“Secangkir cinta teh manis itu diramu dari satu teabags kasih sayang, dua sendok gula perhatian, sebungkus cream kejujuran, dan diaduk dengan ketulusan. Selamat menikmati :)”
Sebuah hari menjelang jam delapan malam, di selasar kampus yang masih ramai dengan beberapa kepanitaan dan sepertinya sedang mengadakan evaluasi kegiatan. Hari ini, 22 November 2011, berbagai hiruk pikuk kegiatan sedang ramai mewarnai fakultasku. Sepertinya fakultas ‘Event Organizer (EO)’ memang lebih cocok disandang dibanding nama ‘Fakultas Ekonomi’.
Well, back to the main topic that I want to share from this simple writing. Tidak ada yang berbeda dengan malam ini sebenarnya, hanya seseorang yang sangat dekat denganku tampak sangat gelisah. Gelisah, galau, gundah... Kata-kata sejenis yang mampu merepresentasikan mimik mukanya yang terlihat sedikit aneh, tampak tak biasa, lesu.
“Kamu kenapa?” Akhirnya keluar juga pertanyaan yang sebenarnya sudah dari tadi ingin kutanyakan. Tapi ternyata jawabannya hanya senyum simpul ala kadarnya dengan muka yang masih berhiaskan kebinggungan. Lagi, aku memberanikan diri bertanya, ya setidaknya sekali lagi. “Nggak ada apa-apa kan?”
“Bentar...” Singkat, padat, jelas. Jawaban yang tidak cukup menjawab pertanyaan tapi kali ini sorot matanya mulai menandakan keberhasilan sebuah pencarian.
“Ada apa sih?” Kepo juga rasanya.
Dua bola matanya sedikit berkaca. Bibirnya agak bergetar. Dan satu lagi tangannya sangat dingin saat kupegang.
“Aku mau pulang...”
“Tapi kenapa dulu?”
“Aku mau pulang sekarang!”
When a girl falling in love
Life likes a puzzle and Time likes a colour
Nobody can explain why her attitude changing
Nobody can explain why her smile shinning
But, everybody can explain why she is crying after that
“... Kamu masih inget nggak sama si itu tuh, itu... Yang aku ceritain beberapa akhir ini dengan antusiasnya. Dia balik lagi ke mantannya.” Akhirnya dia membuka percakapan.
Aku hanya mengulum senyum, tidak bisa tertawa. Sebenarnya ingin tertawa menertawakan, tapi seperti kurang etis... Nantilah kalau perasaannya sudah agak normal, aku akan tertawa untuk menertawakan kebodohannya.
Dia tampak tertunduk malu, “hampir saja aku meninggalkan sebongkah berlian untuk sekeping emas, hampir saja untuk kedua kalinya aku merelakan kesetiaan seseorang demi panggung sandiwara yang menawarkan retorika belaka, dan hampir saja... Hampir saja kebodohanku ini membuat kesalahan besar dalam hidup, salah memilih itu kan kesalahan terbesar seperti yang kamu bilang.”
Sekali lagi, aku memilih sikap menawarkan senyum seorang sahabat. Seolah tersenyum pada diri sendiri dan memposisikan diri menjadi seorang dia.
“Sebenarnya beberapa hari lalu aku jalan sama dia... Dan tadi di twitter aku lihat seseorang yang dia bilang mantannya itu nge-tweet sayang-sayangan gitu. Udah gitu nggak pernah aku bayangin ternyata mereka nobar coba, nobar pertandingan sepak bola Indonesia Vs Thailand. Nobar setelah gue sama dia jalan di hari yang sama, bagus banget kan?”
Aku tau dia memiliki feeling yang sangat kuat, ya semacam insting begitu. Hmmm mungkin lebih tepatnya seperti detektif atau mungkin jurnalis. Menurut dia, yang berbohong pasti gampang ketahuannya. Kan dunia itu nggak sempit lagi, bahkan gampang banget mengakses data pribadi orang lewat media sosial, apalagi twitter dan facebook yang jadi ajang tumpah perasaan.
How a boy can being an untrusted lover?
And how a girl can being a stupid lover?
A boy use his brain for get his love and use his brain to forget his love
A girl use her feeling for get her love, but use her brain and her feeling to forget her love
Kali ini aku mencoba mengulurkan sebuah pertanyaan, “apa beda lo sama dia?”
Dia menggelengkan kepala, tak mengerti atau pura-pura tak mengerti pertanyaanku yang sebenarnya sangat mudah dimengerti.
“Dia datang ke lo dan lo kasih lampu hijau buat dia ngedeketin lo. Lo tau dia masih in a relationship sama orang lain, tapi lo malah pakai nanya ke dia maksud status itu. Jelas aja dia bilang mereka udah putus tapi belum ganti status karena bla... bla... bla...”
Diam...
“Lo tau lagi ga beda dia sama lo apa? Atau emang kalian berdua sama aja sebenarnya?”
Kali ini dia sedikit memicingkan mata, meminta penjelasan.
“Lo sama orang yang dia anggap mantannya itu sama-sama cewek tapi lo nggak pernah mencoba memposisikan diri lo sebagai ‘mantan’ dia. Dan satu lagi, bukannya lo hampir ninggalin orang yang udah deket banget sama lo demi orang yang baru lo kenal dan atas nama kenyamanan lo menutup mata dan telinga, pura-pura cuek, pura-pura kayak anak kecil yang polos. Bener kan?”
Dia hanya tertunduk, malu mungkin. Lalu dengan pelan berkata, “ya, apa beda gue sama dia? Sama-sama nggak bisa membuat secangkir cinta teh manis... Sama-sama pakai dengkul bukan perasaan atau otak. What kind of stupid girl I’m.”
Just ask yourself about your needs
Don’t forget to ask yourself about your wants too
Sometimes we still confuse between needs and wants
Please ask yourself, what is your priority : needs or wants
Obrolan dengan seorang teman dekatku di malam yang mulai membayang ini menyadarkannya dan aku juga pastinya untuk menjaga hati karena hati bukan terminal dimana kamu bisa seenaknya datang-tunggu-daftar-dapat lalu pergi tanpa kesan, bahkan kadang justru pergi meninggalkan sayat-sayat di hati orang lain. Benar kan hati itu bukan terminal? Bukan juga mobil yang bisa berhenti di setiap terminal!!!
Dia yang memintaku untuk menceritakannya, berbagi cerita singkat yang mungkin bisa memberikan pembelajaran pada kawan-kawan. Pembelajaran tentang sebuah keputusan. Take it or Leave it, but make sure if you have right reason to make your decision. Use your brain and feeling in the same time, not only your brain or your feeling.
“Dan kalau aku harus memilih saat ini, aku memilih untuk pergi dan membiarkan dia kembali pada perasaannya yang lalu. Karena aku tidak mungkin menjalani perasaanku hari ini dengan orang yang masih memikirkan perasaannya bersama yang telah berlalu.” (An*)