Saya masih ingat sekali bagaimana perangai jahil saya selalu muncul ketika melihat anak-anak, entah kenapa juga saya benci dengan yang namanya anak-anak terutama sejak punya adik di usia sekitar 17 tahunan dulu. Siapapun yang mengenal saya dulu pasti tau kalau saya perempuan yang kasar, keras kepala, nggak mau ribet. Interaksi dengan anak-anak? Fyuhhh jangan ditanya, saya pasti selalu enggan setiap kali diminta menjaga ponakan atau adik, kalau tetap dipaksa pasti itu anak-anak saya buat nangis. Wajar kalau anak-anak pun tidak ada yang mau mendekat.
Namanya Musa, usianya kini hampir 5 tahun, dia adik saya lho :D Sekarang lagi pinter-pinternya minta mainan :p |
Ini kisahnya...
Hal ini berawal ketika saya di semester 2, saat itu membutuhkan suasana berbeda dan merasa sangat suntuk. Akhirnya mencari-cari kegiatan di luar lingkungan kampus dan saya menemukannya. Ya mereka adalah Komunitas Sahabat Kecil, dari namanya saja pasti kalian sudah membayangkan apa fokus dari komunitas ini kan? Komunitas ini berada di salah satu desa di bogor, butuh 2 kali ganti angkot dari stasiun bogor. Sungguh saya kaget saat pertama kali datang kesana, sangat banyak anak-anak dan rasanya sudah mau mati (lebay sih tapi serius). Dan salah satu pengurus mengamanahi saya mengajar bahasa inggris untuk anak-anak kelas 4-6 SD. Saya mulai merasakan, "harus gini banget ya anak-anak ini belajar. Di teras orang dengan atap seadanya, sementara saya dan salah satu kakak lainnya tidak beratapkan apapun. Tapi kenapa mereka sungguh bersemangat? Ini berlebihan... Ya bahkan ketika tadi saya bersama teman-teman baru datang mereka sudah berkumpul, ini ada ratusan anak, ratusan? Ratusan monster... Mereka dengan riangnya menyalami satu per satu dari kami - kami yang mereka sebut kakak." Pikir saya ketika itu.
Tapi ternyata pertemuan pertama itu menjebak saya, mereka menjebak saya dalam kerinduan. Meskipun saya tidak bisa memungkiri, setiap kali mengajar dan mereka menunjukkan bahwa mereka tidak mengerti maka membuat saya menjadi jengkel. Apalagi kalau ada yang bertengkar, belum lagi pecah tangis diantara bocah-bocah itu. Tapi... tapi... apa yang membuat saya mmm lebih tepatnya mulai bersemi perasaan suka kepada mereka? Sederhana, setiap kali mereka menjabat tangan saya lalu sesekali bergelayut dan beberapa ketika menangis diusap rambutnya dengan lembut lalu terdiam, beberapa minta digendong, minta dipeluk minta diperhatikan. Anak-anak... Semangat mereka untuk belajar tanpa mengeluh tempat yang sempit, kadang bau, dan sangat seadanya tapi yang penting tetap bisa belajar dengan kakak-kakak. Mereka membuat saya pribadi belajar banyak, tentang arti kebersamaan dan bersyukur.
Ini adalah adik-adik Komunitas Sahabat Kecil, Kecil-kecil Cabe Rawit :) |
Menghadapi anak-anak bukan hal yang sederhana, mereka memiliki dunianya sementara saya yang merasa bukan lagi anak-anak bisa dibilang enggan memaklumi dunia mereka. Saya rasa Allah membuat saya menyadari bahwa anggapan saya terhadap anak-anak itu sedikit salah, anak-anak bukan se-monster yang saya bayangkan tapi yaaa tetap mereka tetap menjengkelkan. Bukan berarti pada detik setelah mengajar pada Komunitas Sahabat Kecil lantas saya langsung menjadi peri baik hati untuk mereka, masih ada yang mengganjal dalam hati saya. Tapi saya sungguh harus mengucap terima kasih kepada Komunitas Sahabat Kecil, disana saya mendapat AHA Moment tentang anak-anak.
Ya tentang anak-anak, apa benar mereka menyebalkan?
Tahukah teman-teman daerah kumuh di Ibukota bernama Bantaran Kali Manggarai? Mungkin hanya sekitar 10 menit dari area segitiga emas Sudirman. Yaaaa benar disana benar-benar kumuh, masyarakatnya pun bekerja serabutan, satu rumah bisa dihuni sampai 3 kk. Jangankan masuk ke dalamnya, untuk melongok ke gang-gang sempit disana saja tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Apalagi jika melintasi area depannya yang bertumpuk sampah, mungkin kesan pertama yang ditunjukkan oleh lingkungan ini benar-benar tidak mengesankan. Tapi menjadi berbeda ketika saya, sentia, dan site menemukan anak-anak di foto tersebut. Mereka menjadikan Bantaran Kali Manggarai menjadi salah satu bagian paling bersejarah dalam hidup saya.
Ruangannya sempit, tidak ada yang menarik di dalamnya. Hanya gantungan-gantungan kertas yang tak jelas. Tapi di sana mimpi itu dimulai, disana saya mulai mencintai anak-anak tanpa sebab, karena cinta adalah perasaan dan perasaan muncul karena kebiasaan, perasaan tidak memerlukan sebuah alasan.
Mengenal Manggarai, mengenal anak-anak, mengenal tentang perasaan ini. Benar, mereka bukan monster seperti yang saya sebut selama ini. Mereka hanya berusaha merefleksikan kreativitasnya dengan 'cara' mereka, cara yang mungkin dipahami oleh orang-orang yang mengaku dewasa seperti saya adalah sikap nakal atau bandel. Nyatanya bukan, saya yang tidak bisa membaca selama ini karena saya hanya melihat dari perspektif pribadi.
Siapa sangka anak-anak justru yang membuat saya berubah, 180 derajat. Berubah sikap pada anak-anak, tidak lagi seperti dulu. Galak? Tetap mmm lebih tepatnya tegas karena kata teman-teman dari FPsikologi, anak-anak jangan dimanjakan dan sebagai orang dewasa harus bisa tegas pada anak-anak, tegas lho ya bukan galak cuma memang tegasnya saya seringkali diartikan galak sehingga beberapa anak merasa sebal karena saya tidak lagi memanjakan mereka seperti dahulu. Hehe... terlepas dari semua itu sebenarnya hal yang ingin saya sampaikan melalui cerita sederhana ini "Saya dan Anak-anak, 180 Derajat" adalah setiap orang bisa berubah kapan saja dan dimana saja oleh hal-hal yang tidak bisa diperkirakan, seperti saya yang sangat tidak suka dengan anak-anak menjadi penyuka anak-anak karena nyatanya anak-anak adalah makhluk Allah yang sangat menyenangkan, kita pun pernah kan menjadi anak-anak? :)
Kalau yang ini namanya Alia, setiap kali rindu bayi selalu beli nasi uduk di tempat Ibunya Alia ntar sambil makan bisa sambil main sama Alia :* |
Hahaha... Kalau ini sama anak-anak Manggarai selepas acara Gerakan Manggarai Sehat :D |
Zidane emang ngegemesin, kalau yang ini ponakan akuhhhh :D |
Depok, 27 Juni 2013.
Alia Noor Anoviar