Abstraksi
Esai ini mengungkap tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) dan optimalisasi peranannya dalam pemberdayaan usaha mikro guna mengurangi angka kemiskinan di Indonesia melalui penciptaan lapangan kerja bagi pengangguran. Berbagai strategi telah dilakukan untuk menstimulus keberadaan usaha mikro, namun usaha mikro tetap menghadapi beberapa hambatan berupa akses modal yang terbatas dan dihadapkan dengan peraturan-peraturan yang masih cukup menyulitkan dari Lembaga Keuangan Mikro Konvensional (LKMK). Strategi yang saat ini dirasa paling tepat untuk memberdayakan usaha mikro adalah mengoptimalisasi peran dari LKMS. Pemberdayaan LKMS yang menggunakan prinsip bagi hasil memberikan kesempatan bagi masyarakat miskin dan sangat miskin sebagai subyek yang aktif berperan dalam upaya pemberantasan kemiskinan melalui peminjaman modal untuk memulai usaha. Sayangnya tidak semua LKMS berhasil menjalankan misi pemberdayaan usaha mikro karena kurangnya modal, tidak adanya payung hukum yang jelas, dan resiko yang dihadapi. Strategi untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah pembentukan manajemen resiko LKMS, kerjasama pemerintah dengan LKMS dalam penyaluran modal, dan pembentukan UU LKMS. Keberadaan LKMS sejauh ini memberikan konstribusi positif dalam peran aktifnya memberdayakan usaha mikro, yaitu menciptakan lapangan kerja, meningkatkan produktifitas masyarakat miskin dan sangat miskin, mencegah ketimpangan distribusi pendapatan, dan pada akhirnya mengurangi angka kemiskinan sehingga solusi untuk mengatasi hambatan yang ada harus diilaksanakan.
Kata Kunci : Pengangguran, Kemiskinan, Usaha Mikro, LKMS, Indonesia.
Alia Noor Anoviar (0906490645)
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
I. Pendahuluan
Badan Pusat Statistik (BPS) berpendapat bahwa indikator nominal rata-rata kemiskinan di Indonesia sebesar Rp 211.000 per bulan per orang berdasar tingkat kebutuhan makanan dan non makanan. Sementara itu, Bank Dunia telah membuat pengukuran relatif mengenai kemiskinan dengan berstandar pada konsep purchasing power parity, yakni mulai dari standar US$ 1 , US$ 1,25 hingga US$ 2 per hari. Menurut Bappenas, kemiskinan adalah ketidakmampuan dalam memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Berdasarkan tiga pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kemiskinan adalah suatu keadaan yang menunjukkan ketidakmampuan dalam memenuhi hak-hak dasarnya untuk hidup layak. Namun terdapat perbedaan indikator nominal antara standar kemiskinan yang ditetapkan oleh BPS dan Bank Dunia berkisar antara Rp 91.000 – Rp Rp 391.000 per bulan jika kurs $ diasumsikan Rp 10.000 dan dalam satu bulan diasumsikan 30 hari.
Anggota Komisi II DPR RI Budiman Sudjatmiko (2011) mengungkapkan bahwa Indonesia adalah satu-satunya negara dalam zona merah yang mengklaim berada di zona biru dalam hal kemiskinan. Tingkat kemiskinan domestik Indonesia berdasarkan data BPS menunjukkan posisinya di zona biru atau di bawah 20 persen. Padahal menurut standar Bank Dunia, Indonesia berada di zona merah dengan tingkat kemiskinan antara 41 persen sampai 60 persen. Level ini sama dengan beberapa negara Afrika, Yaman, Pakistan, Mongolia, Vietnam, dan Philipina. Menurut Rafiqoh Rokhim (2011), jumlah penduduk miskin di Indonesia mengalami penurunan karena adanya KUR dan Program BLT. Sejak tahun 2006 sampai dengan 2010 berturut-turut sebesar 39,1 juta jiwa, 37,2 juta jiwa, 35,0 juta jiwa, 32,5 juta jiwa, dan per 2010 menurun kembali menjadi 31,02 juta jiwa. Hal ini berkorelasi positif dengan tingkat pengangguran yang juga menurun dari 10,28 % per Agustus 2006 menjadi 7,14 % per Agustus 2010 (BPS, 2010). Berbagai program telah dilaksanakan dalam rangka pengentasan kemiskinan, namun masih terjadi banyak hambatan untuk menuju Indonesia bebas kemiskinan, misalnya pemerintah masih memosisikan masyarakat miskin dan sangat miskin sebagai objek daripada subjek dengan memberikan BLT. Seharusnya mereka dijadikan sebagai subjek, yaitu sebagai pelaku perubahan yang aktif terlibat dalam aktivitas program penanggulangan kemiskinan, salah satunya dengan memberikan Kredit Usaha Rakyat (KUR). Upaya dalam mengurangi angka pengangguran harus dilakukan karena memiliki korelasi terhadap angka kemiskinan. Upaya besar yang telah dilakukan sejauh ini adalah proyek Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri) yang telah menyebar hingga pelosok desa. Program ini memicu tumbuhnya UMKM terutama dalam skala usaha mikro sehingga dapat mengembangkan sektor riil Saat jumlah orang yang menganggur meningkat akan maka angka kemiskinan dan masalah sosial meningkat pula. di Indonesia. Namun program ini juga mengalami hambatan, misalnya di Kabupaten Bireun terrdapat masalah dana tersendat sehingga proyek PNPM terlantar. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008, usaha mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria kepemilikan aset maksimal Rp 50.000.000,- dan omset maksimal Rp 200.000.000,-. Menurut Hendro Wibowo (2011), usaha mikro saat ini mencapi 99,9 % dari total UMKM di Indonesia yang memiliki potensi untuk dikembangkan sehingga mampu menampung pengangguran yang ada. Namun usaha mikro kerap kali tersendat masalah permodalan sehingga perlu adanya sarana pembiayaan. Sejauh ini telah ada Lembaga Keuangan Mikro Konvensional (LKMK) yang berperan aktif memberikan pinjaman pada UMKM, namun LKMK hanya memiliki sasaran pembiayaan orang miskin. Sementara itu, bagi orang sangat miskin seringkali tidak memiliki akses terhadap permodalan sehingga keberadaan Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) menjadi solusi potensial bagi kalangan tersebut untuk memiliki usaha mikro sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan pribadi pada khususnya dan mengurangi angka kemiskinan pada umumnya. LKMS dapat berbentuk lembaga keuangan bank, misalnya Bank Muamalat, dan non bank, misalnya BMT. Lembaga Keuangan Mikro (LKM) ada untuk menolong masyarakat sangat miskin sehingga mereka mampu menolong dirinya sendiri. Dalam kerangka itu, keuangan mikro dimaksudkan memberikan dukungan yang akan memberdayakan berbagai kemampuan yang dimiliki masyarakat miskin atau pengusaha kecil. Pemberdayaan usaha mikro melalui LKMS merupakan langkah strategis dalam menghadapi masalah klasik usaha mikro, yaitu akses terhadap modal yang terbatas. Hadi Paramu (2011) menjelaskan bahwa persoalan mendasar usaha mikro adalah financial accessibility sehingga LKMS perlu memperhatikan hal ini sehingga usaha mikro yang menjadi target bisa mampu mengakses. Tujuan penulisan esai ini adalah untuk mengkaji alternatif strategi yang dapat dikedepankan guna memutuskan mata rantai kemiskinan melalui pemberdayaan usaha mikro di Indonesia sebagai penggerak sektor riil yang menyentuh masyarakat miskin dan sangat miskin dengan optimalisasi sarana pembiayaan LKMS.
II. Pembahasan
2.1. Perbedaan LKMK dan LKMS
Tabel 1 akan menggambarkan perbedaan antara Lembaga Keuangan Mikro Konvensional (LKMK) dan Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS).
Tabel 1 : Perbedaan antara LKMK dan LKMS
Faktor | LKMK | LKMS |
Sumber pendanaan | Dana pihak ketiga dan dana donor. | Dana pihak ketiga dan dana yang bersumber dari amal. |
Jenis pembiayaan | Berbasis bunga. | Bagi hasil, margin, dan ujrah (instrumen keuangan islam). |
Sasaran pembiayaan | Orang miskin yang produktif. | Orang sangat miskin dan orang miskin produktif. |
Transfer pendanaan | Tunai. | Produk. |
Biaya pinjaman | Sebagian dana pinjaman | Tidak dikenakan biaya. |
Target kelompok | Wanita. | Keluarga. |
Tujuan pembiayaan | Pemberdayaan wanita. | Mendapatkan ketentraman dan meningkatkan kesejahteraan |
Penanggung jawab pinjaman | Penerima pinjaman. | Penerima dan pasangannya. |
Dorongan untuk bekerja | Moneter. | Perintah agama dan moneter. |
Solusi gagal bayar | Tekanan dan ancaman dari kelompok. | Jaminan dari pasangannya, kelompok, dan etika islam. |
Program pengembangan sosial | Sekuler, etika, dan sosial. | Keagamaan, etika, dan sosial. |
2.2. Potensi LKMS dalam Pemberdayaan Usaha Mikro di Indonesia
Penulis pada tahun 2008 mengadakan riset mengenai “Peran Lembaga Keuangan Mikro (LKM) dalam Mengurangi Angka Kemiskinan di Indonesia”. Berdasarkan hasil penelitian lapangan yang dilaksanakan pada 100 nasabah LKM BRI Unit Jenggawah, Kecamatan Jenggawah, Kabupaten Jember secara acak menunjukkan bahwa peranan BRI sebagai LKM cukup efektif dalam upaya mengurangi angka kemiskinan di wilayah Jenggawah yang merupakan daerah sampel. Hal ini terbukti dengan meningkatnya pendapatan nasabah, adanya pendapatan yang dapat disisihkan untuk ditabung, dan terciptanya lapangan kerja baru. Namun hasil penelitian tersebut juga mengindikasikan adanya kekurangan dari LKMK, yaitu masih adanya kredit macet karena peminjam dana tidak memiliki kesadaran dalam pengembalian dana dimana dana yang seharusnya ditujukan untuk kegiatan produktif dialihkan menjadi kegiatan konsumsi artinya pengawasan dari pemberi pinjaman kurang ketat. Selain itu, masih banyak dari masyarakat di lokasi penelitian yang meminjam dana dari renternair, umumnya masyarakat kategori sangat miskin. Sistem bunga yang diberlakukan atas peminjaman wirausaha mikro kepada LKMK ternyata cukup memberatkan karena terdapat probabilitas usaha mikro yang didirikan tidak mampu bertahan dan mengalami kebangkrutan sehingga mereka tidak hanya terbatas dalam kemampuan pengembalian dana pinjaman, tetapi juga tidak mampu mengembalikan bunga atas pinjaman. Persoalan-persoalan yang telah dijelaskan mengindikasikan bahwa para wirausaha mikro terutama dari kalangan masyarakat sangat miskin memiliki keterbatasan dalam mendapatkan akses modal dari LKM Konvensional. Dilema ini menjadi potensi untuk mengoptimalisasi peran LKMS sebagai alternatif sumber pendanaan untuk menggerakkan sektor riil di Indonesia. Tabel 1 menjelaskan beberapa perbedaan LKMK dan LKMS dengan jelas. Beberapa hal sebagaimana yang telah diungkap berdasarkan penelitian penulis (2008) akan diperbandingkan jika sarana pembiayaan yang digunakan para wirausaha mikro tersebut adalah LKMS.
1. Kredit macet dapat diawasi dengan pendampingan kepada wirausaha mikro sehingga tidak mengalami kegagalan dan perlu dibentuk kesadaran secara spiritual untuk mengembalikan pinjaman yang diterima dari LKMS. Pendampingan juga memperkecil probabilitas penyalahgunaan dana pinjaman, meskipun tidak dapat dielakkan.
2. Masyarakat yang masih meminjam pada renternair padahal pada lokasi tersebut terdapat LKMK, alasannya adalah tidak memiliki agunan atau tidak memenuhi persyaratan peminjaman padahal usaha mereka produktif, terutama masyarakat kategori sangat miskin. Sasaran pembiayaan dari LKMS adalah masyarakat sangat miskin dan miskin sehingga jika peran LKMS dalam diperluas dan dioptimalisasi maka akan mampu memberdayakan usaha mikro secara luas.
3. Saat para wirausaha mikro mengalami kebangkrutan maka tetap berkewajiban mengembalikan pinjaman beserta bunga pada LKMK. Jadi dapat diistilahkan sudah jatuh tertimpa tangga. Sementara pada LKMS, dilakukan pembimbingan terhadap usaha mikro tersebut selama berjalan, sebagaimana yang dilakukan pada BMT Halal Bank pimpinan Hendro Wibowo, dengan sistem bagi hasil sehingga saat mengalami kebangkrutan hanya mengembalikan dana pokok.
Peran sentral LKMS dalam pemberdayaan usaha mikro dapat dikatakan semakin penting. Hendro Wibowo (2011) mengungkapkan bahwa usaha mikro saat ini mencapai 99,9 % dari total UMKM secara keseluruhan sehingga memiliki potensi untuk berkembang pesat. Meskipun sumbangan dari usaha mikro jauh lebih kecil dibandingkan usaha kecil, menengah, dan besar, keberadaan usaha mikro dapat menjadi penggerak masyarakat sangat miskin dan miskin. Usaha mikro akan membuka lapangan kerja bagi pengangguran sehingga mengurangi masalah sosial yang ada saat ini. BMT Halal Bank yang didirikan Hendro dan kawan-kawan mengalami peningkatan pesat dimana awalnya bermodal aset jutaan rupiah menjadi 50 Miliar di tahun 2011. Efek dari peminjaman dana bagai usaha mikro tidak hanya mampu mengembangkan usaha mikro yang dibimbing, namun juga mampu mengembangkan BMT Halal Bank.
Keberadaan LKMS sebagai alternatif pendanaan penggerak sektor riil di Indonesia yang jelas memiliki kontribusi positif ternyata tidak terlepas dari berbagai hambatan terutama terkait resiko yang dihadapi. Hendro Wibowo (2011) menjelaskan bahwa LKMS tidak memiliki payung hukum dalam artian Undang-Undang LKMS dan keterbatasan modal dalam penyaluran dana bagi usaha mikro. Muchamad Setiawan (2010) menjelaskan resiko yang dihadapi LKMS sama dengan resiko yang dihadapi perbankan, meskipun LKMS merupakan lembaga keuangan bukan bank. Resiko terbesar yang dihadapi LKMS adalah resiko kredit karena peminjam juga berasal dari masyarakat sangat miskin yang memiliki berbagai keterbatasan pengelolaan usaha.
2.3. Strategi LKMS dalam Mengentaskan Masalah Kemiskinan di Indonesia
Strategi yang dapat ditempuh untuk mengoptimalisasi peran LKMS dalam pengembangan usaha mikro guna mengurangi angka kemiskinan di Indonesia, yaitu sebagai berikut.
1. Pertama, mengenai potensi resiko maka LKMS harus membuat manajemen resiko LKMS sehingga dapat meminimalisasi kemungkinan resiko yang terjadi, terutama resiko kredit. Sekedar perbandingan sekaligus memberikan alternatif strategi minimalisasi kredit macet untuk diterapkan pada LKMS di Indonesia, Hadi Paramu (Oktober, 2010) mengunjungi CARD Bank di Filipina yang mirip dengan LKM karena mempunyai visi untuk mengentaskan kemiskinan. Hal yang menarik adalah bank tersebut tidak saja memberikan technical assistance yang terkait dengan pengelolaan bisnis para nasabahnya dalam bentuk pelatihan usaha dan pemberian modal murah, tetapi juga konsultasi tentang permasalahan sosial ekonomi keluarga nasabah seperti persoalan sekolah anak nasabah, kesehatan keluarga, dan lain-lain. Intinya, LKM seharusnya tidak bergerak dari sisi bisnis pemberian kredit murah saja tetapi juga menyentuh pada sisi non bisnis dari para nasabahnya. Secara tidak langsung, upaya atau strategi ini bisa mengurangi kredit macet hingga kurang dari 5% dari total pinjaman. CARD Bank dapat menjadi proyek percontohan bagi LKMS.
2. Kedua, program KUR yang digalakkan oleh pemerintah mengalami selisih dana sebesar Rp 3,8 triliun, dana yang awalnya hendak disalurkan adalah Rp 18 triliun dan hanya disalurkan Rp 14,2 triliun (Hendro Wibowo, 2010). Pemerintah hendaknya menggandeng LKMS untuk menyalurkan KUR sehingga bisa tepat sasaran terutama menggerakkan masyarakat sangat miskin dan masyarakat miskin di Indonesia agar produktif. Masyarakat tersebut tentu juga memiliki potensi sehingga perlu dilakukan bedah potensi masyarakat miskin dan sangat miskin untuk meningkatkan kesejahteraan. Bila memungkinkan, di setiap desa ditugaskan seorang konsultan untuk memberi pengarahan pada mereka dalam melaksanakan kegiatan usaha mikro yang dimiliki. Dengan dukungan permodalan dari pemerintah, LKMS tidak akan kesulitan mencari dana untuk disalurkan sebagai modal usaha.
3. Ketiga, terkait dengan tidak adanya payung hukum bagi LKMS maka perlu dibentuk Undang-Undang LKMS. Hal ini dimaksud untuk menjamin keberadaan LKMS dapat terjamin secara legal dan dipercaya oleh investor untuk menyimpan dana sehingga bisa disalurkan untuk menggerakkan sektor riil melalui peran aktif masyarakat miskin dan sangat miskin dengan membangun usaha dan mendapat kepercayaan dari masyarakat secara umum.
Melalui strategi yang ditawarkan atas permasalahan yang terjadi terkait LKMS di Indonesia, penulis mengharapkan LKMS dapat mengoptimalkan perannya dalam pemberdayaan usaha mikro sehingga mampu mencapai tujuan utama, yaitu mengurangi angka kemiskinan di Indonesia.
III. Kesimpulan dan Saran
Kemiskinan merupakan isu sentral yang kronis dan harus cepat diatasi dengan strategi yang tepat untuk memutuskan mata rantai kemiskinan di Indonesia. Terutama fokus pada pemberdayaan usaha mikro dengan efektif. Pelibatan LKMS sebagai sumber mitra pemerintah dalam penyalur modal terhadap masyarakat sangat miskin dan masyarakat miskin dapat menunjang keberhasilan dalam memutuskan mata rantai kemiskinan di Indonesia. Alternatif solusi dalam esai ekonomi syariah yang diajukan oleh penulis, mencoba menjawab berbagai persooalan yang menempa keberadaan LKMS. Peran aktif pemerintah dan masyarakat dalam mendukung optimalisasi peran LKMS dalam memberdayakan usaha mikro sangat dibutuhkan untuk terealisasinya Indonesia bebas dari kemiskinan.