adalah mahasiswa –mahasiswa dari IPB, yaitu Gigih
(Jurusan Holtikultura IPB bersama Asep, Imam, Rhamatullah, Nissa Rahmadia,
Nurhaedi, dan Agustina. Bahan baku dari boneka horta adalah serbuk kayu, pupuk,
dan benih tanaman. Setelah melalui proses penelitian akhirnya Gigih bersama
seorang teman wirausahanya membuat usaha boneka yang menjadi media tumbuh
tanaman dan akhirnya diberi label ‘boneka horta’. Bisnis boneka horta ini
dikerjakan oleh ibu-ibu rumah tangga di daerah Ciomas yang sebelumnya
menganggur artinya memberdayakan ibu-ibu yang sebelumnya pasif dalam bekerja
menjadi aktif sehingga mampu menyokong kebutuhan keluarga. Para ibu rumah
tangga tersebut dibekali keterampilan membuat boneka horta, terutama mengingat
permintaan yang meluas tidak hanya dari daerah Bogor saja.
IPB
tidak hanya memiliki social entrepreneur sebagaimana yang sebelumnya dipaparkan
oleh penulis, satu nama lagi yang membahana karena gerakannya sebagai mahasiswa
dalam membangun perumahan bagi orang miskin. Menurutnya hal ini dimaksudkan
untuk menyeimbangkan kehidupan, tidak hanya fokus pada yang kaya saja. Impian
Elang sangat mulia yaitu membentuk organisasi Maestro Muda Indonesia dan
membawahi perusahaan yang mempekerjakan 100 ribu orang. Motivasinya adalah
menjadi teladan bagi generasi muda untuk peduli pada masyarakat sekitar dan
mulia baik di dunia maupun akhirat. Act
as an social entrepreneur make our life balance.
Social entrepreneur lainnya adalah Goris
Mustaqim yang berinisiatif mendirikan ASGAR MUDA di Garut saat masih menjadi
mahasiswa ITB. Namanya mencuat saat menjadi satu dari 10 orang yang diundang
oleh Presiden Amerika Serikat Barrack Obama dalam Presidential Summit on
Enterpreneurship di Amerika Serikat. Semboyannya yang dikenal adalah membangun
dari desa. ASGAR MUDA menjadi simbol pemberdayaan generasi muda Garut untuk
membangun desanya menuju kesejahteraan dan kehidupan yang lebih baik. Proyek
sosial yang patut untuk menjadi teladan bagi mahasiswa-mahasiswa lain di
daerahnya masing-masing. Apalagi mengingat saat ini pemerintah daerah sering
membiayai proyek pemberdayaan mahasiswa di daerah atau Dikti yang aktif memberi
bantuan bagi proposal bisnis yang layak, termasuk Program Kreatifitas Mahasiswa
(PKM) yang rutin diadakan setiap tahunnya.
Masih
banyak lagi mahasiswa dan gerakannya dalam kerangka social entrepreneurship yang tidak dapat dijabarkan satu persatu
oleh penulis. Beberapa contoh di atas, yaitu Jaya Hidayat dari Universitas
Hasanuddin, Yoga Rokhmana, Gigih, dan Elang Gumilang dari Institut Pertanian
Bogor (IPB), dan Goris Mustaqim dari Institut Teknologi Bandung (ITB) merupakan
social entrepreneur yang memulai
usahanya sejak duduk di bangku universitas serta bisa merepresentasikan gerakan
mahasiswa horizontal yang ditujukan untuk pemberdayaan dan pemerataan
kesejahteraan masyarakat.
Apabila
memang tidak berminat menjadi social
entrepreneur, setidaknya mahasiswa memacu munculnya social entrepreneurship. Banyak cara yang dapat ditempuh, misalnya
membuat kegiatan-kegiatan seperti seminar, pelatihan, konfrensi mahasiswa, dan
ajang kompetisi bisnis yang mengarah ke ranah sosial. IEC ITB 2011 dengan
seminar nasionalnya sudah memegang peran dalam memperkenalkan dan memacu
tumbuhnya social entrepreneur di Indonesia dari kalangan mahasiswa. Universitas
Brawijaya (Gambar 3) melalui business
plan competition 2011 yang mengangkat tema ‘Social Business : Entrepreneurship that Empower’ yang finalnya akan
diadakan pada 4Oktober 2011 juga bukti nyata bagaimana eksistensi social entrepreneur, yang notabene
adalah mahasiswa, semakin diakui. Konfrensi Mahasiswa Indonesia Universitas
Indonesia (KMIUI) 2011 juga merupakan salah satu wadah untuk menunjukkan bahwa social entrepreneurship menjadi arah
revitalisasi gerakan mahasiswa di era global saat ini.
Tantangan Mahasiswa sebagai Social
Entrepreneur
One of the things I'm most focused now on,
with the Case Foundation, is the notion of social entrepreneurship. I'm an
entrepreneur. I like building companies, but I also like building projects, and
one of the things I learned in the last five years is it's easy to start new
things, particularly in the not-for-profit world. It's harder to scale them,
and so we're trying to figure out a way to work with some of the not-for-profit
organizations -- around maybe ten years, or already well led, already well
respected -- on how to kind of get them over that tipping point where they
really become more mainstream phenomena. One statistic that was startling to me
is if you look at the top 20 companies, and you look at the list 20 years ago
and you look at the list today, about half of the companies change every 20
years, because 20 years ago CISCO and Microsoft and some of the other companies
didn't really exist. Wal-Mart. And so in the business world there's this
process of constant change and evolution and a list changes. In the
not-for-profit world, if you look at the top 20 not-for-profits 20 years ago
and today, 19 of them are the same. One has broken through, which is Habitat
for Humanity, which is a great group that we work closely with. -Steve Case-
Memang
bukan perkara mudah untuk memulai menjadi seorang social entrepreneur, apalagi bagi mahasiswa yang juga memiliki
tanggung jawab dalam hal akademik. Namun apa salahnya jika kita sebagai
mahasiswa mencoba sebelum menyatakan diri gagal melaksanakannya?
Tantangan
terbesar yang dihadapi oleh mahasiswa adalah masalah konsistensi dalam
menjalankan usahanya sebagai social
entrepreneur. Seperti yang sudah-sudah, awalnya mahasiswa bertindak idealis
dan berubah menjadi pragmatis. Misalnya niat awal adalah menjadi social entrepreneur, lalu setelah
berjalannya waktu tidak lagi fokus pada pemberdayaan dan pemerataan
kesejahteraan masyarakat, tetapi beralih kearah business entrepreneur. Apalagi menyangkut pelibatan waktu dari
mahasiswa yang tidak sedikit jika menjalankan social entrepreneurship yang digagasnya.Oleh karena itu dalam social entrepreneurship harus dimasukkan
unsur etika dan moral dalam menjaga konsistensi mahasiswa menjadi social entrepreneur.
Kedua,
tantangan dari pihak masyarakat juga ada misalnya masyarakat mau atau tidak
untuk menjadi bagian dari pemberdayaan oleh social
entrepreneur. Saat mahasiswa telah bersungguh-sungguh, sementara masyarakat
atau elemen yang akan ditangani tidak menunjukkan minat untuk melakukannya
bersama-sama maka kesuksesan program-program untuk menjalankan social entrepreneurship itu menjadi kurang
maksimal.
Ketiga,
saat social entrepreneur yang dalam
hal ini adalah mahasiswa dan masyarakat sebagai objek sekaligus subjek
pemberdayaan dalam kerangka social
entrepreneurship telah dalam kondisi yang baik maka tantangan selanjutnya
adalah pendanaan yang terbatas. Masalah dana kerap kali menjadi tantangan yang
terberat saat mahasiswa menjalankan proyek-proyek yang berhubungan dengan community development, apalagi social entrepreneurship yang saat ini
masih bisa dibilang baru menjadi trend
di kalangan mahasiswa. Banyak sekali program pemberdayaan masyarakat yang
dilakukan oleh mahasiswa sehingga pemberi dana juga mungkin telah
mengalokasikan untuk program-program tertentu. Penulis belum menemukan baik
dari pihak pemerintah yang dalam hal ini dikti maupun swasta dengan program
CSR-nya yang fokus memberikan bantuan dana untuk menyokong kegiatan yang
dilakukan oleh social entrepreneur.
Keempat,
manajemen pelaksanaan dari social
entrepreneurship yang dijalankan oleh mahasiswa. Mahasiswa memiliki
beberapa constrain secara personal,
misalnya (1) waktu antara kuliah, penanganan proyek sebagai social entrepreneur, dan kegiatan
kemahasiswaan lainnya; (2) profesionalitas dari mahasiswa dalam melaksanakan
proyek social entrepreneurship-nya,
misalnya tidak adanya pendampingan dari tenaga ahli atau yang berpengalaman
sehingga keberhasilan proyek hanya setengah-setengah.
Empat
tantangan yang telah dijabarkan oleh penulis dimana menjadi tantangan bagi
mahasiswa untuk berkarya sebagai social
entrepreneur memang bukan menjadi hal yang perlu terlalu dikhawatirkan,
namun tentu perlu strategi dalam menghadapi tantangan-tantangan tersebut. Hal
ini karena keyakinan penulis bahwa mahasiswa merupakan individu-individu yang
visioner dalam melakukan proyek-proyek yang direncanakan, termasuk memacu
pengembangan social entrepreneurship
di Indonesia. Optimisme tumbuhnya bibit-bibit social entrepreneur dalam kalangan mahasiswa harus disambut dengan
aksi nyata gerakan mahasiswa, bukan sekedar trend
wacana.
Penutup : Kesimpulan dan Rekomendasi Penulis
Berdasarkan
pembahasan yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa social entrepreneurship di Indonesia
memiliki peluang yang besar untuk dikembangkan dengan melihat potensi yang
dimiliki Indonesia dalam kapasitas sumber daya alam berlimpah maupun kuantitas
sumber daya manusia, namun belum mampu dioptimalkan sehingga manfaat positifnya
pun belum terlihat maksimal. Social
entrepreneurship tidak hanya fokus pada kemampuan menghasilkan keuntungan,
tetapi juga kemampuan untuk memberdayakan masyarakat sehingga memiliki
kemandirian untuk menciptakan pemerataan kesejahteraan.
Apabila
hal ini dikaitkan dengan peran pemuda yang dalam hal ini adalah mahasiswa maka
gerakan mahasiswa yang dulunya lebih bersifat vertikal dimana
destruktif-anarkis berubah menjadi lebih fokus pada gerakan yang bersifat
horizontal dimana bersentuhan secara langsung dengan masyarakat. Telah terjadi
revitalisasi gerakan mahasiswa yang salah satunya bergerak dalam community development pada kerangka
sosial-ekonomi, yaitu social
entrepreneurship. Bagaimanapun juga terdapat persamaan yang menonjol antara
gerakan mahasiswa angkatan 1998 dan angkatan selanjutnya dimana mahasiswa bertindak
sebagai motor penggerak pembaharuan serta kepedulian dan keberpihakan terhadap
masyarakat. Namun mahasiswa di Indonesia menghadapi tantangan-tantangan dalam
bertindak sebagai social entrepreneur,
yaitu terkait konsistensi dalam menjalankan usaha, minat masyarakat,
keterbatasan dana, dan manajemen pelaksanaan usaha. Apalagi jika mengingat
bahwa social entrepreneurship di
Indonesia belum terkenal selayaknya business
entrepreneurship sehingga masih dianggap sebatas trend dalam masyarakat terutama jika yang menjalankan adalah
mahasiswa.
Berangkat dari sebuah pemikiran
sederhana, rekomendasi atau strategi yang dapat penulis berikan terkait
bagaimana mahasiswa di Indonesia mengatasi berbagai tantangan yang ada dalam
menjalankan social entrepreneurship
agar dapat dieksekusi dengan hasil maksimal adalah sebagai berikut.
Rekomendasi pertama ditujukan untuk
menjawab tantangan konsistensi mahasiswa sebagai social entrepreneur yang masih dipertanyakan karena social entrepreneurship sendiri masih dianggap
sekedar trend di kalangan mahasiswa,
selain itu juga membutuhkan perhatian khusus dalam eksekusinya karena
melibatkan elemen masyarakat tertentu. Bisa saja terjadi perubahan niat setelah
melihat besarnya keuntungan yang diraup dari usaha, padahal awalnya dalam usaha
tersebut terkandung tujuan pemberdayaan masyarakat. Hal yang perlu menjadi
perhatian juga adalah fleksibilitas waktu dari mahasiswa karena harus membagi
waktu antara kuliah, kegiatan ekstrakurikuler perkuliahan, dan social entrepreneurship-nya. Oleh karena itu, hendaknya dibentuk kelompok
gerakan mahasiswa. Artinya mahasiswa tidak hanya bertindak secara individual
sebagai social entrepreneur, namun
membentu kelompok yang terdiri dari individu-individu dengan fokus social entrepreneurship dalam bidang
yang sama. Dengan dibentuknya kelompok gerakan mahasiswa dalam social entrepreneurship maka saat konsistensi
salah satu luntur maka individu lainnya
bisa memotivasi dan melanjutkan gerakan yang telah digagas, setidaknya bisa
saling mengingatkan untuk konsisten pada niat mulia sebagai social entrepreneur dan mengambil peran
sentral dalam upaya memberdayakan masyarakat sekitar. Selain itu, jika dibentuk
kelompok maka bisa dilakukan pembagian tugas sehingga saat salah satu pihak
memiliki kepentingan lain maka rekan kelompoknya bisa menggantikan tugas yang
ada dan setiap individu bisa fokus pada bagian masing-masing, misalnya sesuai
disiplin ilmu yang digeluti. Adapula yang mengatakan bahwa ‘dua otak lebih baik
dibandingkan satu otak’ artinya pemikiran-pemikiran kreatif dapat muncul dimana
individu-individu tersebut bisa melakukan brainstorming
ide-ide untuk melaksanakan kegiatan social
entrepreneurship-nya.
Rekomendasi kedua, integrasi antar
elemen atau stakeholders yang
terlibat dalam social entrepreneurship
yang digagas oleh mahasiswa tersebut. Tahap awal, mahasiswa yang telah dibuat
kelompok, sebagaimana rekomendasi pertama, terdiri dari individu-individu yang
berbeda sehingga secara internal harus diintegrasikan. Lalu masyarakat sebagai
objek sekaligus subjek yang bekerjasama dengan mahasiswa untuk mensukseskan
usaha juga harus diintegrasikan. Mahasiswa harus membuat semacam divisi litbang
untuk mengetahui kebutuhan dari masyarakat yang hendak dilakukan dan dicocokkan
dengan program social entrepreneurship
yang telah dirancang, harus dilakukan penyesuaian terhadap salah satunya. Ada
pilihan menyesuaikan program dengan masyarakat terlebih dahulu yang berarti
memilih masyarakat mana yang hendak diberdayakan baru membuat program social entrepreneurship yang sesuai
untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi masyarakat tersebut.
Pilihan kedua adalah membuat program terlebih dahulu yang berarti setelah
program disusun maka mencari masyarakat yang sesuai atau setidaknya mau
kooperatif dalam pelaksanaan program yang disusun. Dalam hal ini antara
mahasiswa dan masyarakat tidak dapat berjalan sendiri-sendiri karena terdapat
korelasi dimana mahasiswa bertindak sebagai social
entrepreneur yang melibatkan masyarakat didalamnya untuk memiliki
kemandirian dalam memberdayakan dirinya, akhirnya masyarakat tersebut memiliki
keinginan pula menjadi social entrepreneur
dan terjadi efek multiplier dalam kerangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Jika masyarakat enggan menjadi bagian dari social
entrepreneurship yang digagas mahasiswa maka program yang telah disusun
tidak mungkin terlaksana, begitu sebaliknya saat mahasiswa tidak mampu
beradaptasi dengan masyarakat.
Rekomendasi ketiga, kerjasama antara
pemerintah, swasta dengan program Corporate
Social Responsibility (CSR) yang dimiliki, masyarakat, dan mahasiswa
sebagai tokoh utama untuk bersama-sama dalam mengatasi masalah pendanaan.
Pemerintah melalui Dikti misalnya dapat menggelontorkan dana untuk membantu
mahasiswa dalam melakukan community
development terutama social
entrepreneurship. Swasta dapat dipacu untuk untuk memfokuskan CSR-nya untuk
membantu social entrepreneur di
Indonesia. Masyarakat yang diberdayakan juga harus tau berapa dana yang
dibutuhkan untuk melakukan program dari mahasiswa sebagai social entrepreneur, lalu jika mampu membantu dalam hal pendanaan
pula karena manfaat positifnya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat
tersebut. Mahasiswa sendiri bisa melakukan penggalangan dana dari kalangan
mahasiswa atau membuat proposal mengenai program social entrepreneurship yang akan dijalankan lalu diajukan kepada
pemerintah dan swasta. Pemerintah pasti akan mendukung karena pemberdayaan
masyarakat merupakan salah satu dari tiga kluster penanggulangan kemiskinan di
Indonesia, selain itu swasta pun akan tergerak dalam pendanaan karena
bersentuhan langsung dengan masyarakat yang mungkin merupakan bagian dari konsumen
produk perusahaan tersebut. Banyak alternatif yang dapat dilaksanakan untuk
mendukung pendanaan bagi social
entrepreneur, asalkan program yang hendak dilaksanakan layak secara konsep
maupun saat dipraktekkan.
Rekomendasi keempat, melibatkan
ahli yang merupakan praktisi maupun akademisi untuk membantu mahasiswa sebagai social entrepreneur. Pendampingan ini
tentu seharusnya dari awal perencanaan, eksekusi, dan evaluasi kegiatan. Hal
ini dimaksud untuk mendukung kelompok gerakan mahasiswa dalam social entrepreneurship, masyarakat yang
telah kooperatif dengan mahasiswa, serta pemerintah maupun swasta yang telah
mendukung dalam pendanaan. Misalnya melibatkan Tri Mumpuni, Goris Mustaqim,
Elang Gumilang, Sandiaga S. Uno, dan social
entrepreneurs lainnya di Indonesia.
Penulis
berharap makalah dengan judul “Gejolak Revitalisasi Gerakan Mahasiswa di
Indonesia dalam Kerangka Social
Entrepreneurship” ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukan dan
memberikan pandangan, kepada mahasiswa khususnya, untuk melakukan gerakan dalam
bidang social entrepreneurship
sehingga menciptakan pemerataan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Optimisme
tumbuhnya social entrepreneur dalam
kalangan mahasiswa harus disambut dengan aksi nyata, bukan sekedar trend wacana. Penulis optimis jika
mahasiswa yang digadang-gadang merupakan agent
of change atau lebih spesifik lagi merupakan social agent dapat berperan aktif menjadi social entrepreneur sebagai salah satu bentuk revitalisasi gerakan
mahasiswa yang berdampak positif bagi masyarakat sekaligus penggerak perekonomian
Indonesia di era globalisasi.
DAFTAR PUSTAKA
Adman.
2005. Pergerakan Mahasiswa. Disampaikan pada Kegiatan LDKM Himpunan
Mahasiswa Program Studi Manajemen
Perkantoran, Jum’at, Oktober 2006.
Anoviar,
Alia Noor. 2009. Membangun Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Guna
Mengatasi Tingginya Angka Pengangguran di Indonesia. Economic Research Paper (ERP) : Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia, Depok.
Media
Indonesia. Gerakan Mahasiswa Pasca Reformasi Masih Solid dan Kritis. Jumat, 3
April 2003. Kolom 8-9.
Pituduh,
Imam. 2006. Social Entrepreneurship Harus Mengakui Hukum Pasar. Sumber :
Menggali Konsep ‘Social Entrepreneurship’, Suatu Riset Pustaka. Jurnal Galang,
Vol.1 No.4 Juli 2006, PIRAC, 2006, Opini Hal 125 – 133.
Santosa, Setyanto
P. 2007. Peran Social Entrepreneurship dalam Pembangunan. Dipaparkan
dalam acara dialog “Membangun Sinergisitas Bangsa Menuju Indonesia yang
Inovatif, Inventif dan Kompetitif” diselenggarakan oleh Himpunan IESP
FE-Universitas Brawijaya. Malang, 14 Mei 2007.
Suprapto,
Siti Adiprigandari Adiwoso. 2006. Defining a Training Program for Social
Entrepreneurship in Indonesia. Volume II, Issue 4 SPECIAL ISSUE - INITIATE 21,
Brisbane - © 2006, Journal of Asia Entrepreneurship and Sustainability.
Winarto.
2008. Membangun Kewirausahaan Sosial : Meruntuhkan dan Menciptakan Sistem Secara
Kreatif. Makalah untuk Seminar: Membangun
Kewirausahaan Sosial: “Meruntuhkan dan Menciptakan Sistem secara Kreatif?”. Universitas Gajah
Mada. Yogyakarta, 22 Februari 2008.
Sumber Internet :
IPA
Voices. 2011. Peluncuran ‘Social Innovation & Entrepreneurship Awards’
untuk Inovator dan Pengusaha Sosial Indonesia di Singapura. Diunduh pada 18
Agustus 2011 pukul 14.51 WIB melalui
http://www.indonesiaberprestasi.web.id/?p=7756.