Penulis hanya menulis, bukan berarti sinis atau mencoba membuat pembaca berprasangka negatif. Tulisan ini bisa dikatakan curahan hati balasan penulis (aku) sebagai bagian dari rakyat setelah mendengar berbagai curahan hati Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Presiden dianggap tidak menambah nyaman kondisi, tetapi menambah ruwet persoalan negeri dengan curahan hati pribadi.
“Penguasa itu diamanatkan oleh Tuhan pertama-tama dan terutama agar mereka menjadi penjaga yang baik (good guardians) sebaik seperti terhadap anak mereka sendiri.” –Plato-
Curahan Hati Sang Presiden[2]
“Seseorang memang bisa menjadi penguasa atau merebut kekuasaan. Tapi, dia belum tentu mampu merebut identitas sebagai negarawan. Seseorang yang berkuasa, asalkan bisa berkuasa atau menguasai, belum layak mendapat gelar sebagai negarawan. Negarawan memang tidak harus menjadi penguasa, tapi penguasa harus menjadi negarawan. Roda kehidupan bermasyarakat dan bernegara akan berjalan normal dan mencapai apa yang diobsesikan jika masyarakat dan negara ini mempunyai penguasa yang negarawan,” terang Bashori Muchsin.
Jika demikian, apakah penguasa di Indonesia adalah negarawan? Atau dia hanya sekedar penguasa yang tidak dapat diberi embel-embel negarawan? Terlepas dari apakah SBY penguasa yang juga negarawan atau tidak, sudah banyak hal yang dilakukannya untuk membela kepentingan rakyat. Seperti yang dicitrakannya selama ini dan tentu diceritakannya beberapa kali melalui curahan hati colongan pada berbagai kesempatan.
Aku hanya bisa menyaksikan lika-liku kepemimpinan presiden di negeriku. Bagaimana awalnya beliau dipuja hingga kini dicaci seolah tak ada harganya. Ketegasan yang ditunjukkannya dalam berbagai kesempatan, juga termasuk pengusutan kasus-kasus korupsi sampai menyangkut nama besannya, namun dia terlihat tidak gentar menindak dan meminta aparat bekerja dengan jurdil. Hingga akhirnya pada titik dimana rakyat melihat kinerja sang presiden semakin menurun dan menyurutnya ketegasan yang dulu pernah diteladankan.
Ini menjadi salah satu bukti bagaimana kejayaan tidak akan pernah abadi, selalu berganti, dan tentunya diinginkan oleh berbagai kalangan sehingga mereka selalu mencari celah untuk merebutnya. Roda itu selalu berputar, kadang berada di atas dan kadang berada di bawah. Mungkin seperti itulah gambaran perjalanan yang ditempuhnya sebagai presiden di negeri yang sebenarnya sangat kaya ini.
“Dulu kami memilihnya atas dasar kepercayaan. Namun kini, kepercayaan itu telah pudar. Kami pun berkoar-koar menuntutnya untuk lengser jabatan. Dan taukah kalian apa yang dilakukannya? Dia bernyanyi menyuarakan gelisah diri. Berusaha mengetuk kembali pintu hati kami yang telah terkunci.”
Penulisan kata-kata ‘Jujur, Adil, dan Tegas’ di atas atap gedung kura-kura anggota legislatif, akhir Juli 2010, oleh seorang aktor kawakan merupakan salah satu bukti bagaimana rakyat di negaraku mengalami kekecewaan pada pemimpinnya. “Saya kecewa karena dia (presiden) tidak bisa diandalkan lagi. Ia lebih banyak diam melihat persoalan di negara ini,” begitu ucap sang pelaku. Lebih ironi lagi, pelaku mengaku merasa bersalah karena menjadi juru kampanye sang presiden pada Pemilu 2004 lalu. Entah mengapa sikap seperti itu ditunjukkannya, murni karena merasa kecewa dengan polah kepemimpinan pemimpin yang sempat didukungnya atau karena dia tidak mendapatkan apa yang diharapkan setelah menjadi jurkam.
Seperti yang kita ketahui, baru-baru ini terjadi persitegangan antara negeriku dengan negeri tetangga, hingga kembali memunculkan kesangsian rakyat terhadap ketegasan pemimpinnya. Pernyataan tersebut datang dari salah satu anggota legislatif yang berbunyi, “Saya baru dapat informasi mengenai presiden yang mengirimkan surat ke pemerintah Malaysia, terkait pernyataan mereka yang berang dengan Indonesia. Saya tidak tahu apa isi surat itu, semoga itu nota protes. Kalau memang presiden mengirimkan surat nota protes maka seluruh rakyat akan berterima kasih, namun kalau tidak artinya semakin mempertegas kalau sikap pemerintah sangat lembek dalam menyikapi permasalahan ini.”
Sebegitu tidak percayakah rakyat kini dengan pemimpinnya? Atau kepercayaan itu semakin lama semakin tergerus akibat ketidakpastian yang disuguhkan presiden kepada rakyatnya? Kini bahkan rakyat mulai menyebut presidennya ‘lembek’ secara terang-terangan di berbagai media massa. Komentar salah seorang rakyat yang nelangsa melihat kondisi negerinya, di salah satu situs internet, “Presiden terbukti orangnya lembek. Mereka aja terus ngeledek. Laut Ambalat mereka mau pasang gedhek. Peta RI dibiarkan dirobek-robek.”
Kekecewaan tidak hanya datang dari satu bagian rakyat, mayoritas dari mereka kini mulai berteriak. Menuntut janji-janji manis yang sempat terucap dan belum terjamah. Memohon realisasi dari berbagai rencana yang tersusun rapi di hadapan rakyat dahulu kala. Rakyat pun semakin kecewa, saat presiden mulai sering menorehkan kata-kata yang mereka anggap tidak penting. Berbagai kalangan menyebutnya sebagai ‘Diary Sang Presiden’ dimana malah terkesan sesuai dengan pribahasa ‘mencoreng arang di muka sendiri’.
Masih ingatkah kalian dengan pengeboman Hotel JW Marriot dan Hotel Ritz Carlton pada tahun 2009 di Mega Kuningan? Presiden berkesiap membuka suara di depan umum, lalu menunjukkan secara demonstratif bukti foto-foto yang mengindikasikan teror tersebut sebenarnya mengarah pada aksi pembunuhan pada dirinya. Muncullah kalimat-kalimat dari sang presiden yang memunculkan kegelisahan mengenai keberadaan drakula politik, lalu juga pemain-pemain pemilu 2009 yang tidak puas akan kemenangannya hingga dikukuhkan sebagai presiden. Namun, elemen-elemen radikal seperti yang diduga presidenku itu memang sampai saat ini tidak terbukti keberadaannya hingga saat ini.
Curahan hati sang presiden acap kali terdengar. Salah satu pernyataannya, "Ada yang membawa kerbau, Presiden badannya besar, malas dan bodoh seperti kerbau, dibawa itu, apa ya itu unjuk rasa sebagai ekspresi kebebasan, lantas foto diinjak-injak, dibakar-bakar di mana-mana di daerah, silakan dibahas dengan pikiran yang jernih, menyelamatkan demokrasi kita, menyelamatkan budaya kita, menyelamatkan peradaban bangsa." Salah satu aktifis menilai apa yang dinyatakan Presiden tidak cukup penting untuk diutarakan, "Mengenai membawa kerbau, itu cuma kreativitas massa. Pemerintah seharusnya menjawab kekecewaan publik terhadap kinerja pemerintah, bukan membahas cara aksi."
Pada kesempatan lain presiden lagi dan lagi mencurahkan isi hatinya dihadapan puluhan ribu warga korban Gunung Sinabung, September 2010, mengenai kritik pedas yang ditujukan kepadanya saat bermain gitar untuk menghibur pengungsi Gunung Merapi pada 2006 silam oleh sejumlah kalangan. Saat itu dia menginap guna membuktikan bahwa presiden memiliki perasaan sepenanggungan dengan rakyatnya. Kembali dia mengutarakan uneg-unegnya, “Para pengungsi membutuhkan motivasi dan semangat. Namun yang terjadi, banyak orang malah melihat dari sudut pandang yang lain. Tapi kalau kita yakin, go ahead. Nggak penting mendengarkan itu, yang penting rakyat diselamatkan dan dilayani sebaik-baiknya.”
Presiden kembali membela diri dalam salah satu kesempatan "Kritik itu proporsional dan tepat laksana obat terutama kritik padangan komentar yang obyektif. Selebihnya saya serahkan ke Allah. Semoga bangsa kita diberikan kesadaran bahwa menjalankan pemerintahan ini tidak semudah membalikkan telapak tangan."
Kembali aku berpikir, bukankah benar apa yang dikatakan presiden? Kita sebagai rakyat tidak pernah berada diposisinya sebagai pemimpin negara sehingga hanya bisa berkomentar sepedas-pedasnya. Tapi di satu sisi aku berpikir lagi, bukankah ini semua konsekuensi atas kemenangan yang diperjuangkannya hingga menggelontorkan miliaran rupiah… Presiden pun bersuara, “Pemilu 2009 baru saja selesai, Pemilu 2014 masih jauh mengapa politik kita teraduk-aduk begini?”
Begitulah cerita singkat tentang presiden di negaraku. Sebagai rakyat mungkin aku hanya bisa berharap, ketegasan yang dulu dipertunjukkan oleh presiden kembali menjelma pada wujud yang nyata dan semoga rakyat tidak asal bicara, mendemonstrasikan kekecewaan dengan cara yang salah. Bagaimanapun aku mengaguminya (presiden) yang selalu santun dalam berkata dan terlihat bijak dalam bertindak, serta terkesan serius memikirkan kondisi rakyatnya hingga keriput-keriput itu subur membanjiri paras tampannya. “Bukankah rakyat juga berpikir begitu? Buktinya presiden terpilih dua kali berturut-turut dengan cara terhormat, dipilih oleh rakyat.” Dan ada hal yang perlu diingat, presiden telah mengorbankan hampir tujuh tahun hidupnya untuk bangsa ini, berusaha mensejahterahkan rakyatnya… Bukan suatu pekerjaan yang mudah dan mungkin tidak akan pernah sanggup kita lakukan sebaik yang pernah dia lakukan bila kita berada di posisinya.
Terbaru : Curhat Soal Gaji, SBY Menambah Ruwet Persoalan Negeri. Lembaran Baru, Kisah Lama Dendangan Kalbu.
5 Januari 2009, “Gaji presiden harusnya paling tinggi, ternyata tidak”
23 Desember 2010, “Beberapa gaji pimpinan BUMN lebih tinggi daripada presiden, seharusnya tidak”
21 Januari 2011, Presiden kembali menyatakan curahan hati dalam rapim TNI dan Polri mengenai gajinya yang belum naik selama tujuh tahun terakhir. Sebagai orang nomer satu di Indonesia keluhan presiden langsung didengar, tidak seperti keluhan-keluhan rakyat yang acap kali terabaikan. Agus Martowardojo selaku Menteri Keuangan RI mengatakan bahwa pemerintah akan menaikan gaji presiden dan 8000 pejabat negara lain dengan mempertimbangkan beban kerja, luasan tanggung jawab, dan besaran resiko.
Tiga curahan hati presiden di atas mengenai gaji yang tidak naik diungkapkan oleh Direktur riset Charta Politika Yunarta Wijaya, artinya presiden melakukan under block effect yang seharusnya tidak dilakukan. Gaya komunikasi presiden harus diubah, selain itu team komunikasi SBY seharusnya bekerja lebih baik dengan membaca persepsi masyarakat lebih jeli. Seorang pemimpin seharusnya adalah orang yang terakhir kali menunjukkan pesimisme secara psikologi dan hal ini sayangnya dilakukan SBY. Pengamat politik ini menguraikan opini yang fokus pada gaya komunikasi. “Kalimat yang dikeluarkan pemimpin dalam hal ini SBY, bukan menjadi inspirasi tetapi polemik hingga akhirnya dipolitisasi, misalnya Bakrie menyatakan bahwa naikan saja gaji presiden.” Ada beberapa gaya komunikasi menurut Yunarta, diantaranya (1) under block effect dimana menempatkan diri pada posisi yang disudutkan. Pada 2004 sudah terjadi saat presiden seolah-olah didzalimi oleh incummbent dan politisi lain. Hal ini sudah terjadi dua kali semasa pemerintahan SBY. (2) bahasa komunikasi normatif alias tidak jelas. Dua gaya ini dilakukan oleh SBY yang sudah dua masa pemimpinan menjabat, tentu tidak patut dilakukan.
Tabel 1
Daftar Gaji Pejabat Negara (Juta Rupiah) [3]
Presiden* | Gubernur BI | Wapres | Menteri | Ketua DPR | Anggota DPR | Ketua MA | Ketua BPK |
62,740 | 265 | 42,16 | 18,648 | 23,94 | 13,9 | 23,94 | 20 |
*Anggaran Operasional 2 Miliar per Tahun
Presiden menerima gaji Rp 62,74 juta per bulan atau 28 kali pendapatan perkapita di Indonesia. Kenaikan gaji presiden yang dicanangkan oleh Menteri Keuangan tentu akan menjadi polemik yang tak berkesudahan mengingat kondisi Indonesia yang tengah dirundung duka. “Menaikan gaji presiden bukan akan meredakan emosi, tetapi akan membakar api cemburu dalam masyarakat dimana rakyat akan semakin mencela presiden.” Guru Besar FISIP UI Maswadi Rauf menyesalkan rencana penyesuaian gaji pejabat, “ini jelas blunder dari pemerintah. Citra politik presiden semakin terpuruk. Rakyat akan langsung mengatakan, kalau presiden mengeluh soal gaji, para menterinya langsung bertindak. Kenaikan gaji presiden nyata menunjukkan kelemahan pemerintah SBY. Tidak melihat kondisi riil di masyarakat.”
Penelitian yang dikendarai oleh Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menunjukkan bahwa kenaikan anggaran untuk belanja pegawai di APBN 2010 mencapai 21 persen atau sekitar Rp 28 triliun. Pada APBN 2009, belanja pegawai sebesar Rp 133.7 triliun, sedangkan pada 2010 mencapai Rp 161,7 triliun. Sumber kenaikan adalah rekrutmen CPNS dari sumber tenaga honorer dan remunersi PNS di Depkeu, MA, BPK, dan Sekertariat Kabinet. Hal ini berbanding terbalik dengan anggaran belanja subsidi dan bantuan sosial yang justru menurun. Pada subsidi menurun sebesar 10%, dari Rp 159,9 triliun menjadi Rp 144,3 triliun. Pos yang dikurangin adalah obat generik dihapus dan subsidi pupuk dikurangi Rp 7,1 triliun yang pasti membuat susah petani. Pemangkasan pada belanja sosial adalah belanja bantuan sosial sebesar 11 persen pada pos BOS.[4] Artinya adalah kenaikan gaji pejabat dan remunerasi PNS telah menggorbankan orang miskin di negeri ini. Jika pada tahun 2011 kenaikan gaji yang saat ini hanya sekedar wacana menjelma nyata, nasib rakyat miskin akan semakin teraniaya karena Maret 2011 pemerintah mencanangkan kenaikan harga bahan bakar minyak yang secara tidak langsung dengan mencabut subsidi bahan bakar premium.
Elman Saragih, wartawan senior, mengungkapkan pendapatnya mengenai curahan hati presiden yang tengah gempar digunjingkan oleh masyarakat. “Seorang negarawan yang bersedia menjadi presiden seharusnya tidak bertujuan untuk mencari gaji. Kalau SBY ingin gajinya besar, jangan jadi presiden tetapi jadi direktur BUMN misalnya pertamina. Presiden gagal dalam berkomunikasi saat mencurahkan hati soal kenaikan gaji tentu mencederai rakyat. SBY bukan presiden partai demokrat, tapi seluruh rakyat. Seharusnya presiden merenung dan tidak saban hari curhat pada rakyat, harusnya rakyat yang curhat pada presiden. Saat ini bukan era kampanye, tetapi era kerja sehingga tidak penting janji-janji, pengaduhan, tetapi realisasi dari janji presiden.”[5]
Oleh : Alia Noor Anoviar[1]
Depok, 11 Februari 2011. Pukul 18.19.
[1] Mahasiswi 2009. NPM 0906490645. Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia.
[2] Modifikasi, sebelumnya dimuat dalam Economica Papers Edisi 48, 2010, Badan Otonom Economica (BOE) FEUI pada Rubrik Igauan dengan judul : Curahan Hati Sang Presiden.
[3] Heri Owel, Jawa Pos Edisi Rabu, 26 Januari 2011.
[4] Yuna Farhan, Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Jawapos Edisi Senin 26 Januari 2011.
[5] Pada acara 8-11 Eight Eleven, METRO TV. Senin, 24 Januari 2011.
No comments:
Post a Comment