Entrepreneur is a person who undertakes and operates a new enterprise or venture and assumes some accountability for inherent risks. -Richard Cantillon, 1755.-
Menciptakan entrepreneur berarti menciptakan generasi dengan relevansi pemikiran mengenai penciptaan nilai, pandangan baru, model bisnis, serta gaya kepemimpinan berkeputusan mainstream (Nurul Setia Pratiwi, 2011). Kewirausahaan memiliki komponen pemberdayaan dimana secara khusus memberdayakan diri sendiri dan secara umum kemampuan untuk memberdayakan orang lain serta sumber daya yang ada di sekitarnya. Sedangkan social entrepreneur merupakan seseorang yang memiliki solusi inovasi untuk masyarakat dalam menghadapi permasalahan sosial; berambisi dan gigih; menangkap isu-isu sosial; dan menyediakan ide dalam skala luas untuk melakukan perubahan, terutama meliputi bidang kesejahteraan, pendidikan, dan kesehatan. Sebagaimana entrepreneur menghadapi bisnis, social entrepreneur bertindak sebagai agen perubahan bagi masyarakat, mengambil inisiatif atas peluang yang belum tertangkap dan meningkatkan sistem, menemukan pendekatan baru, dan menciptakan solusi terhadap perubahan masyarakat dengan lebih baik. Jika business entrepreneur masuk kepada industri secara keseluruhan, social entrepreneur datang dengan sebuah solusi baru akan masalah sosial dan mengaplikasikannya pada skala besar (Ashoka, 2011).
Konsep social entrepreneurship dikenalkan oleh Robert Owen yaitu pendiri koperasi pertama dan Florence yaitu pendiri sekolah perawat pertama beberapa ratus tahun lalu dan berkembang pada tahun 1980-an. Pada awalnya, social entrepreneurship tidak menekankan pada usaha untuk menghasilkan laba atau non-profit dimana mempunyai inti pemberdayaan masyarakat yang bersifat sukarela, misalnya panti asuhan. Hingga akhirnya Muhammad Yunus, pendiri Grameen Bank di Bangladesh sekaligus berhasil meraih Nobel Perdamaian pada tahun 2006, sebagai salah satu social entrepreneur mampu menunjukkan bahwa pemberdayaan masyarakat kurang mampu tidak hanya menghasilkan kesejahteraan dalam konteks sosial, namun juga mampu mendatangkan keuntungan finansial. Contoh konkretnya adalah 6 juta wanita terserap sebagai tenaga kerja dimana beralih dari ‘pengemis’ menjadi ‘pelaku UMKM’.
Penulis ingin memperjelas bahwa social entrepreneurship merupakan bentuk dari community development yang fokus pada sosial-ekonomi. Dibagi menjadi dua, yaitu memiliki keuntungan dimana keuntungan tersebut yang digunakan untuk community development dan tidak memiliki keuntungan dimana produknya yang digunakan untukcommunity development. Dalam kerangka ini, social entrepreneurship merupakan bagian dari bisnis dan bisnis seolah tidak akan berjalan tanpa profit. Contoh dari social entrepreneurship yang menghasilkan keuntungan adalah The Loving Company (TLC). Karyawan TLC diberikan gaji dimana setelah penghasilan atau keuntungan perusahaan dikurangi dengan gaji karyawan dan modal operasional usaha maka sisanya digunakan penuh untuk community development.
Terdapat 3 komponen yang menyusun social entrepreneurship. Tiga komponen yang dimaksud adalah (1) Private sector merupakan unsur bisnis pribadi dimana termasuk bagaimana menghasilkan keuntungan karena esensi bisnis adalah menciptakan nilai tambah dari usaha yang dimiliki dan mampu memberi keuntungan maksimal bagi pemiliknya. (2) Public sector berarti melibatkan pihak lain, dapat dikaitkan dalam konteks pemberdayaan masyarakat sekitar maupun pemanfaatan sumber daya yang ada. (3)Voluntary sector dimaknai sebagai fokus dari social entrepreneurship, yaitu sifatnya sukarela untuk membantu pihak lain dan bisa dimaksukkan sebagai bagian dari community development dalam sosial-ekonomi. Ketiga kompenen tersebut terintegrasi dan membentuk social entrepreneurship tidak hanya sebagai kepentingan individu pebisnis, tetapi ditujukan pula bagi pemberdayaan masyarakat sekitar.
Salah Satu Bentuk Revitalisasi Gerakan Mahasiswa : Menjadi Sociopreneur
Pembangunan nasional yang berkelanjutan merupakan salah satu tujuan pemerintah dan cita-cita rakyat. Pembangunan nasional merupakan suatu keadaan yang menunjukkan peningkatan tidak hanya di bidang fisik, namun juga memperlihatkan peningkatan kuantitas dan kualitas hasil produk, peningkatan kesejahteraan, serta perubahan struktur di segala bidang, terutama terkait dengan bidang ekonomi yang memiliki implikasi besar terhadap pembangunan nasional. Pembangunan nasional bukan hal yang mudah dilaksanakan karena membutuhkan peran serta tidak hanya dari pemerintah, namun juga seluruh warga negara Indonesia. Apabila lebih spesifik lagi, Indonesia membutuhkan pemuda-pemudi yang selama ini memiliki peran sentral dalam menentukan nasib bangsa ini. Perubahan-perubahan besar yang terjadi sebelum kemerdekaan 1945 hingga saat ini bersumber dari semangat dan idealisme pemuda, khususnya kaum intelektual mahasiswa dengan berbagai gerakannya.
Pada 2 April 2003 diadakan Konggres Mahasiswa Indonesia (KMI) di Universitas Indonesia, Depok, yang menyimpulkan bahwa gerakan mahasiswa pascareformasi 1998 masih solid dan kritis. Gerakan mahasiswa saat ini tidak memiliki isu bersama seperti pada tahun 1998, namun terkotak-kotak dan terpolarisasi sehingga tidak menguntungkan kondisi Indonesia yang dihadapkan dengan berbagai masalah. Ketua BEM Unpad periode tersebut, Indra Maulana, menyatakan bahwa harus ada sinkronisasi, koordinasi, dan solidaritas gerakan mahasiswa sehingga bisa menjadi alternatif solusi permasalahan bangsa dan tidak menjadi bagian dari permasalahan tersebut.
Sejarah bukanlah sesuatu yang terjadi, tapi sejarah adalah sesuatu yang terjadi dan memiliki arti. –Immanuel Kant-
Gerakan mahasiswa merupakan sebuah topik yang terus dikaji karena pada setiap zamannya memiliki peran yang tidak dapat dianggap remeh di Indonesia. Bukan sesuatu yang berlebihan jika dikatakan bahwa mahasiswa memiliki di Indonesia memiliki romantisme sejarah yang kuat. Berbagai label prestisius diberikan kepada mahasiswa, misalnya agent of change, agent of control, iron stock, presure community, dan label-label lain yang menuntut pertanggungjawaban kepada masyarakat luas. Tanggung jawab besar yang dipangku oleh mahasiswa adalah mampu merespon kebutuhan masyarakat secara luas. Persamaan yang menonjol antara gerakan mahasiswa angkatan 1998 dan angkatan selanjutnya adalah mahasiswa sebagai motor penggerak pembaharuan serta kepedulian dan keberpihakan terhadap masyarakat (Adman, 2005).
Berbicara tentang gerakan mahasiswa di Indonesia tempo dulu kerap disinonimkan dengan gerakan-gerakan radikal, seperti demonstrasi yang merusak fasilitas umum. Gerakan mahasiswa konvensional yang sejatinya ditujukan untuk membela masyarakat, justru dianggap merugikan kepentingan masyarakat. Seiring berjalannya waktu, pergerakan semacam itu sudah tidak terlalu tampak dan bergulir dari gerakan mahasiswa yang bersifat vertikal menjadi horizontal. Globalisasi mendatangkan sebuah kondisi dimana permasalahan bangsa ini tidak dapat lagi dihadapi dengan gaya konvensional sehingga mahasiswa juga harus menyesuaikan gerakan-gerakan yang dilakukan dengan kondisi kekinian. Oleh karena itu, BEM Universitas Indonesia menyenggelarakan Konfrensi Mahasiswa Indonesia UI dengan tujuan (1) menjalin konektivitas dari setiap gerakan mahasiswa yang ada dan (2) merevitalisasi pola gerakan agar peran mahasiswa tetap strategis sesuai dengan kondisi zaman saat ini. Kenyataannya, gerakan mahasiswa memiliki sisi positif dan sisi negatif.
Gerakan mahasiswa vertikal berbentuk demonstrasi dalam konteks mengkritisasi kebijakan yang dibuat oleh pemerintah atau penguasa yang saat ini kerap dilakukan secara damai. Sementara gerakan mahasiswa horizontal lebih kepada praktik turun ke lapangan untuk membantu pemberdayaan masyarakat atau lebih dikenal dengan community development(comdev). Comdev tersebut dapat dilakukan di berbagai bidang, salah satunya adalah mengarah pada bidang sosial-ekonomi yang diwujudkan dalam bentuk social entrepreneurship. Artinya, social entrepreneurship merupakan salah satu bentuk dari revitalisasi gerakan mahasiswa yang awalnya konvensional-radikal.
Mahasiswa sebagai agen perubahan, dalam kaitannya dengan social entrepreneurship, sudah seharusnya mampu menempatkan posisi sebagai inisiator atau penggagas, pelaku, dan bahkan tenaga ahli (Adilla Arantika, 2011). Bukti nyatanya adalah gerakan mahasiswa SIFE (Student in Free Entrepreneurship) dimana mahasiswa memulai suatu social entrepreneurship project berdasarkan kebutuhan dan kemampuan komunitas setempat, lalu membantu dalam tahap awal sambil membagi pengetahuan yang didapat dari bangku kuliah. Pada akhirnya, mahasiswa harus mampu mentransfer keahlian yang dimiliki sepenuhnya supaya masyarakat bisa mandiri dan proyek tersebut dipacu agar muncul di tempat lain.
“Di segala lapang tanah air,
Aku hidup, aku gembira…..
Di mana kakiku menginjak bumi Indonesia,
Disanalah tumbuh bibit cita-cita
Yang kusimpan dalam dadaku!”
-Dr. Muhammad Hatta (Bung Hatta,1934)-
Memacu Social Entrepreneurship di Indonesia
Jumlah penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan di Indonesia mencapai 30,02 juta orang (12,49 persen) per Maret 2011. Angka tersebut turun sebesar 1,00 juta orang (0,84 persen) dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2010, yaitu 13,33 persen. Jika dilihat dari komposisinya, penduduk miskin di perkotaan menurun sekitar 0,05 juta orang dari Maret 2010, yaitu 11,10 juta orang. Sementara di perdesaan angka tersebut menurun 0,95 juta orang dimana pada Maret 2011 berjumlah 18,97 juta orang (BPS, 2011).
Kemiskinan merupakan persoalan di Indonesia yang disangsikan untuk dapat menunjukkan angka nol persen, namun menjadi sebuah harapan jika angka ini dapat diminimalisasi. Selain kemiskinan, deviasi kesejahteraan antara masyarakat dan masyarakat miskin juga terlampau jauh yang memberi arti bahwa ada kesenjangan pemerataan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Merupakan suatu kewajiban bersama untuk menjawab pertanyaan : bagaimana menjadikan angka kemiskinan tersebut dapat menurun secara singnifikan dan pemerataan kesejahteraan sebagai amanat UUD 1945 dapat direalisasikan?
Kompleksitas tantangan yang dihadapi Indonesia saat ini seperti kemiskinan, layanan buruk bagi masyarakat kurang mampu, perusakan lingkungan, aksesibilitas pendidikan yang terbatas, dan lain-lain kerap kali dianggap sebagai kesalahan pemerintah dan kewajiban bagi pemerintah untuk menanggulangi semua tantangan tersebut. Padahal selain pemerintah, ada tanggungjawab dari swasta dan masyarakat secara umum untuk andil dalam upaya mengatasinya.
Swasta andil dalam tantangan ini melalui berbagai Corporate Social Responsibility (CSR). Muhammad Yunus dalam buku “Menciptakan Dunia Tanpa Kemiskinan” sebagaimana yang ditafsirkan oleh Nurul Setia Pratiwi (2011) menyatakan bahwa filosofi perusahaan melalui CSR, yaitu “Hasilkan uang sebanyak mungkin, meski kalian harus mengeksploitasi orang miskin itu – tetapi kemudian sumbangkan sebagian kecil dari keuntungan itu untuk tujuan sosial atau dirikan yayasan untuk melakukan berbagai hal yang akan mempromosikan kepentingan bisnis Anda. Lantas beritakan betapa dermawannya Anda!” CSR dianggap sebatas tanggungjawab perusahaan dimana tujuan perusahaan adalah memaksimalkan keuntungan bagi kepentingan pemilik saham (shareholders). Orientasi CSR juga hanya sementara, misalnya saat penulis mengadakan penelitian di daerah Kali Manggarai diketahui bahwa daerah ini sebenarnya mendapatkan CSR dari Indosat berupa pemberian komputer dan pembangunan PAUD, namun nyatanya tidak ada tindak lanjut yang jelas pada CSR yang diberikan. Akibatnya, bantuan yang diberikan seperti angin lalu yang tidak dimanfaatkan oleh masyarakat dengan bijaksana karena masih ada kebinggungan sendiri dalam masyarakat tersebut tentang bagaimana cara memanfaatkannya. Intinya, tujuan sosial bukanlah fokus dari perusahaan.
Oleh karena itu, Indonesia membutuhkan peran aktif seluruh masyarakat untuk menghadapi tantangan yang ada. Melalui apa tantangan tersebut dapat diubah menjadi peluang yang menguntungkan secara ekonomi dan sosial?
Selama ini Indonesia sudah cukup mengenal entrepreneurship melalui UMKM yang menjadi motor perekonomian terutama pasca krisis ekonomi 1998. UMKM dipercaya sebagai alat efektif untuk memberdayakan masyarakat sebagai subjek aktif dalam menciptakan kesejahteraannya sendiri dan lalu dapat memberdayakan masyarakat di sekitarnya. Saat UMKM mampu dikembangkan maka para entrepreneur akan membutuhkan tenaga kerja yang tentu mampu menurunkan angka pengangguran di Indonesia. Apabila pengangguran menurun maka kemampuan masyarakat memenuhi kebutuhan hidup akan meningkat sehingga kuantitas masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan pun akan mampu diminimalisasi.
Namun selama ini, konsep kewirausahaan di Indonesia masih menekankan pada profit-oriented atau berpahamkan business entrepreneur, padahal sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya terdapat social entrepreneur. Pemberdayaan masyarakat secara lebih khusus mengacu pada konteks social entrepreneurship. Melihat kondisi kekinian di Indonesia, pendiri Yayasan Dompet Dhuafa Erie Sadewo (2010) menyatakan, “social entrepreneur sangat sulit dicari di Indonesia, padahal social entrepreneur sangat dibutuhkan di negara dengan tingkat kemiskinan yang tinggi seperti Indonesia. Keberadaan mereka dapat membantu masyarakat miskin dan juga membantu pemerintah untuk mengurangi angka kemiskinan.”
Globalisasi semakin memberikan sinyalemen tentang pentingnya social entrepreneurship dimana saat ini masyarakat dengan mudahnya mampu menggali informasi yang dibutuhkan untuk mengembangkan sektor usaha yang prospektif. Apalagi mengingat sumber daya di Indonesia yang melimpah maka social entrepreneuship memiliki potensi besar untuk bisa mengatasi berbagai masalah, tidak hanya kemiskinan tetapi juga ketidakberdayaan masyarakat yang sebenarnya merupakan masalah multidimensi dan sulit dihapuskan. Jadi, selain menumbuhkan business entrepreneur, social entrepreneur baru juga harus dikembangkan dengan dilandasi kejelian, kreatifitas, dan kesungguhan karena konsep ini berpotensi andil dalam mengatasi persoalan bangsa.
What is the most powerful force in the world? And I think you would agree that is a big idea if it is in the hands of an entrepreneur who is actually going to make the idea not only happen, but spread all across society. And we understand that in business but we have need for entrepreneurship just as much in education, human rights, health, and the environment as we do in hotels and steel. -Bill Drayton-
Jika diperbandingkan, kekuatan social entrepreneur di Indonesia dan negara lain masih jauh, misalnya Inggris. British Council menaksir sedikitnya ada 62.000 social enterprisesyang menyumbang £24 miliar bagi ekonomi Inggris. Social entrepreneurship di Inggris memang sangat maju, bahkan ada Social Enterprise Day yang dirayakan setiap 19 November. Data per tahun 2010 menunjukkan bahwa jumlah entrepreneur di Indonesia hanya 0,18 persen dari target 2 persen seluruh penduduk di Indonesia. Berdasarkan data tersebut, penulis berpendapat bahwa 0,18 persen didominasi kuat oleh business entrepreneur, bukan social entrepreneur. Menjadi tugas rumah tidak hanya bagi pemerintah, tetapi juga seluruh masyarakat di Indonesia, untuk memacu pertumbuhan social entrepreneuship berkaca dari keberhasilan Inggris sebagai salah satu negara maju.
Berbagai upaya dilakukan untuk semakin membumikan social entrepreneurship di Indonesia. Misalnya Hery Wibowo (2006) menggagas kurikulum berbasis kewirausahaan sosial sebagaimana yang disampaikan dalam seminar nasional di Universitas Pajajaran. Seminar dan pelatihan gencar diadakan untuk semakin menyemangati lahirnya social entrepreneur di Indonesia.
Apabila membicarakan social entrepreneurship di Indonesia, isu ini tengah hangat diperbincangkan oleh berbagai media karena perannya yang dianggap sentral untuk memberdayakan masyarakat pada fokus bidang yang penting, yaitu sosial-ekonomi. Houtman Z. Arifin dan Jamil Azzaini merupakan dua dari social entrepreneur Indonesia yang diundang oleh TVOne dalam acara Ada dan Siapa, 10 Agustus 2011, untuk memperkenalkan konsep social entrepreneurship secara teori dan praktik kepada masyarakat di Indonesia. Hal ini menjadi bukti nyata peran pers dalam memberikan inspirasi pada masyarakat Indonesia mengenai cara jitu menjadi wirausaha yang juga peduli pada masalah sosial. Tidak semua masyarakat mengenal istilah ini karena masih baru dalam pelaksanaannya di Indonesia, namun sudah menunjukkan perkembangan positif dengan menjadi trend konsep baru dalam dunia kewirausahaan di Indonesia.
Selain itu, contoh aksi konkret untuk memacu pengembangan social entrepreneurshipuntuk Indonesia adalah kegiatan yang dilakukan oleh Perhimpunan Profesional Indonesia (IPA) di Singapura yang secara resmi meluncurkan kegiatan “Social Innovation & Entrepreneurship (SOLVE) Awards” pada 13 Agustus 2011 dan penghargaan secara resmi akan diberikan pada 3 Desember 2011 di Singapura. SOLVE Awards bertujuan untuk menghargai dan mempromosikan para inovator dan pengusaha sosial yang berasal dari Singapura atau Indonesia dimana usahanya membawa dampak positif di Indonesia. Sasaran SOLVE Awards adalah LSM kecil atau individu yang akan bersaing dalam tiga kategori, yaitu kategori usaha rintisan (kurang dari 3 tahun), usaha mapan, dan pilihan masyarakat. Acara peluncuran ini dihadiri oleh hampir 150 tamu yang terdiri dari para pengusaha sosial Indonesia dan Singapura, perwakilan LSM dan pemerintahan, serta para pelajar Indonesia dan internasional yang sedang menempuh studi di Singapura (IPA Voices, Singapura, 2011).
Anies Baswedan dan Jack Sim (2011) dalam kegiatan IPA bersepakat, “ sebenarnya tidak ada yang baru dari konsep social entrepreneurship, namun pemakaian istilah social entrepreneurship-nya saja yang baru berkembang di masyarakat global. Anies mendukung semangat bersukarela masyarakat Indonesia di Singapura dan mengajak semua orang untuk beraksi. Menurutnya masyarakat seharusnya tidak selalu bergantung dan mencari jawaban dari pemerintah karena meskipun pemerintah memiliki tanggung jawab konstitusional, tapi kita sebagai masyarakat dunia juga membawa tanggung jawab moral untuk menyumbang.”
Indonesia tentunya bukan bangsa yang diam dalam menghadapi berbagai isu sosial yang terjadi. Hal ini terbukti dengan beberapa nama social entrepreneur di Indonesia yang terlebih dahulu sukses dengan konsep bisnis sosialnya dalam memberdayakan masyarakat yang dimuat dalam Majalah SWA 03/XXVI/4-17-2-2010. Amin Azis yang merupakan pendiri BMT sejak tahun 1995 untuk memberikan bantuan terutama dalam pendanaan bagi pengembangan UMKM. Amir Panzuri mendorong ekspor kerajinan UMKM dengan mendirikan Apikri. Bambang Suweda menggagas bank sampah di Bantul, mendulang rupiah dengan pemanfaatan sampah sehingga selain bermanfaat untuk lingkungan juga mampu membantu secara finansial. Pamitkasih mengembangkan kewirausahaan bagi penyandang cacat yang selama ini masih termarginalkan di Indonesia. Onte yang mendirikan Koperasi Hutan Jaya Lestari dimana memperjuangkan perbaikan nasib petani jati. Serta Tri Mumpuni dari Yogyakarta membuat pembangkit listrik mikro hidro. Masih ada sederet nama lainnya seperti Goris Mustaqim, Anies Baswedan, dan lain-lain. Artinya, konsep social entrepreneurship di Indonesia benar-benar bukan konsep yang baru dikenal atau baru ada, namun konsep yang sudah ada lama tetapi belum dikembangkan dengan maksimal karena mungkin sosialisasinya yang kurang gencar.
Potensi besar yang dimiliki Indonesia untuk menghadapi tantangan global selain mengandalkan sumber daya alam yang berlimpah adalah memaksimalkan sumber daya manusia yang tercatat lebih dari 200 juta jiwa. Social entrepreneurship merupakan salah satu celah untuk memaksimalkan potensi sumber daya manusia di Indonesia meskipun keberadaannya saat ini di Indonesia berada pada tahap seperti balita yang sedang berjalan. Menjadi sebuah tujuan bersama untuk mencapai pemerataan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sesuai amanat UUD 1945 yang salah satu caranya adalah memacu potensi Indonesia untuk melahirkan sociopreneur (social entrepreneur).
Bersambung (Bagian 4 s/d 6)
Tulisan ini dibuat pada tahun 2011 oleh penulis untuk KMI UI