Sangat sulit menyakinkan orangtua saat saya memilih apa yang sekarang saya pilih dalam hidup, menjadi sociopreneur. Pergolakan batin terberat saya sekitar 2,5 tahun lalu adalah bagaimana caranya saya tetap bisa memenuhi kebutuhan saya, memiliki standar hidup seperti sebelumnya, namun harus merubah 'gaya' hidup saya. Dan nyatanya tidak bisa, hidup saya menjadi semacam kurva yang menurun secara 'gaya' hidup misal tidak bisa lagi membeli baju di mall, harus jarang-jarang makan di tempat bermerek, dsb. Saya benar-benar fokus pada Dreamdelion dan meninggalkan kesenangan saya menulis.
Sejak 2008 tulisan-tulisan saya cukup baik menghiasi kompetisi demi kompetisi, dari sana saya membiayai sekolah dan Alhamdulillah bisa full membiayai sekolah sejak kelas 2 SMA. Keinginan saya untuk bisa membiayai sekolah sendiri sudah ada sejak SMP, saya berjual stiker, pin, kaos, dan menjadi tutor untuk beberapa adik kelas. Namun saat itu, saya masih cukup bergantung pada orangtua. Terlebih Bapak yang sangat memanjakan saya dan Ibu yang sangat memperhatikan pendidikan saya sehingga saya tidak boleh berkegiatan yang menganggu sekolah. Kompetisi demi kompetisi yang saya jalani sejak SMA yang kata orang mencerminkan sifat ambisius dalam diri saya, sebenarnya adalah salah satu upaya saya agar bisa hidup lebih mandiri dan tidak bergantung kepada orangtua. Saat itu saya memiliki proyek pribadi, "1 piala, 1 bulan". Karena proyek tersebut, dalam satu bulan saya mengikuti 2-3 kompetisi karena tentu ada probabilita menang dan kalah. Dari proyek tersebut juga saya bisa mendapatkan rata-rata Rp 500.000,- s/d Rp 2.500.000 per bulan yang tentu masih dipotong uang administrasi kompetisi dan transportasi.
Maka menjadi cukup beralasan jika orangtua saya kecewa saat saya memberhentikan segala aktivitas saya yang berhubungan dengan kompetisi penelitian atau penulisan, karena itu artinya saya tidak lagi memiliki pemasukan dan orangtua saya tidak lagi mendengar kabar yang membahagiakan. Tapi saya mencoba meyakinkan orangtua saya bahwa memang sudah waktunya saya melakukan hal lain untuk mengasah 'hati' saya, tidak lagi memikirkan hal-hal yang hanya untuk kepentingan pribadi.
Orangtua saya tidak banyak bicara, tapi saya tau mereka sangat kecewa ketika itu pertengahan tahun 2012. Mereka mengungkapkan kekecewaannya dengan diam, mereka tau membujuk putri sulungnya yang keras kepala ini bukan hal yang mudah. Seperti beberapa tahun sebelumnya, saat saya diminta masuk ke jurusan IPA saat SMA agar menjadi dokter tapi saya tegas ingin ke IPS karena ingin menjadi ekonom. Hampir setiap hari saya mendengar orang-orang sekitar meremehkan karena katanya nih yang masuk IPS hanya anak yang tidak bagus akademiknya, saat itu saya menempati 3 besar di kelas. Tapi apa iya saya harus menjawab sindiran-sindiran mereka? Saya diamkan, lama-lama orangtua mendukung karena saya pelan-pelan coba membuktikan bahwa di IPS pun bisa berprestasi, ya dengan kompetisi-kompetisi tadi. Piala pertama yang menghiasi meja belajar saya, saya dapatkan saat kelas 2 SMA. Saya bukan anak yang pintar, nilai matematika saya pernah 3 sehingga saya dipanggil ke BK saat SMP. Tapi saya coba membuktikan bahwa saat saya memilih sesuatu maka saya tidak akan pernah bermain-main dengan sesuatu itu, saya akan bersungguh-sungguh. Pun begitu saat saya memilih konsentrasi Manajemen Sumber Daya Manusia di FEUI, maklum saja konsentrasi yang dianggap bagus itu Manajemen Pemasaran dan Manajemen Keuangan, sementara hanya belasan orang pada konsentrasi saya. Tapi saya enjoy sekali menjalaninya, saya diajak beberapa proyek penulisan oleh dosen, menjadi asisten pelatihan riset, dan sebagainya. Justru berada di konsentrasi tersebut membuat saya banyak belajar bagaimana mengatur SDM sebagai aset dalam sebuah instansi, kunci sukses sebuah instansi. Saya tidak pernah bermain-main dengan pilihan saya, orangtua saya tau benar hal itu.
Pun dalam setiap pilihan pada hidup saya, Ibu pernah mengatakan "kamu itu kalau tanya sesuatu tapi sebenarnya kamu sudah tau jawabannya. Kamu hanya bertanya untuk meyakinkan bahwa jawaban kamu benar, iya kan?"
Buat saya ketika banyak orang yang meragukan apa yang saya pilih, saya menjadi merasa tertantang untuk melakukan apa yang saya pilih. Merasa, "I can do my best!"
Begitu pula saat saya lulus dari FEUI, saya memiliki kontrak dengan dua instansi yang telah membiayai saya selama menjalani pendidikan di perguruan tinggi. Dulu saat saya masih semester 1 kuliah, saya membayangkan ketika lulus nanti saya bisa bekerja di ruangan ber-AC, menggunakan sepatu hak tinggi, blazer, pokoknya berpakaian rapi. Saat saya semester 6, saya mengubah 100% pemikiran saya tersebut. Saya merasa lebih nyaman dengan hidup yang sederhana, bisa menggunakan kaos untuk bekerja, lalu sandal japit, dan bermain dengan orang-orang baru. Dan Ibu bilang, "Kamu boleh menjadi orang hebat, tapi kamu harus bisa menjadi orang hebat yang mau berterima kasih dan punya komitmen". Saya dibesarkan oleh kedua instansi tersebut, bagaimanapun tanpa keduanya mungkin saya bukanlah saya yang sekarang, maka saya jatuh pilihan untuk menjalani kontrak saya. Saya pun menjadi seorang pegawai swasta sudah sekitar 10 bulan terakhir. Tapi saya bilang ke orangtua, saya mau menjadi pegawai swasta tapi saya tetap harus menjadi sociopreneur. Karena disana 'hidup' saya, disana 'semangat' saya, disana saya banyak belajar bahwa ternyata hidup beragam rasa.
Orangtua saya benar-benar demokratis atau lebih tepatnya sudah menyerah menasehati saya untuk hal-hal tertentu. Memang susah membagi waktu antara menjadi pegawai swasta, sociopreneur, keluarga, dan kehidupan pribadi. Saya bisa bilang kalau banyak hal yang menjadi 'kacau' ketika saya berusaha menjalani semua secara bersamaan. "Tuhan saja menciptakan jemari kita tidak sama panjangnya, bagaimana kamu bisa berharap menjadi manusia yang adil?" Karena adil bukan berarti sama. Akhirnya saya coba membagi waktu, mengeliminasi beberapa kegiatan yang saya rasa tidak terlalu perlu dilakukan. Dan salah satu hal yang saya eliminasi adalah hubungan intensif dengan orangtua dan kehidupan pribadi. Sampai akhirnya saya tersadar kalau saya tidak bisa hidup tanpa orangtua. Singkat cerita akhirnya saya bisa menyeimbangkan waktu, membagi peran dengan semampu saya. Konflik demi konflik memang tidak bisa dielakkan. Ini juga mengapa saya harus menolak permintaan menjadi pembicara atau trainer terutama saat weekday, pun saat weekend saya lebih suka bersama teman-teman Dreamdelion atau di rumah.
Sampai sekarang banyak yang menanyakan bagaimana saya bisa melakukan semua hal itu, jawabannya adalah keyakinan untuk bisa melakukannya. Terima kasih :)