20120112

PEREKONOMIAN INDONESIA : TACKLING THE INFRASTRUCTURE CHALLENGE IN INDONESIA

Oleh : Alia Noor Anoviar


PAPER REVIEW
Teori dan literatur menyatakan bahwa terdapat efek positif pada pertumbuhan infrastruktur cenderung lebih tinggi di negara kurang maju, seperti Indonesia. Saat ini kondisi infrastruktur masih buruk secara kuantitas maupun kualitas dan investasinya sangat rendah karena pemotongan belanja modal, partisipasi swasta rendah, dan keterbatasan administrasi. Jurnal ini memperbandingkan sektor infrastruktur, serta bagaimana dilakukannya pelibatan swasta dalam infrastruktur di Indonesia dan negara-negara OECD.
Permasalahan infrastruktur di Indonesia (1) biaya perawatan infrastruktur rendah dan tidak berkualitas sehingga sulit mengembalikan investasi dan kurang mendukung terhadap pertumbuhan ekonomi; (2) kesenjangan infrastruktur antar daerah serta antara kota dan desa; (3) tingkat persaingan terbatas karena peraturan menghalangi investasi swasta, selain sektor telekomunikasi dan jalan tol; dan (4) perbedaan dramatis layanan infrastruktur karena faktor non finansial, seperti administrasi di daerah terkait desentralisasi. Peringkat Indonesia terkait buruknya fasilitas infrastruktur tercermin dalam the Global Competitiveness Report of the World Economic Forum tahun 2010-11 dimana menempati urutan ke 82 dari 140 negara.
Dua cara pembiayaan investasi pada infrastruktur, yaitu (1) Public spending and efficiency dimana pengeluaran publik untuk infrastruktur meningkat pasca krisis Asia, meskipun lebih rendah dari pre-krisis. Masalahnya adalah pengaturan alokasi anggaran infrastruktur tidak terkoordinasi antar kementrian, perencanaan kurang matang, tidak jelasnya hirarki otoritas, serta anggaran tidak dialokasikan dengan efektif dan terkonsentrasi di akhir tahun. Strategi mengatasinya adalah perencanaan, koordinasi, dan kebijakan prioritas sesuai kebutuhan. (2) Extent of private participation atau PPPs (Public Private Partnership). PPPs sempat menurun pasca krisis dan devaluasi nilai rupiah. PPPs terkonsentrasi pada energi dan telekomunikasi dimana menggunakan cost-benefit analysis serta fokus pada keberlangsungan fiskal. Negara-negara di OECD juga menggunakan PPPs.
Kerangka kebijakan antara Indonesia dengan negara-negara OECD sangat berbeda. (1) Sectoral regulator di negara-negara OECD bersifat independen atau tidak berfokus pada regulasi oleh pemerintah dibandingkan Indonesia. (2) Price regulation di negara-negara OECD menggunakan incentive-based price regulation untuk mendorong investasi infrastruktur dan Indonesia menggunakan cost-based pricing selain pada infrastruktur jalan. (3) Permissions and calls for tender di Indonesia lebih ketat dan birokrasinya rumit karena membutuhkan lisensi dibandingkan negara-negara di OECD. (4) FDI restriction di negara-negara OECD lebih terbuka, sementara di Indonesia FDI lebih pada sektor telekomunikasi.
Terdapat beberapa sektor infrastruktur yang dibahas dimana pembahasan meliputi (1)  Permasalahan di semua sektor infrastruktur di Indonesia secara umum adalah harga ditetapkan di bawah cost recovery level sehingga sulit menarik investor karena dianggap tidak menguntungkan, perawatan infrastruktur terbatas oleh dana, dan akses masih rendah di daerah pedesaan. Apabila harga naik akan mengarahkan pada penggunaan sumber daya lebih efisien, subsidi bagi masyarakat kurang mampu, dan otomatis mendorong peran swasta. (2) Pengaturan oleh negara-negara OECD. (3) Ringkasan rekomendasi kebijakan.
Pertama, sektor listrik di Indonesia dikuasai oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN). Target pemerintah menaikkan electrification rate menjadi 90 % pada tahun 2014 dengan fast track programme. Hingga saat ini pemerintah masih memonopoli listrik, meskipun ada Independent Power Producers (IPPs) namun masih minim. Investasi pada sektor listrik sudah ada legalisasinya pada tahun 2009 sehingga bisa menarik swasta untuk perluasan jangkauan, juga dilakukan lelang subsidi. Chili, anggota OECD, berhasil dengan program listrik desa, peningkatannya 43 % (1990-2007) dengan melibatkan stakeholders terutama swasta.
Kedua, air dan sanitasi merupakan sektor di Indonesia yang paling membutuhkan reformasi, bahkan menjadi masalah akut. Pelibatan swasta pernah dilakukan di Jakarta (1998) yang menunjukkan efek positif dalam peningkatan efisiensi, meskipun cakupan dan kualitasnya masih di bawah ekspektasi. Hal yang paling umum adalah sistem suplai air menggunakan self-provision, begitu pula di US. PDAM di Indonesia umumnya kecil dan efisiensinya rendah karena tidak mendapat skala ekonomis, juga menghadapi masalah pendanaan yang butuh manajemen dari tingkat provinsi.
 Ketiga, transportasi darat masih terkonsentrasi pembangunan jalan tol di Jawa dan menghadapi masalah akuisisi lahan yang sering menimbulkan masalah hukum. Dana pembangunan dan perawatan jalan berasal dari DAK, mulai dibangun insentif bagi pemerintah lokal untuk mengalokasikan dana bagi perawatan jalan. Keempat, sektor telekomunikasi di Indonesia yang telah mengalami modernisasi melalui privatisasi Telkom dan Indosat (1990-an) sehingga menjadi penyumbang terbesar infrastruktur di Indonesia dibandingkan sektor lain dan menghasilkan share of output lebih besar dibandingkan rata-rata negara OECD. Pemerintah membentuk BRTI (2003) untuk menjadi pengawas industri telekomunikasi yang persaingannya semakin luas. Infrastruktur telekomunikasi telah mampu mencapai pedesaan. Kelima, ports and shipping menjadi hal yang penting bagi Indonesia sebagai negara kepulauan. Terdapat sistem baru untuk bisa memecah monopoli dari empat BUMN untuk menjadi port operators. Rekruitmen berdasar kompetensi, mereduksi terjadinya sabotase terhadap asing, serta kebebasan bagi shipping company untuk penetapan tarif.

II.        ANALISIS JURNAL PENDUKUNG
McKenzie (1998), dalam Yannis Katsulakos & Ellisavet Likoyanni (2002), menjelaskan bahwa skema privatisasi saat ini kerap digunakan dengan tujuan mereduksi defisit anggaran, mendorong investasi, meningkatkan efisiensi dan liberalisasi sektor-sektor seperti telekomunikasi dan energi. Peningkatan defisit anggaran terjadi akibat pengeluaran yang lebih tinggi atau pajak yang lebih rendah yang dibiayai oleh privatisasi, memiliki dampak yang sama dengan ekspansi fiskal yang dibiayai oleh hutang pemerintah. Efek dari privatisasi tergantung pada sumber privatisasi, tingkat mobilitas modal, nilai tukar, dan posisi ekonomi makro pada awalnya.
Jurnal utama yang berjudul ‘Tackling the Infrastructure Challenge in Indonesia’ mengarahkan pada privatisasi infrastruktur seharusnya dilakukan di Indonesia karena memiliki dampak positif pada pembangunan infrastruktur berupa efisiensi dan efektifitas, seperti yang dilakukan oleh negara-negara OECD. Jurnal tersebut senada dengan sebuah studi berjudul ‘Privatization and European Economic and Monetary Union’ yang menggunakan data tahun 1990-1997. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa terdapat indikasi hubungan negatif dan signifikan secara statistik antara privatisasi dan defisit anggaran di Spanyol, Yunani, Italia, dan Portugal (Jeronimo, et al. 2000). Artinya, privatisasi mampu menurunkan defisit anggaran.
Berdasarkan analisa ekonometrika berjudul ‘Fiscal and Other Macroeconomic Effect on Privatization’ pada 23 negara OECD pada tahun 1990-2000 yang dilakukan oleh Yannis Katsulakos & Ellisavet Likoyanni (2002) disimpulkan hasil yang berbeda dengan studi oleh Jeronimo, et al. (2000), yaitu privatisasi ternyata tidak berhubungan negatif dan signifikan terhadap defisit anggaran di seluruh negara OECD. Privatisasi memang memiliki hubungan negatif dan signifikan dengan hutang pemerintah di seluruh negara OECD, meskipun tidak berlaku bagi Belgia, Yunani, dan Italia karena memiliki hutang di atas tingkat PDB. Adanya privatisasi membuat penerimaan negara dari pajak menjadi lebih tinggi sehingga pemerintah bisa meminimalkan hutangnya. Selain itu privatisasi mampu meningkatkan jumlah tenaga kerja atau bisa mereduksi pengangguran karena tersedianya infrastruktur yang memicu investasi, namun tidak secara signifikan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi di seluruh negara OECD. Analisa tersebut memberikan indikasi bahwa privatisasi memang berdampak positif terutama pada kebijakan fiskal dan variabel makro ekonomi.
Peran privatisasi memang penting untuk proses pertumbuhan dan pembangunan di era globalisasi, terutama pada aspek ekonomi dari negara yang sedang mengalami transisi,  namun tidak dapat dielakkan efek negatifnya berupa dampak sosial berupa eksternalitas negatif, seperti limbah, yang pengelolaannya terabaikan. Privatisasi infrastruktur membuat aktifitas operasional bisnis semakin lancar dan padat karena sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, infrastruktur yang baik mendorong investor untuk berinvestasi. Efisiensi dari privatisasi membuat pemeriksaan terhadap limbah menjadi terabaikan sehingga membahayakan lingkungan alam, kesehatan, dan keamanan masyarakat disekitar. Praktik privatisasi yang meningkat secara drastis pada sepuluh tahun terakhir cenderung hanya berfokus pada keuntungan ekonomi jangka pendek, tanpa memperhitungkan keadilan sosial bagi stakeholders. Terlebih lagi secara umum, proses privatisasi kadang hanya menghasilkan ketimpangan keuntungan antara pemerintah, swasta, dan masyarakat.
Ross Prizzia (2002) mengungkapkan bahwa dari banyak pengalaman privatisasi, terjadi social cost of privatization  yang beragam pada setiap negara. Misalnya privatisasi rumah sakit di Amerika yang menyebabkan biaya obat mahal dan tidak adanya jaminan keselamatan untuk pekerja yang miskin, sakit keras, dan mengalami cacat fisik. Begitu pula dengan privatisasi sistem distribusi air di Bolivia dan privatisasi sistem energi di Thailand yang meningkatkan pengangguran karena perusahaan melakukan mekanisasi, serta mengurangi kesejahteraan konsumen karena infrastruktur publik yang seharusnya disediakan oleh pemerintah menjadi disediakan oleh swasta yang tentu berorientasi pada profit sehingga masyarakat sebagai konsumen harus mengaksesnya dengan harga yang lebih mahal sehingga menyebabkan demonstrasi dan protes massa.
Laporan Bank Dunia tentang proyek penelitian berjudul ‘Progress of Economic Growth in The Developing World from 1991 to The Year 2000’, menunjukkan bahwa privatisasi tidak hanya menekan finansial internal perusahaan namun juga menekan biaya manusia berupa upah, biaya sosial berupa menurunnya daya beli masyarakat, dan biaya lingkungan berupa limbah. Bank Dunia telah melakukan analisa dampak privatisasi di beberapa wilayah seperti Ohio, Kentucky, Bolivia, Ontario, Brazil, UK, Venezuela, dan Selandia Baru yang dapat disimpulkan bahwa konsekuensi dari privatisasi yang umum terjadi adalah inflasi yang merugikan konsumen atau masyarakat.
Sebelum melakukan privatisasi terhadap infrastruktur publik, pemerintah seharusnya melakukan analisa terhadap dampak positif dan negatif dari privatisasi tersebut, selain itu juga memasukkan faktor-faktor sosial seperti keamanan kerja, tekanan kerja, kesetaraan, layanan sosial, kesejahteraan konsumen, dan tanggung jawab pada semua pihak yang terkena dampak, dan lingkungan alamnya. Secara spesifik, pembangunan dan privatisasi harus diatur secara legal dengan amandemen untuk undang-undang ketenagakerjaan, reformasi struktural pada keamanan sosial dan rencana pensiun, serta undang-undang lingkungan (Rozz Prizia, 2011).
Kesimpulan dari pembahasan terkait pro-kontra pelaksanaan privatisasi adalah privatisasi memiliki konsekuensi positif dan negatif. Namun, dampak negatif tersebut seringkali menjadi sesuatu yang bias dan rentan untuk tidak terdeteksi karena efektifitas dan efisiensi dari privatisasi hanya didasarkan pada manfaat ekonomi. Oleh karena itu, guna meminimalisasi eksternalitas negatif dari privatisasi harus dirumuskan perhitungan mengenai efisiensi dan efektifitas privatisasi baik secara ekonomi dan sosial, serta menjaga keseimbangan manfaat dari pemerintah, swasta, dan terutama bagi masyarakat.
Terkait dengan permasalahan swasta di yang tidak tertarik dengan investasi pada infrastruktur publik karena penetapan harga di bawah cost recovery level dapat dijelaskan oleh berdasarkan buku ‘Asia's Infrastructure in the Crisis: Harnessing Private Enterprise’ karya Harry (1998). Disebutkan bahwa sektor infrastruktur berbeda dari sektor lain, bukan hanya karena menyediakan layanan penting yang menghasilkan efek spillover, biaya dan manfaat dinikmati oleh orang-orang yang tidak langsung menikmati layanan ini, namun juga karena memiliki sifat monopoli alami. Monopoli swasta cenderung mengeksploitasi kekuatan terlepas dari efek spillover pada masyarakat. Pemerintah berurusan dengan masalah penyediaan infrastruktur publik melalui kepemilikan dan operasi yang terpusat, tetapi sering mengorbankan efisiensi dan kualitas.
Akibat keterbatasan anggaran negara dalam memenuhi infrastruktur publik maka pemerintah mencari solusi melalui pasar. Masalahnya adalah bagaimana pemerintah dapat sepenuhnya mengenali dan secara efektif menangani dengan kekuatan monopoli alaminya pada infrastruktur dalam memastikan penyediaan infrastruktur yang efisien. Solusinya adalah menciptakan kebijakan yang mengintegrasikan swasta ke dalam komponen-komponen yang kompetitif, memprivatisasinya di pasar yang kompetitif dengan  tetap  mempertahankan kontrol regulasi. Namun akan sulit bagi sektor swasta terlibat dalam penyediaan infrastruktur jika kerangka hukum dan institusional dasarnya tidak memadai. Pada banyak negara berkembang di Asia, termasuk Indonesia, kerangka institusional dan regulasi tertinggal jauh di belakang pemerintah dalam mendorong peningkatan keterlibatan swasta dalam sektor infrastruktur publik. Perlu adanya reformasi di tiga bidang utama terkait dengan privatisasi penyediaan infrastruktur, yaitu hukum dan peraturan, pembiayaan dan manajemen risiko, dan kebijakan sektoral (Harry, 2008). Selain masalah hukum, kelemahan lain dalam menarik keterlibatan sektor swasta dalam pengembangan sektor infrastruktur publik adalah kurang dikembangkannya lembaga keuangan domestik dengan instrumen jangka panjang sebagaimana yang juga dijelaskan pada jurnal utama. Namun sekali lagi harus ditekankan bahwa, pelaksanaan privatisasi harus dilakukan dengan melihat kondisi kekinian suatu negara.

III.       TINJAUAN KASUS DI INDONESIA
Berdasarkan studi analisis input-output oleh Chandra dan Alla (2010) diketahui bahwa semua sektor infrastruktur di Indonesia memiliki dampak multiplier yang positif terhadap sektor perekonomian lainnya. Pertumbuhan investasi pada sektor listrik, gas dan air bersih memberikan dampak terbesar terhadap perubahan output total. Sektor air bersih memberikan dampak terbesar terhadap perubahan pendapatan. Sementara sektor jalan, jembatan dan pelabuhan memberikan dampak terbesar terhadap tenaga kerja total.
Namun kenyataannya, pembangunan infrastruktur di Indonesia masih lemah sehingga daya saing dan daya tarik investasi menjadi rendah. Data Bappenas (2003) menunjukkan terdapat penurunan yang signifikan pada pertumbuhan infrastruktur di Indonesia akibat depresiasi rupiah pasca krisis ekonomi 1998, dimana sektor listrik, gas, dan air bersih -3,1%, bangunan -36,5%, sementara pengangkutan dan komunikasi -15,1%. Selain itu, terjadi penurunan pengeluaran pembangunan infrastruktur terhadap PDB sebesar 3%, sebagaimana data yang dilansir BPS (2007), yaitu dari 5,3% (1993-1994) menjadi 2,3% (2005-2007). Nilai tersebut relatif rendah dibandingkan negara tetangga seperti Vietnam (9,9%), China (7,4%), dan Thailand (15%). Bahkan APBN 2011, pemerintah hanya mengalokasikan sekitar 8 % untuk pembangunan infrastruktur. Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) diwakili oleh Safjan Wanandi menghendaki adanya alokasi 30% APBN 2012 untuk belanja modal yang difokuskan pada pembangunan  infrastruktur agar pertumbuhan ekonomi mencapai 8-9%.
Pada kuliah perekonomian Indonesia terkait dengan ‘Fiscal Policy’ oleh Fauziah Zen (2011) dijelaskan bahwa komposisi belanja modal tahun 2010 pada pengeluaran pemerintah hanya 11,3 persen. Sasaran pembangunan nasional 2010 salah satunya memprioritaskan pemulihan perekonomian nasional yang didukung oleh pembangunan infrastruktur, sekaligus menjadi bagian dari pokok-pokok kebijakan fiskal 2010. Kebijakan pemerintah pusat dalam belanja modal meliputi (1) kesinambungan pembiayaan dan (2) pendanaan infrastruktur di beberapa kementrian dan lembaga. Pemerintah juga menyediakan insentif fiskal dalam sektor infrastruktur untuk mendorong perekonomian. Bahkan pada APBN-P 2010, pemerintah menginstruksikan percepatan pembangunan infrastruktur dan tambahan belanja prioritas di sektor infrastruktur yang pada awalnya hanya Rp 93,7 triliun menjadi Rp 105,6 triliun.
Pemerintah Indonesia sebenarnya telah menunjukkan komitmen dalam pembangunan infrastruktur. Misalnya tercermin dalam peluncuran ‘PPP Project Plan Book’ oleh Bappenas pada Juni 2011 sebagai wujud akan dilaksanakannya peningkatan pembangunan dan pengembangan infrastruktur dengan mekanisme pembiayaan yang menitikberatkan pada peran pihak swasta atau menerapkan Public Private Partnership (PPPs) yang diperkuat dengan berbagai kebijakan teknis. PPPs merupakan bentuk dari privatisasi. Pelaksanaan pembangunan infrastruktur merupakan salah satu tantangan dari sisi domestik pada APBN 2011 karena memiliki laju percepatannya cenderung yang melemah sehingga menjadi sentimen negatif bagi momentum pembangunan ekonomi saat ini (Sekjen Kementrian Keuangan, 2010). Terdapat pula kebijakan untuk menyerap sisa APBN 2011 sekitar 10 % yang akan dipergunakan guna pembangunan infrastruktur (Agus Martowardojo, 2011).
Lemahnya sektor infrastruktur di Indonesia diakui oleh Tony Prasetiantono, dalam Media Keuangan (2010), menyatakan bahwa kemampuan pemerintah dalam membiayai infrastruktur masih sangat rendah dimana pembiayaannya terlalu menggantungkan kepada swasta. Jika pemerintah memang hendak mengandalkan swasta, harus melakukan aksi pro-aktif untuk melobi swasta karena investasi pada infrastruktur publik dianggap tidak menguntungkan sehingga ketertarikan swasta sangat rendah.
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa PPPs merupakan salah satu bentuk dari privatisasi sektor infrastruktur di Indonesia. Per 31 Mei 2011, penerimaan dari privatisasi di Indonesia melebihi targetnya, yaitu sebesar Rp 425 miliar sementara target hanya Rp 340 miliar. Target privatisasi APBN 2011 jauh lebih rendah dibandingkan APBN-P 2010 sebesar Rp 1200 miliar karena kebijakan pemerintah tidak menjadikan privatisasi sebagai sumber pembiayaan APBN, namun untuk peningkatan kinerja dan nilai tambah perusahaan, perbaikan struktur keuangan dan manajemen, penciptaan struktur industri yang sehat dan kompetitif, serta perkembangan BUMN yang mampu bersaing dan berorientasi global (Laporan Semester I APBN 2011). Hal ini memberi signal bahwa dapat dilakukan privatisasi pula pada sektor infrastruktur melalui PPPs sehingga pembangunannya bisa lebih efektif dan efisien, perencanaan matang karena tidak anggaran tidak hanya akan terkonsentrasi alokasinya di akhir tahun, dan mencegah adanya intervensi politik sekaligus penyimpangan pada pembangunan infrastruktur di Indonesia (I Nyoman Tjager, 2007),
Bappenas mencanangkan arah kebijakan dan sasaran pembangunan infrastruktur 2012 pada peningkatan kapasitas, kuantitas dan kualitas infrastruktur penunjang pembangunan fokus di Indonesia bagian timur untuk mengatasi ketimpangan pembangunan sebagaimana disinggung pada jurnal utama, infrastruktur di Indonesia masih terkonsentrasi di Jawa. Pembangunan infrastruktur merupakan kewajiban kontingensi pemerintah yang memiliki resiko fiskal saat terjadi klaim atas jaminan yang digunakan untuk meningkatkan ketertarikan swasta dalam berinvestasi pada infrastruktur. Pemerintah mencoba meminimalisasi resiko fiskal melalui pengoperasian PT Penjamin Infrastruktur Indonesia pada tahun 2010.

IV.       PENUTUP    
Kesimpulan dan saran penulis berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan maka adalah harus segera direalisasikan percepatan pembangunan infrastruktur di Indonesia pada tahun 2012 untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui naiknya pendapatan dan output nasional, serta mengurangi pengangguran. Pemerintah memang dihadapkan pada keterbatasan anggaran untuk pembangunan infrastruktur, strategi yang dapat ditempuh adalah melakukan PPPs untuk pembiayaan, efisiensi dan efektifitas proyek, pemerataan infrastruktur di seluruh wilayah, serta meminimalkan politisasi, juga harus diperhatikan prioritas pembangunan infrastruktur di Indonesia. Namun PPPs harus tetap didominasi oleh pemerintah untuk memastikan kontrol bahwa infrastruktur tersebut tetap mampu diakses oleh masyarakat. Jika tidak, pemerintah harus menyediakan subsidi yang memberatkan APBN. Saat infrastruktur di Indonesia menjadi lebih baik maka penerimaan negara dari pajak akan meningkat karena masuknya investasi dalam jumlah yang besar. Efek multiplier positif dari keberadaan infrastruktur yang baik berpotensi mengurangi defisit APBN di Indonesia.

V.        DAFTAR PUSTAKA
Jeronimo, et al. 2000. Privatization and European Economic and Monetary Union. Eastern Economic Journal, 26, No 3.
Katsoulakos, Yannis. and Elissavet Likoyanni. 2002. Fiscal and Other Macroeconomic Effects of Privatization. 9-13, 27. The Fondazione Eni Enrico Mattei Note di Lavoro Series Index: http://www.feem.it/web/activ/_wp.html.
Sekretariat Jenderal Kementrian Keuangan. 2010. APBN 2011, Sebuah Momentum Menuju Akselerasi Ekonomi. Media Keuangan Vol.V No. 39/November/2010.
Pemerintah Republik Indonesia. 2011. Laporan Pemerintah tentang Pelaksanaan APBN Semester Pertama Tahun Anggaran 2011. Bab IV : 4, 17-18.
Permana, Chandra Darma dan Alla Asmara. 2010. Analisis Peranan dan Dampak Investasi Infrastruktur Terhadap Perekonomian Indonesia : Analisis Input-Output. Jurnal Manajemen & Agribisnis, Vol. 7 No. 1 Maret 2010: 48-49.
Pisu, M. 2010, Tackling the Infrastructure Challenge in Indonesia. OECD Economics Department Working Papers, No. 809.
Prizzia, Ross. 2002. The Impact of Development and Privatization on Environmental Protection: an International Perspective. Journal of Environment, Development, and Sustainability: 315.
Tjager, I Nyoman. 2007. Dampak Privatisasi BUMN. Newsletter No.70/September/2007: 5-9.
Wu, Harry. 1998. Asia's Infrastructure in the Crisis: Harnessing Private Enterprise. The Asia Pacific Journal of Economics & Business: 110-111.

No comments: