Studi
Eksploratif Tentang Partisipasi Pekerja Perempuan dalam Serikat Pekerja (Studi Kasus pada Perusahaan Kosmetik
PT. XYZ)
Alia Noor Anoviar dan Riani Rachmawati
Program Studi S1 Ilmu Manajemen,
Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia
ABSTRAK
Skripsi
ini membahas partisipasi pekerja perempuan dalam SP pada perusahaan kosmetik PT.
XYZ guna mengetahui alasan-alasan pekerja perempuan di Indonesia berpartisipasi
dalam serikat pekerja dan upaya-upaya yang dilakukan oleh pengurus untuk
mendorong partisipasi pekerja perempuan dalam serikat
pekerja.
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dimana pengumpulan data menggunakan
metode wawancara mendalam. Penelitian menunjukkan bahwa faktor keluarga, serikat pekerja, pekerjaan, feminisme, dan budaya masyarakat menjadi pertimbangan dari pekerja perempuan untuk berpartisipasi dalam
serikat pekerja.
Terdapat faktor budaya masyarakat yang menjadi
pertimbangan
bagi pekerja perempuan berpartisipasi dalam serikat pekerja di Indonesia,
berbeda dengan penelitian sebelumnya oleh Kirton (2005) di Inggris yang menyatakan bahwa faktor yang menjadi pertimbangan pekerja
perempuan berpartisipasi dalam serikat pekerja adalah keluarga, serikat
pekerja, pekerjaan, dan feminisme. Penelitian ini menyarankan bahwa serikat pekerja harus membuat kebijakan-kebijakan khusus bagi
pekerja perempuan, misalnya kebijakan kuota, dan
dilaksanakannya sosialisasi akan keberadaan SP dengan dukungan manajemen untuk
mendorong partisipasi pekerja perempuan dalam SP.
Kata
kunci : Kebijakan-kebijakan khusus pekerja
perempuan; pekerja perempuan; serikat pekerja;
sosialisasi.
ABSTRACT
The
focus of this study is about female workers’ participation in union of cosmetic
company PT. XYZ with the purpose of knowing the reasons why female workers in
Indonesia join and participate in union and how the union’s committee enhance
participation of female workers. This is qualitative research where data was
collected through in-depth interviews. This findings show that family, trade
union, occupation, feminist, and society culture influence participation of
female worker in union. There is factor of society culture also influence
participation of female worker in union in Indonesia, it is different with prior
research from Kirton (2005) in UK that shows only four factors influence
participation of female worker in union there such as
family, trade union, occupation, and feminism. This research
suggests that union must develop the special policies for female workers, such as quota policy, and make a socialization with support
from management to encourage female workers’ participation in union.
Keywords : Special policy for female workers;
female worker; union; socialization.
PENDAHULUAN
Peran penting perempuan dalam sektor
ekonomi di Indonesia ditunjukkan dengan semakin meningkatnya angkatan kerja
perempuan baik di sektor formal maupun informal sebagaimana data Pusdatinaker
Kemenakertrans yang diolah oleh Anwar dan Supriyanto (2012). Menurut hasil
penelitian International Labor
Organization (ILO)
dan Pakistan Workers Federation (PWF) (2009), tren pasar
tenaga kerja saat ini menunjukkan bahwa banyak perempuan masuk ke dalam serikat pekerja
(SP) sehingga seharusnya SP mampu mengakomodasi hak-hak pekerja perempuan. SP
merupakan asosiasi yang berlangsung secara kontinyu dari pekerja dengan maksud
untuk menjaga dan meningkatkan kondisi dari pekerjaannya (Webb & Webb,
1920). Dengan peningkatan jumlah pekerja perempuan dalam pasar tenaga kerja dan
keanggotaan SP maka menjadi penting untuk mengetahui alasan seorang pekerja
perempuan bergabung dan berpartisipasi dalam SP, terutama menyangkut dimensi
jender (ILO, 2006).
Beberapa studi yang dilakukan oleh Healy
dan Kirton (2000) di Inggris menunjukkan bahwa jumlah tenaga kerja laki-laki
yang bergabung pada SP lebih besar dibandingkan perempuan, namun data terbaru
menunjukkan bahwa proporsi antara laki-laki dan perempuan dalam SP saat ini
hampir sama terutama pada badan-badan pemerintahan. Hasil yang berbeda
ditunjukkan oleh penelitian
ILO (2006) yang
menunjukkan bahwa persentase keanggotaan pekerja perempuan dalam beberapa
federasi dan konfederasi SP, yaitu
Federasi Serikat Pekerja Perkayuan Perhutanan dan Umum Seluruh Indonesia (FSP Kahutindo) (34,23 persen), Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) (36,87 persen), dan Serikat Pekerja Metal Indonesia (SPMI) (38,6 persen) masih
rendah.
Pentingnya pekerja perempuan bergabung
dalam SP adalah lebih memahami masalah pekerja perempuan karena apabila
kebijakan-kebijakan dibuat oleh pekerja laki-laki maka justru dapat
menghasilkan peraturan yang merugikan pekerja perempuan karena adanya perbedaan
sudut pandang (Sofiati Mukadi dalam Lembaran Buruh, 2012). Namun, fakta
menunjukkan bahwa partisipasi pekerja perempuan sebagai pengurus SP masih
rendah misalnya keanggotaan pekerja perempuan dalam SP di Pakistan hanya 2
persen (ILO, 2012).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh Kirton (2005) di Inggris menunjukkan bahwa terdapat beberapa faktor yang menjadi pertimbangan
tenaga kerja perempuan untuk bergabung dalam SP. Faktor-faktor tersebut adalah
latar belakang keluarga, kondisi SP pada perusahaan, pengaruh dari pengalaman
pekerjaan, dan feminisme. Guna mendapatkan gambaran awal mengenai peran
perempuan dalam SP di Indonesia, maka dilaksanakan penelitian pendahuluan dalam
sebuah lokakarya yang diadakan oleh Trade Union Right Centre (TURC) di Jakarta pada tanggal
23 Februari 2013. Penelitian awal ini dilakukan dengan menyebarkan pertanyaan
terbuka dalam bentuk kuesioner kepada 24 responden yang merupakan anggota atau
pengurus SP dari berbagai federasi dan konfederasi di Indonesia dimana seluruh
responden merupakan pekerja perempuan. Hasil olah data pada penelitian awal
menunjukkan bahwa terdapat beberapa faktor yang mendorong partisipasi pekerja
perempuan dalam SP meliputi faktor keluarga, pekerjaan, SP dan budaya
masyarakat.
Apabila diperbandingkan, penelitian
Kirton (2005) di Inggris dengan penelitian awal yang dilaksanakan pada tahun
2013 di Indonesia, maka terdapat faktor-faktor serupa dan berbeda yang
mendorong partisipasi pekerja perempuan dalam SP. Faktor yang berbeda tersebut adalah faktor budaya masyarakat yang
menjadi pertimbangan pekerja perempuan berpartisipasi dalam serikat pekerja di
Indonesia, namun tidak ada dalam penelitian Kirton (2005).
Oleh karena itu, guna mendapatkan informasi yang mendalam sebagai lanjutan
penelitian awal tersebut dan hasil temuan pada penelitian Kirton (2005) maka akan
dilakukan penelitian dengan studi kasus pada PT. XYZ.
Penelitian ini merupakan studi
eksploratif tentang partisipasi pekerja perempuan dalam SP, serta upaya-upaya
yang dilakukan untuk mendorong peran perempuan dalam berserikat. Dengan
mempertimbangkan dominasi pekerja perempuan pada PT. XYZ yang mencapai 80
persen total pekerja (pekerja tetap dan pekerja oursourcing), sementara hanya 3 dari 15 pengurus SP yang merupakan
pekerja perempuan atau hanya sebesar 20 persen. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui
alasan-alasan pekerja perempuan bergabung dan berpartisipasi dalam SP dan upaya untuk mendorong
keterlibatan mereka dalam SP.
TINJAUAN TEORITIS
Alasan yang menjadi latar belakang
seorang pekerja bergabung dan berpartisipasi dalam sebuah SP, terutama
menyangkut dimensi gender, menjadi topik utama yang diperbincangkan dalam
berbagai literatur mengenai hubungan industrial. Penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh beberapa peneliti menunjukkan bahwa terdapat beberapa faktor
yang mendorong dan tidak mendorong tenaga kerja perempuan memutuskan bergabung
dan berpartisipasi dalam SP, yaitu sebagai berikut :
Pertama, faktor keluarga
yang menjadi pertimbangan bagi pekerja perempuan berpartisipasi dalam serikat
pekerja. Adanya dikotomi peran publik dan peran
domestik yang berangkat dari pemahaman sindrom bahwa wanita sebaiknya berada di
rumah sehingga menimbulkan pembagian antara fungsi reproduktif dan fungsi
produktif, serta konsep beban ganda yang menekankan fungsi wanita sebagai ibu
rumah tangga menjadi akar historis yang menyebabkan pekerja perempuan memiliki
keterbelakangan dalam SP (Tjokrowinoto, 1996). Kirton (2005) menjelaskan bahwa
latar belakang keluarga sangat mempengaruhi keinginan seorang tenaga kerja
perempuan untuk bergabung dengan SP dimana saat mereka berasal dari keluarga
yang memiliki pemikiran terbuka tentang SP maka akan memiliki kecenderungan
untuk bergabung dan berpartisipasi, namun apabila mereka berasal dari keluarga
yang anti SP maka akan ada kecenderungan menghindari bergabung dan berpartisipasi
di dalam SP. Pekerja perempuan yang tidak bergabung atau berpartisipasi secara
informal menyatakan bahwa faktor keluarga dan keterbatasan waktu menjadi
hambatan.
Ritonga (2001)
menambahkan bahwa berdasarkan status perkawinan, buruh yang sudah menikah
memiliki hambatan lebih besar untuk turut berpartisipasi dalam serikat kerja
dibandingkan buruh yang masih lajang atau janda. Buruh yang telah menikah harus
mendapat ijin kepada pasangannya dan memiliki tanggung jawab domestik yang
sulit ditinggalkan. Apalagi pola pengelolaan SP yang tidak mengindahkan peran
domestik perempuan semakin mempersempit akses buruh wanita untuk terlibat pada
kegiatan dan pengambilan keputusan dalam SP. ILO (2006) mendukung ketiga
penelitian sebelumnya, menyebutkan bahwa faktor keluarga dimana adanya tanggung
jawab keluarga yang tumpang tindih (16,2 persen) dan larangan dari suami bagi
pekerja perempuan berpartisipasi dengan SP (5 persen) merupakan faktor dominan
yang menyebabkan pekerja perempuan kurang dapat berperan dalam keanggotaan
apalagi kepengurusan SP.
Kedua,
faktor serikat pekerja yang menjadi pertimbangan bagi pekerja perempuan
berpartisipasi dalam serikat pekerja. Kirton (2005)
menjelaskan bahwa kondisi SP dalam sebuah perusahaan memberikan pengalaman bagi
para anggotanya sehingga menjadi faktor kunci alasan seorang pekerja menjadi
anggota dalam SP tersebut.
Namun,
gaya kepemimpinan yang lebih condong kepada kepemimpinan laki-laki menjadikan
pekerja perempuan enggan masuk dalam SP
sehingga SP dianggap kurang merepresentasikan perempuan
dan isu-isu terkait dengan pekerja perempuan secara efektif. Menurut ILO
(2006), faktor-faktor yang menghambat pekerja perempuan untuk berpartisipasi
dalam SP dimana faktor utamanya adalah faktor SP itu sendiri yang dianggap
sebagai organisasi yang cenderung melibatkan laki-laki dalam pelaksanaannya (45
persen), budayanya didominasi oleh laki-laki (9,6 persen), SP juga dianggap
tidak sensitif terhadap kebutuhan khusus pekerja perempuan (4,5 persen), dan
adanya iuran (5,6 persen).
Ketiga, faktor pekerjaan
yang menjadi pertimbangan bagi pekerja perempuan berpartisipasi dalam serikat
pekerja. Kirton (2005) menjelaskan bahwa pengaruh
dari pengalaman kerja pada buruh pun mempengaruhi mengapa mereka ingin atau
tidak ingin masuk dalam SP, misalnya ada tindakan yang menyinggung masalah
asusila yang dilakukan oleh rekan kerja maka keikutsertaan buruh perempuan
dalam SP dapat menjadi salah satu alat untuk dapat menanggulangi permasalahan
tersebut. Ketidakadilan sosial dan diskriminasi gender maupun ras menjadikan
eksistensi SP di kalangan buruh perempuan lebih mendapatkan tempat. Lebih
lanjut, pekerja perempuan merasa takut ada tindakan balasan dari pihak
perusahaan ketika bergabung dengan SP lalu menjadi tidak pro-perusahaan (17,2
persen) dan pekerjaan perempuan yang tidak memungkinkannya untuk berorganisasi
(6,6 persen) seperti ditempatkan pada bagian input data sehingga harus bekerja
secara terus-menerus juga membutuhkan ketelitian dan fokus terhadap pekerjaan
(ILO, 2006).
Keempat, faktor
feminisme yang
dianggap tidak terlalu mempengaruhi minat untuk bergabung dan berpartisipasi
dalam SP dibandingkan faktor keluarga, SP, dan pekerjaan dari pekerja perempuan
itu sendiri. Pada umumnya, para feminis lebih bersikap kritis terhadap
keikutsertaan pekerja perempuan di dalam SP dengan pemikiran saat perempuan
bergabung dengan perempuan dalam SP maka akan mampu secara kolektif membawa
isu-isu pekerja perempuan (Kirton, 2005). Tjokrowinoto (1996) menambahkan bahwa
adanya dikotomi maskulin dan feminis
merupakan akibat dari determinasi biologis yang menyebabkan perempuan pada
akhirnya menjadi pihak yang termarginalkan dibandingkan pria.
Kelima, faktor budaya
sebagaimana yang dijelaskan Tjokrowinoto (1996)
bahwa adanya subordinasi dan peran marjinal wanita telah memperkuat wawasan
bahwa peran dan fungsi wanita dalam masyarakat adalah bersifat sekunder. Selain
itu, sebagaimana dijelaskan berdasarkan penelitian ILO (2005) bahwa perempuan
merasa tidak percaya diri (6 persen); kurangnya pemahaman pekerja perempuan
terkait keberadaan SP karena kurangnya edukasi dan sosialisasi (19,2 persen);
dan keterbatasan pada norma-norma agama
dan budaya (6,6 persen). Adanya sentimen negatif terhadap keberadaan SP dari
media juga menyebabkan rendahnya partisipasi pekerja perempuan (2,5 persen).
Menyadari semakin pentingnya peran
perempuan dalam SP dimana mendapatkan sorotan baik dari pengamat internasional
maupun para anggota dan pengurus SP maka International
Labor Organization (ILO) dalam penelitiannya yang diterbitkan pada tahun
2006 memberikan rekomendasi baik secara internal maupun eksternal untuk menuju
promosi kesetaraan jender yang lebih baik dalam SP. Langkah-langkah internal tersebut
adalah sebagai berikut :
Pertama, kebijakan
dalam SP yang mencakup kebijakan kuota partisipasi pekerja perempuan dalam SP,
partisipasi pekerja laki-laki dalam kegiatan-kegiatan yang terkait dengan
perempuan atau jender dan menetapkan sanksi-sanksi untuk pelanggaran kebijakan
kuota tersebut dan menyediakan sumber daya untuk monitoring dan evaluasi yang
relevan; penyusunan dan publikasi argumentasi yang jelas untuk keberadaan
struktur-struktur khusus perempuan, bersamaan dengan sebuah strategi menuju
pengarusutamaan jender dengan keterlibatan aktif pemimpin dan anggota serikat
laki-laki; memperbaiki dan mempertahankan koleksi data tentang keanggotaan dan
kepemimpinan yang dipisahkan berdasarkan jender; serta penetapan dan penguatan
mekanisme yang efektif untuk akuntabilitas unit-unit perempuan bagi anggota
perempuan dan peningkatan demokrasi internal di dalam organisasi.
Kedua, kebijakan
terkait keluarga mencakup adanya standarisasi bahan-bahan pelatihan dan
pengintegrasian kebijakan-kebijakan ramah keluarga, juga bantuan bagi perempuan
yang mengalami hambatan dari keluarga untuk berpartisipasi dalam SP; serta peningkatan
kepedulian isu-isu keluarga sehingga tidak lagi dipandang sebagai masalah
pribadi tetapi terkait dengan kinerja kerja dan aktivitas SP.
Ketiga, kebijakan
dalam kerangka pelatihan mencakup perencanaan, implementasi dan evaluasi
kegiatan-kegiatan pelatihan jender yang berkelanjutan, ditujukan baik untuk
laki-laki dan perempuan tingkat pemimpin dan diintegrasikan dengan
kegiatan-kegiatan pelatihan serikat lain dalam rangka meningkatkan penerimaan
dan efektifitas. Kajian menyeluruh mengenai kapasitas dan bahan-bahan yang ada
yang terkait dengan pelatihan jender dapat menjadi langkah awal yang
diperlukan; penyusunan program mentoring bagi perempuan muda yang memiliki
potensi kepemimpinan. Program mentoring tersebut dilaksanakan dengan melibatkan
LSM yang berhubungan dengan perempuan dan atau SP, serta spesialis sumber daya
manusia yang pada umumnya berasal dari perusahaan-perusahaan di sektor swasta;
serta upaya peningkatan kemampuan berbahasa asing untuk memungkinkan hubungan
yang lebih luas dengan jejaring dan mitra-mitra luar negeri dan organisasi-organisasi
donor internasional.
Sementara itu, langkah-langkah eksternal
(ILO, 2006) untuk meningkatkan partisipasi pekerja perempuan dalam SP adalah
sebagai berikut :
Pertama, pelibatan
peran pemerintah dan non pemerintah dimana dilakukan kerja sama yang lebih baik
dengan organisasi-organisasi pemerintah maupun non-pemerintah perempuan dalam
negeri dan internasional dalam rangka meningkatkan kejelasan konsepsi mengenai
jender diantara SP dan merangsang pertukaran pendapat, serta strategi-strategi
promosi kesetaraan jender.
Kedua, kerjasama
antar SP melalui perluasan hubungan dan kerja sama antar serikat dan jejaring
kelompok pekerja perempuan di level internasional; kerjasama yang efektif dan
berjangka panjang diantara unit-unit perempuan dalam konfederasi untuk
mempromosikan pengarusutamaan jender di dalam organisasi-organisasi tersebut; pendirian
sistem intra-serikat yang efektif untuk pembelajaran, jejaring, mentoring, dan
pertukaran informasi diantara perempuan-perempuan serikat dan untuk perencanaan
dan lobi bersama di tingkat nasional dan lokal mengenai kebijakan-kebijakan dan
hukum yang terkait dengan pekerja perempuan; tanggapan yang terkoordinir oleh
para pemimpin perempuan serikat terhadap tantangan tantangan sub-kontrak dan
pelanggaran-pelanggaran peraturan perundang-undangan perburuhan yang
berulang-ulang; dan penggalangan dana bersama untuk kegiatan-kegiatan yang
terkait dengan jender oleh para pemimpin perempuan serikat.
METODE PENELITIAN
Dalam
rangka menggali informasi sebanyak-banyaknya untuk digunakan sebagai bahan
pengolahan data studi kasus di perusahaan PT. XYZ, maka pola pengumpulan
informasi mengacu pada konsep penelitian kualitatif. Creswell (2008) dalam Raco
(2010) mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai suatu pendekatan atau
penelusuran untuk mengeksplorasi dan memahami suatu gejala sentral dengan
mengajukan pertanyaan yang umum dan agak luas terhadap responden. Dengan
mengacu kepada Moleong (2006) dalam Prastowo (2011), metode kualitatif akan
cocok diterapkan dalam penelitian ini karena ditujukan untuk mengetahui
pandangan-pandangan responden yang berbeda-beda dan berhubungan dengan SP
berdasarkan fakta, peristiwa, dan realita yang sesungguhnya terjadi.
Sementara
itu, pengumpulan data pada penelitian kualitatif ini tidak hanya melalui studi
literatur, namun juga dilakukan dengan cara wawancara secara mendalam (in depth interview). Pelaksanaan in depth interview dilakukan sejak
tanggal 16 Januari hingga 1 Maret 2013 yang pada umumnya wawancara dilaksanakan
pada rentang waktu pukul 10.00 – 17.00. Pengambilan data melalui wawancara
dilakukan secara purposive sampling
atau ditujukan kepada 15 narasumber, yaitu 11 responden pekerja perempuan yang
merupakan anggota SP dan 2 pekerja perempuan yang merupakan pengurus SP, serta ketua
SP dan mantan pengurus SP yang telah berkecimpung lebih dari 30 tahun di SP PT.
XYZ.
HASIL PENELITIAN
Analisa dari hasil penelitian ini menemukan
bahwa terdapat beberapa faktor yang menjadi pertimbangan pekerja perempuan
dalam bergabung dan berpartisipasi pada SP, yaitu kondisi SP, keluarga, budaya
masyarakat, kondisi pekerjaan, dan unsur feminisme. Kondisi SP merupakan faktor yang paling dipertimbangkan
bagi pekerja perempuan pada PT XYZ untuk berpartisipasi secara aktif atau tidak
dalam SP.
Hal ini
dibuktikan dengan 11 responden yang merupakan anggota SP
menyatakan bahwa keputusan mereka
berpartisipasi dengan SP tergantung pada pengalaman mereka dalam melihat dan
menilai kinerja dari SP itu sendiri. Tidak kalah pentingnya, latar belakang
keluarga terutama ijin dari suami bagi pekerja perempuan yang telah menikah
menjadi faktor yang penting mendorong partisipasi pekerja perempuan dalam SP.
Setidaknya hal ini dinyatakan oleh 8 dari 11 responden
anggota SP bahwa
keluarga sangat mendorong keputusan mereka untuk berpartisipasi pada SP. Bahkan
hanya terdapat 1 responden yang menyatakan mendapat dukungan dari keluarga
untuk berpartisipasi aktif dalam SP.
SP
dianggap maskulin, konfrontatif, dan kurang sesuai dengan pekerja perempuan di
Indonesia sehingga mendorong pekerja perempuan bergabung atau tidak pada SP.
Hal ini berbeda dengan penelitian Kirton (2005) di Inggris yang tidak
menunjukkan pengaruh faktor budaya masyarakat terhadap keputusan pekerja
perempuan bergabung atau tidak pada SP, namun pada penelitian ini menunjukkan
bahwa terdapat 5 dari 11 responden anggota SP yang menyatakan bahwa hal-hal yang berkaitan
dengan budaya masyarakat di Indonesia tidak mendukung partisipasi pekerja
perempuan dalam SP.
Berdasarkan
hasil penelitian ini, faktor pekerjaan dan feminisme tidak terlalu mendorong
partisipasi pekerja perempuan dalam SP pada penelitian ini. Pada faktor
pekerjaan, hanya terdapat 4 dari 11 responden anggota
SP yang berpendapat
bahwa pekerjaannya menghalangi mereka untuk berpartisipasi pada SP. Sementara
itu, faktor feminisme sudah tidak diperhitungkan oleh pekerja perempuan
dibuktikan dengan hanya 1 responden yang mengidentifikasi dirinya sebagai
feminis sehingga hal ini tidak terlalu mendorong pekerja perempuan bergabung
atau tidak dengan SP pada PT. XYZ.
Sementara itu, SP PT.
XYZ juga melakukan upaya-upaya untuk mendorong pekerja perempuan berpartisipasi
aktif dalam SP, baik dengan pendekatan internal maupun pendekatan eksternal. Pendekatan
internal yang digunakan dalam SP PT. XYZ adalah tidak diberlakukannya batasan
jumlah pekerja perempuan dalam kepengurusan SP (kebijakan kuota); kebijakan
terkait keluarga dengan memastikan bahwa pekerja perempuan telah mendapatkan
ijin keluarga sebelum berpartisipasi dalam SP dan peningkatan kepedulian
terhadap isu-isu keluarga seperti membantu penyelesaian masalah perceraian, hak
asuh anak, maupun kekerasan dalam rumah tangga (KDRT); serta membuat kebijakan
dalam kerangka pelatihan yang ditujukan untuk menyiapkan pekerja perempuan
menjadi pengurus SP misalnya melalui komisariat. Selain pendekatan internal,
terdapat pula pendekatan eksternal untuk mendorong partisipasi pekerja
perempuan dalam SP PT. XYZ adalah kerjasama antar SP pada umumnya dihubungkan
oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk menyenggelarakan berbagai aktivitas
bagi pekerja perempuan dan pelibatan pemerintah dan non pemerintah untuk
peningkatan peran pekerja perempuan dalam SP.
PEMBAHASAN
Menggunakan
pernyataan-pernyataan (quote) yang
merupakan hasil wawancara terhadap responden pada penelitian ini maka dalam
pembahasan ini akan mengeksplorasi faktor-faktor yang menjadi alasan pekerja
perempuan bergabung dan berpartisipasi dalam SP baik itu secara positif
mendorong maupun secara negatif tidak mendorong. Beberapa alasan tersebut
adalah sebagai berikut :
Faktor
Kondisi SP
Pekerja
perempuan pada PT XYZ memandang SP mampu melindungi dan menanggapi
keluhan-keluhan pekerja; fasilitator antara pekerja dengan manajemen atau
menjadi wakil pekerja terhadap manajemen perusahaan; serta menjadi wadah untuk
menerima aspirasi, melaporkan masalah, dan menyelesaikan masalah yang berkaitan
dengan pekerja.
“...karena
adanya SP jadi keluhan dapat tersampaikan sehingga ada yang menampung,
mengelola, dan menyampaikan kepada manajemen. Tahun 2012 banyak pengangkatan
pekerja magang menjadi pekerja tetap karena peran SP sehingga menurut saya
kinerja SP sudah positif dan meskipun masih banyak yang beranggapan bahwa SP
ini membela perusahaan tapi nyatanya di lapangan membela pekerja...” (Responden
P4)
Meskipun
partisipasi pekerja perempuan dalam kepengurusan SP dapat dikatakan rendah,
yaitu hanya 20 persen dari total 80 persen pekerja perempuan pada PT XYZ, namun
pekerja perempuan memiliki ketertarikan terhadap SP yang dalam dilihat dari
partisipasinya dalam komisariat sebagai sarana pembelajaran untuk lebih
mengenal SP. Komisariat merupakan perpanjangan tangan dari SP dalam PT XYZ yang
berfungsi menyampaikan aspirasi dari masing-masing unit kerja perusahaan.
Terdapat 50 komisariat pada 17 departemen pada perusahaan dan 30 persen
diantaranya merupakan pekerja perempuan.
“...memang
tidak menjadi pengurus SP, tapi menjadi bagian dari komisariat yang membantu
kerja SP meskipun hanya di tingkat packing
(unit kerja). Keberadaan SP sendiri kurang sosialisasi sehingga saya tertarik
mempelajarinya melalui komisariat jadi minimal tau kerjanya SP seperti apa,
suatu saat nanti ingin menjadi pengurus jika sudah paham...” (Responden P1).
Ketika SP
mampu untuk mengangkat dan memperjuangkan isu-isu dan kebutuhan pekerja
perempuan maka akan meningkatkan keinginan pekerja perempuan untuk
berpartisipasi dalam SP. Namun kepengurusan yang mayoritas didominasi oleh
pekerja laki-laki membuat SP itu sendiri tidak terlalu memahami atau tidak
sensitif terhadap kebutuhan pekerja perempuan, oleh karena itu pihak SP selalu
berusaha meningkatkan partisipasi pekerja perempuan dalam kepengurusan.
“...dulu
sempat kami tidak boleh menggunakan jilbab, kemudian diperjuangkan oleh serikat
meskipun modelnya distandarisasi dengan alasan agar tidak menganggu saat
bekerja. Juga begitu dengan perlengkapan kerja seperti masker dan seragam yang
tidak diganti-ganti akhirnya dapat diganti secara rutin karena perjuangan
serikat...” (Responden P3)
Ternyata
pekerja perempuan pada PT XYZ mempermasalahkan iuran SP yang mereka bayarkan
ketika menjadi anggota SP, sebagaimana yang dijelaskan bahwa semua pekerja
merupakan anggota SP sehingga tidak dapat menolak iuran yang dipotong langsung
dari gaji yang diterima setiap bulannya sebagaimana diungkapkan oleh responden
P2, P3, dan P4.
“...iuran
yang pada awalnya hanya Rp 4.000 menjadi Rp 22.000 sehingga membuat pekerja
kaget, seharusnya kan dibicarakan dahulu apakah sesuai dengan kemampuan pekerja
atau tidak, padahal saat itu upah belum naik sehingga wajar jika pekerja
keberatan...” (Responden P2)
Terdapat pula pekerja perempuan yang ternyata
berkeinginan menjadi pengurus SP, namun tidak ditunjuk oleh ketua. Mekanisme
pemilihan pengurus memang tergantung kepada ketua terpilih dari SP pada periode
tersebut. Mungkin hal ini dapat menjadi sinyalemen bahwa ketertarikan pekerja
perempuan untuk menjadi pengurus SP muncul, namun tidak diketahui oleh pihak SP
sehingga pengurus harus lebih pro-aktif menangkap potensi pekerja perempuan
yang memiliki kemauan dan kemampuan dalam kepengurusan SP. Seluruh responden
yang merupakan anggota SP menyebutkan bahwa kondisi SP mendorong keinginan
mereka berpartipasi dalam SP tersebut. Namun kembali lagi partisipasi pekerja
perempuan menjadi terbatas karena adanya faktor keluarga.
Faktor Keluarga
Menjadi seorang pekerja perempuan terutama dengan status telah menikah
tentu bukan suatu hal yang mudah dimana perempuan tersebut harus membagi
perannya sebagai pekerja dan ibu serta istri dalam rumah tangganya.
“...disini kan kalau perempuan yang sudah
menikah otomatis mereka kalau yang laki-laki nya mengijinkan, kalau di SP
sendiri kan sering ada kegiatan di dalam perusahaan atau dengan SP lainnya,
kita akan sering keluar rumah. Mungkin kalau pengurus laki-laki pasti lebih
bebas, tapi kalau perempuan itu pasti akan terbelenggu dengan yang punya
suami...” (Responden P1)
Terutama bagi pekerja perempuan yang jarak antara rumah dengan tempat
kerja yang jauh lebih memilih segera sampai rumah dan menjalankan peran
domestiknya dibandingkan melakukan kegiatan-kegiatan
lain diluar pekerjaan. Pekerja
perempuan dituntut untuk mampu menyeimbangkan kegiatannya di tempat kerja dan
di rumah, ketika bergabung menjadi pengurus SP maka harus melaksanakan
tugas-tugas tertentu yang seringkali menuntut mereka untuk berada lebih lama di
luar waktu kerja dan adanya rapat pada hari libur. Alasan tersebut dikemukakan
oleh responden P2, P3, dan P6.
Selain itu, pemahaman dan ijin dari pihak suami bagi yang telah
berkeluarga, serta pemahaman dan ijin dari pihak orangtua dan keluarga bagi
yang belum berkeluarga merupakan hal yang sangat penting. Ketika seorang
pekerja perempuan yang telah berkeluarga tidak mendapatkan ijin suami untuk
menjadi pengurus efek maka akan berpengaruh negatif terhadap kehidupan
pernikahannya, misal seperti tidak adanya waktu untuk keluarga sehingga memicu
konflik dan yang bersangkutan dianggap tidak mampu menjalankan peran
domestiknya.
Ketika pekerja perempuan tersebut belum berkeluarga harus mendapatkan
persetujuan dari keluarganya seperti orangtua dan saudara karena juga
mempengaruhi waktu libur bersama misalnya. Ijin tersebut sebenarnya untuk
menghindari konflik akibat tumpang tindih tanggung jawab pekerja perempuan di
rumah dan lingkungan pekerjaan, ditambah jika menjadi pengurus SP. Namun ketika
pekerja tersebut berasal dari keluarga yang memiliki pengalaman menjadi bagian
dari SP maka akan lebih memudahkannya untuk dapat berpartisipasi dalam SP.
“...tidak diijinkan oleh suami jika menjadi pengurus
karena harus lebih mementingkan keluarga, terutama anak-anak. Jika menjadi
pengurus SP maka waktunya makan tersita dan kualitas waktu dengan keluarga
menjadi berkurang...” (Responden P9)
Faktor keluarga mendominasi alasan pekerja perempuan berpartisipasi
dalam SP. Hal ini dibuktikan berdasarkan hasil olah data pada penelitian ini,
terdapat 8 dari 11 responden atau 73 persen diantaranya yang merupakan pekerja
perempuan dalam anggota SP menganggap bahwa keluarga sangat mendorong keputusan
mereka untuk berpartisipasi pada SP. Bahkan hanya terdapat 1 responden yang
menyatakan mendapat dukungan dari keluarga untuk berpartisipasi aktif dalam SP.
Faktor keluarga yang tidak mendorong pekerja
perempuan berpartisipasi dalam SP, yaitu kegiatan SP dianggap menganggu work life balance dari pekerja
perempuan, jarak antara rumah dan lokasi kegiatan SP yang berjauhan, protes
dari keluarga terutama suami bagi pekerja perempuan yang telah menikah, dan
kecenderungan perempuan memilih menjalankan tugas domestiknya dibandingkan
berpartisipasi dalam SP.
Faktor
Budaya Masyarakat
Pekerja
perempuan pada PT XYZ merasa tidak memiliki wawasan yang cukup dan kepercayaan
diri untuk menjadi pengurus SP, terutama SP yang lebih mengarah kepada peran
pekerja laki-laki dibandingkan pekerja perempuan dimana memperkuat bahwa peran
dan fungsi perempuan dalam masyarakat adalah bersifat sekunder.
“...kadang
saya masih merasa tidak kompeten jika harus menjadi pengurus. Apalagi pekerjaan
di serikat itu sepertinya lebih cocok buat laki-laki. Perempuan menurut saya
cukup bekerja dan di rumah mengurus keluarga...” (Responden P3)
Sebagaimana yang
telah dinyatakan pengurus, sentimen negatif terhadap keberadaan SP muncul dari
keberadaan media menyebabkan rendahnya partisipasi pekerja perempuan, pun
begitu dengan anggapan anggota SP sendiri. Faktor budaya masyarakat yang tidak
mempengaruhi partisipasi pekerja perempuan dalam SP pada penelitian Kirton
(2005) di Inggris, ternyata menjadi faktor yang
dapat mendorong dan tidak mendorong pekerja
perempuan berpartisipasi dalam SP. Terdapat 5 dari 11 responden yang menyatakan
bahwa adanya pandangan negatif masyarakat terkait pekerja perempuan yang
bergabung dalam SP, norma-norma agama dan budaya yang lebih mengedepankan laki-laki
sebagai pemimpin sehingga peran perempuan dianggap sekunder, serta pekerja
perempuan dianggap tidak cukup percaya diri, kurang tegas, dan kurang
berwawasan menjadi faktor yang tidak mendorong
partisipasi pekerja perempuan dalam SP.
Faktor
Pekerjaan
Pada
PT XYZ, faktor pekerjaan juga mendorong partisipasi pekerja perempuan dalam SP.
PT XYZ merupakan pekerjaan yang menggunakan cara kerja perusahaan jepang yang
menekankan pada efisiensi, oleh karena itu jumlah pekerja dengan pekerjaannya
memang telah disesuaikan.
“...pada pekerjaan saya, pekerjanya harus
tinggal terus atau ada di tempat. Soalnya sudah dibagi jam-jam kerja, shift-nya begitu. Dapat ditinggal hanya
saat solat atau makan siang, itu pun harus digantikan dengan pekerja lainnya.
Kalau kegiatan serikat kan perlu siap sedia saat ada masalah jadi tidak mungkin
saya lakukan dengan pekerjaan saya...” (Responden P6)
Hal lain pada pekerjaan yang mendorong pekerja perempuan enggan
bergabung dalam kepengurusan SP adalah ketakutan jika tidak pro manajemen
perusahaan maka akan menerima intimidasi dan mutasi dari pekerjaan saat ini
sehingga tidak merasa nyaman lalu mengundurkan diri.
“...takut saja jika bergabung dalam
kepengurusan SP akan bermasalah dengan manajemen perusahaan yang mempengaruhi
pekerjaan...” (Responden P11)
Faktor pekerjaan tidak terlalu mendorong partisipasi pekerja perempuan
dalam SP pada penelitian ini. Terdapat 4 dari 11 responden yang berpendapat
bahwa pekerjaannya menghalangi mereka untuk berpartisipasi pada SP. Hal ini
dikarenakan tidak adanya dispensasi bagi pekerja yang menjadi pengurus SP,
ketakutan pekerja perempuan apabila berpartisipasi maka akan mempengaruhi
penilaian terhadap kinerjanya, serta PT XYZ yang merupakan perusahaan Jepang
menekankan pada aspek efisiensi sehingga sudah mengukur pekerjaan yang harus
dilakukan dengan jumlah pekerja yang dipekerjakan sehingga pekerja tidak dapat
meninggalkan pekerjaannya pada jam kerja untuk kegiatan di luar pekerjaan.
Faktor
Feminisme
Faktor
feminisme dianggap tidak terlalu mendorong minat untuk bergabung dan
berpartisipasi dalam SP dibandingkan faktor keluarga, SP, dan pekerjaan
berdasarkan penjelasan pekerja perempuan pada PT XYZ. Sebagaimana pernyataan
responden PSP 3 bahwa perempuan saat ini lebih terbuka dan tidak memandang
suatu hal berdasar jender tetapi lebih kepada kompetensi yang dimiliki.
Sekalipun yang menduduki jabatan pengurus SP adalah pekerja laki-laki,
kepentingan pekerja perempuan tetap terakomodasi. Namun nyatanya, memang
terdapat pekerja perempuan yang ingin berpartisipasi dalam SP PT XYZ karena
mengidentifikasi dirinya sebagai feminis, meskipun hanya dua responden.
“...saya memang belum menjadi pengurus SP, tapi
sudah menjadi bagian komisariat. Saya termasuk feminis dan ingin menjadi
pengurus SP karena ingin menunjukkan bahwa perempuan juga dapat menunjukkan
dedikasinya dalam menyalurkan aspirasi pekerja...” (Responden P1)
Temuan kedua dalam penelitian ini
terkait dengan upaya-upaya yang dilakukan oleh pengurus SP PT. XYZ dalam
mendorong partisipasi pekerja perempuan dalam SP. Selama ini jumlah pengurus
yang merupakan pekerja perempuan hanya 1 atau 2 orang dari 15 posisi
kepengurusan yang ada, pada periode serikat di tahun 2012 jumlahnya meningkat
menjadi 3 pekerja perempuan dalam SP. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya
bahwa seluruh pekerja secara otomatis menjadi anggota SP dan membayar iuran
yang dipotong dari gaji tiap bulannya, sehingga memang tidak semua yang menjadi
anggota SP memiliki kemauan untuk
berpartisipasi dalam SP atau menjadi sekedar paksaan.
“...saya juga bingung kenapa
tiba-tiba sudah menjadi anggota SP, ya langsung saja saat tanda tangan kontrak
tau-tau gaji dipotong iuran padahal belum tau apa itu SP karena tidak ada yang
memberitahu diawalnya...” (Responden P1)
Berdasarkan hasil wawancara dengan 11
responden yang merupakan pekerja perempuan yang menjadi anggota SP, disimbolkan
dengan P1 sampai dengan P11, dapat dijelaskan bahwa semua responden jika
dihadapkan dengan pilihan bergabung atau tidak dalam keanggotaan SP maka akan
memilih untuk bergabung karena dapat memperjuangkan hak-hak mereka sebagai
pekerja, namun mereka cenderung hanya menjadi anggota. Pengurus SP menyadari
rendahnya minat pekerja perempuan dalam kepengurusan sehingga berusaha
melakukan upaya-upaya baik secara internal maupun eksternal untuk mendorong
partisipasi pekerja perempuan dalam SP, dapat melalui kepengurusan maupun
komisariat dan keanggotaan.
Pertama, langkah-langkah internal yang
dapat dilaksanakan untuk menggugah partisipasi pekerja perempuan dalam SP
adalah sebagai berikut.
Kebijakan dalam SP
SP PT XYZ tidak membuat kebijakan kuota
terkait dengan jumlah pekerja perempuan yang harus ada dalam kepengurusan. Hal
ini dilakukan untuk tidak melakukan diskriminasi antara pekerja perempuan
dengan pekerja laki-laki karena dasar dari pemilihan pengurus bukan berdasarkan
jender, namun berdasarkan komitmen dan kompetensi yang dimiliki calon pengurus.
Ketika yang menjadi pengurus mayoritas merupakan pekerja laki-laki, kepentingan
dari pekerja perempuan tetap harus mampu terakomodasi.
“...meskipun
didominasi oleh perempuan dalam total pekerja tapi laki-laki tetap mendominasi
dalam kepengurusan SP. Padahal perempuan kan yang paling tau urusan perempuan
jadi seharusnya lebih berpartisipasi dalam SP untuk memperjuangkan hak-hak
perempuan...” (Responden PSP 1)
Strategi SP untuk menuju pengarusutamaan
jender, yaitu strategi yang dilakukan secara rasional dan sistematis untuk
mencapai dan mewujudkan kesetaraan dan keadilan jender dalam sejumlah aspek
kehidupan manusia melalui berbagai program dan kebijakan. Hal ini dapat dicapai dengan keterlibatan
aktif pemimpin dan anggota SP laki-laki dalam upaya mendekatkan SP dengan
pekerja perempuan melalui pembahasan isu-isu pekerja perempuan dan penyelesaian
masalah yang berhubungan dengan pekerja perempuan.
“...memang
tidak ada sosialisasi secara formal dari SP kepada pekerja, namun pengurus yang
ada berusaha untuk dapat menciptakan solidaritas dan memperjuangkan isu-isu
yang berkaitan dengan pekerja perempuan sehingga mereka percaya akan keberadaan
SP yang juga ada salah satunya untuk memperjuangkan mereka...” (Responden PSP4)
Tidak ada kelompok atau unit-unit khusus
yang dibentuk bagi pekerja perempuan pada PT XYZ karena penyampaikan segala
bentuk kepentingan pekerja dapat melalui komisariat dan langsung kepada SP. Rendahnya
partisipasi pekerja perempuan dalam kepengurusan SP salah satunya disinyalir
karena kurangnya sosialisasi terhadap pekerja, oleh karena itu kepengurusan SP
periode 2012 berusaha untuk mensosialisasikan keberadaannya secara langsung,
meskipun mengalami hambatan seperti ijin manajemen.
“...Sebenarnya kita ingin mengadakan monday meeting, idealnya seperti itu
tapi jadinya pengurus meminta kepada pihak manajemen untuk dapat melaksanakan
sosialisasi secara berkeliling ke setiap departemen karena akan lebih efektif
menggunakan sistem jemput bola, namun tidak diijinkan oleh manajemen karena
menganggu jam kerja. Akhirnya SP berusaha mengkomunikasikan apa-apa saja yang
kita lakukan melalui komisariat...” (Responden PSP3)
Kebijakan dari
SP pada PT XYZ pernah diubah sebagai bentuk fleksibilitas aturan untuk dapat
mendorong partisipasi pekerja perempuan dalam kepengurusan. Hal ini dilakukan
karena ditunjuknya seorang pekerja perempuan sebagai pengurus yang tidak
memenuhi salah satu kriteria pengurus dalam AD/ART SP, yaitu lamanya masa kerja
pada perusahaan. Meskipun tidak memenuhi kriteria lama masa kerja, namun SP
pada periode tertentu tersebut tetap menjadikan pekerja perempuan yang
bersangkutan sebagai pengurus karena kompetensi yang dimiliki.
Adanya sentimen
negatif terkait dengan keberadaan SP yang menjadi salah satu penyebab pekerja
perempuan enggan untuk berpartisipasi dalam kepengurusan. Oleh karena itu, SP
berusaha untuk meminimalisasi sentimen negatif tersebut dengan berbagai upaya
yang menunjukkan keberpihakan pengurus terhadap pekerja.
“...kesungguhan
dalam memperjuangkan nasib pekerja melalui bidang pembelaan pada SP, dulu tidak
ada jatah uang makan untuk pekerja magang dan kontrak tapi sekarang disediakan
bagi semua pekerja dalam bentuk katering. Lalu juga jika ada yang mencuri
produk, kita bantu mengadvokasi dengan melihat pada intensitas dan banyaknya
yang diambil...” (Responden PSP2)
Kebijakan terkait keluarga
Tidak ada perbedaan perlakuan terhadap pengurus
yang merupakan pekerja perempuan dengan pekerja laki-laki pada PT XYZ, artinya
tidak ada standarisasi bahan-bahan pelatihan dan pengintegrasian
kebijakan-kebijakan ramah keluarga dan bantuan bagi perempuan yang mengalami
hambatan dari keluarga untuk berpartisipasi dalam SP. Pekerja perempuan yang
memutuskan menjadi pengurus SP tentunya telah memahami konsekuensi atas
pilihannya tersebut, bahkan harus dipastikan juga bahwa seseorang yang terpilih
menjadi pengurus telah mendapatkan ijin dari pihak keluarga.
“...memang
tidak ada pengkhususan bagi kami pengurus SP baik perempuan, maupun laki-laki.
Tapi ya kalau seminar-seminar atau datang ke pelatihan dapat banyak pengetahuan
baru, termasuk bagaimana dapat mengubah pandangan keluarga yang kurang setuju
saat kita ada di dalam SP seperti cara berkomunikasi dengan keluarga
misalnya...” (Responden PSP2)
Peningkatan kepedulian sehingga isu-isu
keluarga tidak lagi dipandang sebagai masalah pribadi tetapi terkait dengan kinerja
kerja dan aktivitas SP. SP pada PT XYZ juga tidak hanya mengurus persoalan
pekerja yang berhubungan dengan lingkungan perusahaan, namun juga mengurus
persoalan pekerja lainnya seperti perceraian, hak asuh anak, serta kekerasan
dalam rumah tangga.
“...kita
sebagai pengurus SP tidak hanya membantu pekerja perempuan dalam mengatasi
masalah-masalahnya di tempat kerja, jika ada perceraian, hak asuh anak, sampai
dengan kekerasan dalam rumah tangga yang sebenarnya adalah urusan personal juga
kita bantu selama yang bersangkutan meminta bantuan karena tentu mempengaruhi
produktivitas pekerja perempuan dalam pekerjaannya jika dibiarkan
berlarut-larut masalahnya...” (Responden PSP3)
Kebijakan dalam kerangka
pelatihan
Tentu SP PT XYZ
menyadari bahwa partisipasi yang rendah dari pekerja perempuan dalam
kepengurusan membutuhkan suatu upaya kaderisasi sehingga mampu meningkatkan
partisipasi pekerja perempuan dalam SP.
“...ada pengkaderan yang dilaksanakan oleh serikat selama ini kepada
pekerja perempuan dan dilakukan secara kontinyu, misalnya ada pengawasan
terhadap pekerja perempuan yang memiliki sinyal kompetensi dan mau menjadi
pengurus. Kalau sudah menjadi pengurus lalu kita berikan pelatihan-pelatihan
internal maupun eksternal jadi dapat mengembangkan kapasitas dirinya...”
(Responden PSP3)
SP PT XYZ
berusaha untuk meningkatkan kuantitas maupun kualitas pengurus yang merupakan
pekerja perempuan melalui pengadaan pelatihan-pelatihan internal. Bagian pada
SP PT. XYZ yang mengurus
terkait pelatihan internal kepada pengurus adalah bagian pendidikan, mulai dari
perencanaan, implementasi, sampai dengan evaluasi. Pelatihan juga disesuaikan
dengan kebutuhan dari pengurus.
“...dari
pihak SP memberikan pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan wawasan pengurus,
tidak hanya perempuan tapi juga laki-laki. Tapi ada juga yang dikhususkan bagi
perempuan, terutama dalam negosiasi dan komunikasi karena sering harus
melakukan itu dengan anggota maupun manajemen juga pihak eksternal biasanya kan
perempuan takut kalau harus bicara...” (Responden PSP4)
Selain dari sisi internal, SP PT XYZ
juga berusaha melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan partisipasi pekerja
perempuan pada SP dari sisi eksternal, yaitu sebagai berikut.
Kerjasama
antar SP
Adanya kerjasama antar SP,
yang biasanya dihubungkan juga dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) tertentu
yang memang fokus terhadap topik mengenai SP, misalnya TURC. SP PT XYZ pun
melakukan kolaborasi dengan pihak eksternal, seperti SP lain atau berhubungan
dengan federasi dan konfederasi yang berkaitan dengan industri dimana PT XYZ
berada.
“...pastinya ada kerjasama biasanya dari LSM dengan
berbagai SP baik di tingkat perusahaan, regional, maupun nasional yang nantinya
mengadakan acara bersama untuk anggota dan pengurus SP yang perempuan.
Tujuannya mendorong agar pekerja perempuan lebih aktif partisipasinya dalam SP
dan memperjuangkan nasib pekerja perempuan...” (Responden PSP4)
Pelibatan Peran Pemerintah
dan non pemerintah
Kerja sama antara organisasi-organisasi
pemerintah maupun non-pemerintah perempuan dalam negeri dan internasional
dilakukan dalam rangka meningkatkan kejelasan konsepsi mengenai jender diantara
SP dan untuk merangsang pertukaran pendapat dan strategi-strategi promosi
kesetaraan jender yang berkaitan dengan SP.
Bagi pekerja perempuan yang menjadi
pengurus pada PT XYZ, mereka akan diikutsertakan dalam pelatihan atau seminar
baik internal maupun eksternal, misalnya diadakan oleh Kementrian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak Indonesia dari pemerintah dan TURC (Trade Union
Right Centre) dari non pemerintah, dengan beragam materi untuk mendorong peran
pekerja perempuan dalam SP. PT XYZ hanya mengirimkan pengurus, bukan komisariat
atau anggota, untuk mengikuti pelatihan-pelatihan yang disenggelarakan sebagai
salah satu bentuk manfaat yang diterima oleh pekerja yang berpartisipasi aktif
dalam kepengurusan SP.
“...pemerintah juga terlibat dalam mendorong
keaktifan pekerja perempuan dalam SP yang ditujukan untuk pekerja perempuan
yang belum terlibat, anggota, maupun yang sudah menjadi pengurus SP. Salah satu
contohnya Kementrian Pemberdayaan Perempuan mengadakan seminar atau pelatihan
untuk mencapai kesetaraan jender, sering kok acaranya yang mengundang SP...”
(Responden PSP4)
Meskipun
upaya-upaya yang dilaksanakan untuk mendorong partisipasi perempuan dalam SP
secara internal maupun eksternal belum menunjukkan hasil yang signifikan, namun
upaya tersebut telah terbukti mampu meningkatkan partisipasi dan kepedulian
pekerja perempuan pada PT XYZ terhadap SP melalui komisariat dan anggota pun
sudah tidak sepasif sebelumnya terhadap SP.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil
penelitian diketahui bahwa terdapat faktor-faktor yang menjadi pertimbangan pekerja
perempuan berpartisipasi dalam SP PT XYZ, yaitu keluarga, SP, budaya
masyarakat, pekerjaan, dan feminisme. Pada penelitian ini ditemukan adanya
faktor budaya masyarakat yang menjadi pertimbangan pekerja perempuan
berpartisipasi pada SP di Indonesia, berbeda dengan penelitian sebelumnya oleh
Kirton (2005) di Inggris yang menyebutkan bahwa hanya faktor keluarga, SP, pekerjaan, dan feminisme
yang menjadi pertimbangan pekerja perempuan berpartisipasi dalam SP. Sementara
faktor keluarga dan SP sama-sama berperan penting sebagai faktor yang
dipertimbangkan oleh pekerja perempuan berpartisipasi pada SP.
Pengurus SP PT. XYZ
menyadari pentingnya peran pekerja perempuan dalam kepengurusan, namun
kenyataannya partisipasi pekerja perempuan pada SP masih rendah. Oleh karena
itu dilakukan berbagai upaya oleh SP PT.
XYZ untuk mendorong pekerja perempuan berpartisipasi dalam SP menggunakan
pendekatan internal dan pendekatan eksternal,
namun hasilnya belum optimal untuk mendorong partisipasi pekerja perempuan
dalam serikat pekerja terutama karena hambatan sosialisasi keberadaan serikat
pekerja pada perusahaan, tidak adanya kebijakan khusus terkait pekerja
perempuan, serta belum intensifnya pembahasan isu-isu khusus terkait pekerja
perempuan pada serikat pekerja PT. XYZ.
SARAN
Setelah melakukan
penelitian secara in-depth interview
yang menimbulkan interaksi dengan responden, yang merupakan anggota SP dan
pengurus SP PT XYZ, maka penulis memberikan saran-saran sebagai berikut.
Pertama, bagi anggota SP. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anggota SP pada PT
XYZ memiliki pandangan negatif terkait SP pada perusahaan, misalnya SP dianggap
lebih memihak kepentingan manajemen daripada pekerja. Oleh karena itu
seharusnya pekerja perempuan dapat lebih memahami tentang SP dan seberapa
pentingnya peran mereka dalam SP. Selain itu berdasarkan hasil penelitian ini,
sebenarnya anggota SP menunjukkan ketertarikan untuk berpartisipasi dalam SP
namun menghadapi berbagai hambatan yang mungkin dapat ditanggulangi melalui
komunikasi yang lebih terbuka dengan berbagai pihak yang berhubungan, terutama
keluarga. Anggota juga seharusnya dapat lebih memahami bahwa iuran yang
dibayarkan dipergunakan untuk kepentingan mereka, tentu pengurus juga harus
menyiapkan transparansi pelaporan keuangan yang bertanggung jawab.
Kedua, bagi pengurus SP
PT. XYZ. Hasil penelitian ini diharapkan membuat pengurus SP semakin mendalami
alasan-alasan pekerja perempuan untuk berpartisipasi atau tidak dalam
kepengurusan, juga mengevaluasi apakah upaya-upaya yang dilakukan selama ini,
seperti kebijakan non kuota, terbukti efektif dalam mendorong pekerja perempuan
untuk berpartisipasi. Hal-hal yang penting untuk dilaksanakan oleh SP dalam
upaya mendorong partisipasi aktif perempuan adalah sebagai berikut :
·
Sosialisasi akan
keberadaan SP menjadi sebuah urgensi karena keanggotaan dalam SP yang
dipaksakan sehingga anggota tidak benar-benar memahami peran SP, juga harus
lebih dijelaskan pentingnya mereka bagi SP terutama dalam memperjuangkan
hak-hak pekerja perempuan.
·
Adanya anggapan ketika
terdapat perlakuan khusus terhadap pekerja perempuan, misalnya kebijakan kuota
atau kebijakan terkait keluarga, maka SP melakukan diskriminasi terhadap
pekerja laki-laki. Padahal tidak adanya kebijakan khusus terkait pekerja
perempuan dalam SP justru menunjukkan diskriminasi karena SP sendiri
diidentikkan dengan laki-laki atau bersifat maskulin sehingga memang
membutuhkan kebijakan-kebijakan khusus bagi pekerja perempuan agar
berpartisipasi aktif dalam SP. Misalnya saja ketika diberlakukan kebijakan
kuota, katakan 5 dari 15 pengurus SP adalah pekerja perempuan, maka akan ada
tekanan atau paksaan kepada ketua SP terpilih untuk mendidik pekerja perempuan
agar mampu dalam kepengurusan SP. Hal ini bukan berarti asal dalam memilih
pengurus asal perempuan, juga harus melalui proses pengujian atau melihat
kompetensinya. Ketika pekerja perempuan yang ada dianggap tidak mampu dalam
kepengurusan SP maka wajib adanya pendidikan, sehingga kebijakan kuota
menjadikan kesan maskulin pada SP dapat diminimalisasi atau bahkan dihilangkan.
·
Isu-isu yang selama ini
diangkat oleh SP lebih mengarah kepada masalah upah atau hal-hal yang
berhubungan dengan kebutuhan perut, sementara isu-isu perempuan hampir tidak
pernah diangkat karena dianggap bukan kebutuhan untuk seluruh pekerja. Pekerja
perempuan tidak melihat bahwa keberadaan mereka dalam SP merupakan hal yang
penting karena tidak ada hal-hal spesifik terkait pekerja perempuan yang
diperjuangkan. Oleh karena itu menjadi hal yang penting bagi SP untuk
mengangkat isu-isu terkait pekerja perempuan dan memperjuangkan hak-hak yang
belum didapatkan selama ini seperti misalnya cuti haid dan cuti melahirkan.
Ketiga,
bagi manajemen PT. XYZ. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa manajemen
kurang memberikan dukungan terhadap SP, serta pekerja perempuan yang
berpartisipasi dalam SP. Hal ini dapat dicontohkan dengan tidak diberikannya
waktu bagi SP untuk melakukan sosialisasi terhadap pekerja terkait keberadaannya
pada perusahaan. Oleh karena itu, manajemen diharapkan dapat membuka wawasan
akan pentingnya SP dalam menjembatani kepentingan pekerja dengan perusahaan
sehingga perlu didukung, misal memberikan ijin sosialisasi formal SP kepada
pekerja bukan lagi melalui komisariat, misalnya mengadakan monday meeting yang terjadwalkan.
Keempat,
bagi penelitian selanjutnya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi
referensi dalam penulisan-penulisan karya ilmiah selanjutnya. Penyesuaian hasil
penelitian mungkin dibutuhkan. Perlu dianalisis dan diteliti lebih lanjut
mengenai upaya-upaya untuk mendorong partisipasi aktif pekerja perempuan dalam SP
agar lebih efektif.
KEPUSTAKAAN
Anwar, R.P., & Supriyanto, A.
(2012). Non-standard work, social
dialogue and collective bargaining in Indonesia. Geneva: International
Labor Organization (ILO).
Healy, G., & Kirton, G. (2000).
Women, Power and Trade Union Government in the UK. British Journal of
Industrial Relations, 38(3), 343–360.
International
Labor Organization (ILO). (2006). Laporan
penelitian isu-isu perempuan dan jender di organisasi serikat pekerja/buruh di
Indonesia. Jakarta: Kantor Perburuhan Nasional.
International
Labor Organization (ILO). (2012). Labour in the Global South: Challenges and
alternatives for workers. Geneva: ILO.
ILO & PWF.
(2009). Gender sensitization of women and
men trade union workers. Pakistan: International Labor Organization (ILO).
Kirton,
G. (2005). The Influences on Women Joining and Participating in Unions. Industrial Relations Journal, 36(5),
386-401.
Lembaran
Buruh. (2012). Perempuan bukan sebagai pajangan. Trade Union Right Centre (TURC), halaman 21.
Prastowo,
A. (2011). Metode penelitian kualitatif
dalam perspektif rancangan penelitian. Yogyakarta: Ar Ruzz Media.
Raco,
J.R. (2010). Metode penelitian kualitatif
: Jenis, karakteristik, dan keunggulannya. Jakarta: Grasindo.
Ritonga, B.A. (2001). Survei tingkat partisipasi buruh perempuan
unit kerja serikat pekerja/buruh tekstil, sandang, dan kulit (SP-TSK) sub
sektor garmen di Jawa Barat dan DKI Jakarta. (Kertas Kerja Akatiga 05).
Bandung : Yayasan AKATIGA dan Dewan Eksekutif Nasional SP-TSK Divisi Pergerakan
Pekerja/buruh Perempuan dan Perlindungan bagi Pekerja/buruh Anak.
Webb,
S., & Webb, B. (1920). The history of
trade unionisme. London: Longmans, Green and Co.
Catatan : Naskah ringkas ini merupakan hasil dari penelitian skripsi untuk meraih gelar Sarjana Ekonomi pada konsentrasi Manajemen Sumber Daya Manusia, jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Pembimbing dalam pengerjaan skripsi ini adalah KaProdi S1 Manajemen yaitu Riani Rachmawati, Ph.D.