Memandang Perempuan dari Kacamata Pria
Ada yang mengatakan bahwa kita tidak dapat menilai diri kita secara pribadi. Yang dapat menilai tentang kita adalah orang lain seperti teman, orang tua, pacar, atau tetangga. Apakah hal ini juga berlaku pada perempuan? Dalam artian perempuan tidak bisa memberikan kesan yang proporsional terhadap makna perempuan. Perempuan seringkali memandang dirinya dan sesamanya sebagai sosok yang tanpa cela, padahal nobody is perfect. Jika ada pernyataan yang mendiskreditkan kaum mereka, misalnya anggapan bahwa perempuan itu matrealistis, maka mereka langsung berusaha mengelak dengan memberikan pernyataan bandingan yang membuat sekelilingnya berpikir ulang, “perempuan tidak matrealistis, tetapi realistis.” Dan yang sering penulis temukan dalam dunia nyata saat perempuan telah berani mendua, gender dengan populasi lebih besar daripada pria di dunia ini dapat menjawab dengan entengnya, “kan sekarang jaman emansipasi. Pria saja bisa punya 4 istri, kenapa perempuan tidak?” Jika ada yang lebih memikirkan karir dan menunda-nunda untuk menjalankan sunah Nabi Muhammad SAW, mereka pun memiliki alasan yang dirasa tepat dimana tidak ingin bergantung pada pria pasca menikah nanti sehingga sekarang membanting tulang dan memeras keringat demi mengejar materi.
Lalu bagaimana pria memandang sosok yang konon merupakan salah satu dari kelemahan darinya. Santer terdengar ada 3A yang dapat menjatuhkan para adam entah benar entah salah, yaitu hartA, tahtA, dan wanitA. Penulis mencoba menanyakan kepada dua pria dari profesi dan asal usul yang berbeda untuk memberikan pendapat mengenai perempuan pasca emansipasi dan bagaimana perempuan yang lebih suka berkarir daripada memikirkan keluarga dari kacamata pria.
Dimas Bagus Farizky, Bandar Lampung, Mahasiswa UNDIP. “Sekarang perempuan lebih kelihatan berkarakter dan kemampuannya nggak cuma di rumah, masak dan jaga anak. Tapi ya jangan sampai kebablasan aja mau ngelebihin pria. Kan kodratnya pelayan suami. Perempuan yang harus dibasmi itu kalau perempuan lebih suka karir daripada mikirin keluarga.”
Yakub Utama, Solo, Dosen ATMI. “Perempuan itu dianugerahi Tuhan posisi krusial sebagai co creator atau asisten dalam penciptaan di dunia ini. Maka fungsi ini tidak boleh dilupakan. Dalam kaitan itu segala atribut lain yang dikejarnya seperti karir dan seterusnya tidak boleh meninggalkan kesadaran akan fungsi tersebut. Pria dan perempuan bisa sama dalam hal emansipasi fungsi, namun jangan lupa kodrat dasar sebagai perempuan. Perempuan nggak harus tomboy ketika mulai punya kesadaran tentang gender. Nggak harus terlihat unggul dari pria di depan umum.” Dia mencontohkan istrinya yang berprofesi sebagai pegawai bank dimana berangkat jam 7 pagi minimal pulang bada magrib, tetapi tidak melupakan fungsinya sebagai istri dan ibu dari dua balita yang masih membutuhkan curahan kasih sayang.
Bagaimanapun pria memandangnya, tentu perempuan memiliki penilaian sendiri atas pribadi masing-masing. Perempuan dan pria memiliki kacamata yang berbeda, sudut pandang yang kadang bertolak belakang, dan pemahaman yang acap kali tak sama.
Meluruskan Emansipasi Salah Arti
Perempuan Indonesia tidak dapat dipandang remeh keberadaannya. Sebut saja Megawati Soekarno Putri yang membuktikannya dengan keberhasilan memangku jabatan RI 1 pasca turunnya Gusdur. Sejak dulu perempuan memang pantas diakui kehebatannya, sebut saja pejuang sekelas Cut Nyak Dien. Perempuan masa kini pun bisa menjadi apa yang mereka inginkan, seperti menteri (Sri Mulyani), profesor (Sulastri Surono, FE-UI), dan pengusaha sekaligus motivator (Wulan Ayodya). Bahkan banyak pula perempuan multitalenta berprofesi ganda di Indonesia, salah satunya Nova Riyanti Yusuf yang merupakan anggota DPR, dokter spesialis jiwa, novelis, sekaligus atlet (Jawa Pos edisi Senin, 17/01/2011).
Perempuan ibarat setangkai bunga beribu makna dimana merupakan simbol kasih sayang. Bunga semakin lama akan menutup pesonanya dengan menjadi layu jika tidak dirawat dengan baik. Begitu pula dengan perempuan, penulis merefleksikannya dengan ungkapan: Jangan biarkan perempuan layu oleh emansipasi yang berlebihan.
Sejenak menelaah konsep emansipasi yang digelorakan oleh perjuangan Kartini, apakah sesuai dengan kondisi masa kini? Sepertinya saat ini telah disalaharti sehingga menempatkan perempuan tidak pada fungsi, kodrat, dan peranan konkritnya. Pada kenyataanya perempuan memang tidak akan pernah sejajar derajatnya dengan pria. Begitu pula dengan pria tidak akan sejajar derajatnya dengan perempuan. Mengutip pernyataan Napoleon Bonaparte, yaitu kemajuan perempuan merupakan ukuran kemajuan negeri dimana dapat menggoyangkan buaya dengan tangan kirinya, namun dapat pula menggoyangkan dunia dengan tangan kanannya. Hal ini tentu menempatkan perempuan pada posisi yang spesial.
Fenomena yang paling sering terjadi adalah perempuan melupakan kodratnya sebagai ibu, bahkan lebih memilih menjadi sosok workaholic women. Dengan mudahnya mengganti peran perempuan sebagai ibu menjadi penggaji pembantu. Bahkan terang-terangan enggan menikah atau memiliki anak untuk melaju bersama karir dalam genggaman. Melalui tulisan sederhana ini, penulis ingin memberi gambaran mengenai perempuan Indonesia yang kurang tepat mengartikan emansipasi dan tentu berharap pembaca (perempuan) dapat meluruskan pola pikir secepat mungkin. Tulisan ini tidak bermaksud mendoktrin bahwa pola pikir perempuan saat ini salah.
Mengutip pernyataan Kartini yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer dalam buku Panggil Aku Kartini Saja, “Bersama-sama hidup mandiri, kami pun akan berjuang keras memajukan, membangkitkan bangsa kami dari kehinaan. Hidup kami kaya akan jasa dan penuh dengan cita-cita.” (30 September 1901). Perempuan era Kartini tidak memiliki kebebasan, dapur menjadi tempat yang dianggap pantas untuk keseharian perempuan sebagai kaum lemah. Eksploitasi tanpa batas dilakukan oleh para bangsawan. Hukum adat dan pengaruh kolonialisme memperburuk kondisi mereka. Kartini terus berjuang, darah bangsawan yang mengalir tidak membuatnya menutup mata melihat ketidakadilan. Akhirnya Kartini berhasil memperjuangkan perempuan untuk mendapatkan pendidikan pada awalnya, hingga lahirnya persamaan-persamaan lain dengan pria.
Kondisi sekarang dengan tempo dimana Kartini berada tentu sangat berbeda.Masa kini yang serba modern telah nyata memberi ruang bagi perempuan untuk melakukan hal yang dulunya hanya bisa dilakukan oleh pria. Meskipun masih juga sering disiarkan oleh media berbagai bentuk penindasan pada perempuan. Perempuan memiliki visi dan tujuan hidup yang jelas dan benar; kepercayaan diri akan kemampuan; juga memiliki harkat dan martabat. Semakin indah dipandang jika perempuan dapat menghormati diri sendiri dengan tidak melakukan emansipasi yang berlebih. Keharusan perempuan untuk mencerdaskan diri sehingga mampu melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai perempuan secara proporsional merupakan emansipasi versi cita-cita Kartini. Saat itu tentu Kartini tidak bermaksud menjadikan perempuan melupakan kodrat sebagai bagian dari tulang rusuk kaum pria, melupakan peran perempuan yang sesungguhnya, lalu menjadi angkuh karena menganggap diri memiliki senjata emansipasi.
Perempuan Bukan Komoditas!!![1]
Mengutip tulisan Arda Dinata (2010), “Perempuan diciptakan Tuhan bukan dari tulang tengkorak pria sehingga hanya bisa menjadi pemikir. Bukan pula dari tulang kaki, yang hanya menurut untuk berjalan. Bukan pula dari tulang tangan yang hanya bisa menengadah dan mengharap belas kasihan. Akan tetapi, perempuan diciptakan dari rongga dada seorang pria atau tulang rusuk dimana seluruh pusat kehidupan dimulai dan harus dilindungi.” Ungkapan yang mengatakan bahwa perempuan adalah tiang negara dan surga berada di bawah telapak kaki ibu yang notabene adalah perempuan jelas menempatkan perempuan menjadi kaum yang istimewa. Satu lagi, perempuan diidentikan pula dengan bidadari dunia karena kecantikannya, kelembutannya, kesantunannya, dan seksi ala 3B (Body, Brain, and Behavior).
Berbagai keistimewaan yang dimiliki oleh perempuan tak jarang disalahgunakan atau lebih tepat dieksploitasi secara berlebihan. Sungguh ironi saat penulis membaca berita bersambung ala Radar Jember yang dimulai pada tanggal 6 Januari 2011 dengan topik Menguak “Bisnis Esek-Esek ‘Ayam Kampus’ di Jember”. Dengan gamblang dan jelas pada artikel, para ayam kampus yang bekerja karena desakan ekonomi bahkan adapula yang menikmati pekerjaannya karena materi berlimpah dari cinta satu malam yang dijalani. Bahkan pada edisi 13 diuraikan bahwa kupu-kupu malam kampus tersebut memiliki ‘germo ayam kampus’ yang ternyata juga masih berstatus mahasiswi universitas di Jember.
Penulis meyakini bahwa fenomena ini tidak hanya terjadi di Jember, tetapi juga kota-kota lainnya di Indonesia sebagaimana pernah diangkat dalam rubrik sosial Majalah Economica edisi 44, BOE Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dimana penulis bernaung. “Di antara hingar bingar kesibukan buku, pesta, dan cinta, masih ada satu cerita lain yang hadir menyelingi hiruk pikuknya kehidupan unik kampus. Mereka nyata dan ada di sekitar kita. Sebagian orang tidak ingin mengambil pusing cerita tentang mereka dan sebagian lain inginkan mencari kepuasan dari mereka,” begitu kutipan pembuka artikel dengan judul Area Abu-Abu, Ayam, dan Kampus pada halaman 7 Majalah Economica Edisi 44.
Metropolis, Jawa Pos (18/01/2011), menguraikan dalam salah satu artikel dengan judul “Dikira Wartawan, Diusir Keluarga Korban” mengenai Solikuniyah, psikolog pendamping korban pemerkosaan dan trafficking. Disebutkan bahwa perempuan yang menjadi korban semakin banyak dimana berusia kurang dari 20 tahun. Tentu sulit untuk menyembuhkan trauma yang dialami korban dan membutuhkan waktu yang tidak singkat, bahkan dari segelintir korban tak jarang yang menjerumuskan diri sebagai kupu-kupu malam permanen karena merasa dirinya terlanjur kotor pasca dijual atau dihinakan.
Ada yang menjerumuskan diri dengan berbagai dalih dan ada yang terjerumuskan dalam profesi yang dianggap oleh masyarakat sebagai profesi sampah. Tentu keberadaan mereka menimbulkan pro-kontra sebagaimana petikan lirik lagu “Kupu-Kupu Malam” ciptaan Titik Puspa yang dipopulerkan oleh Ariel Peterpan, musisi yang menistakan perempuan di titik terendah dengan skandal video porno tidak hanya dengan satu perempuan, “Ada yang benci dirinya. Ada yang butuh dirinya. Ada yang berluntut mencintainya. Adapula yang kejam menyiksa dirinya.”Perempuan yang bekerja dan dipekerjakan selayaknya tuna susila tentu merupakan eksploitasi nyata dimana menjadikan perempuan komoditas murah meriah yang mudah dipindahtangankan.
Tidak hanya berprofesi sebagai penghibur sesaat, seringkali ditemui pula perempuan yang suka rela membuat dirinya sendiri pantas dianggap rendah misalnya dengan bergoyang seronok, memakai pakaian yang sangat minim, dan berlaku genit kepada kaum adam seperti yang dilakoni para remaja dalam masa pencarian jati dirinya, juga para punggawa layar kaca.
Seorang mengatakan pada penulis, “perempuan itu layaknya pajangan di toko. Bisa terlihat mewah dan diinginkan jika berada dalam etalase tertutup dan harganya pasti akan mahal. Beda dengan pajangan yang berada di luar dan bisa disentuh oleh semua pembeli yang biasanya akan dihargai jauh lebih murah.” Namun tentunya apa yang dinyatakan oleh orang tersebut tidak membenarkan perempuan yang selama ini diperjualbelikan layaknya komoditas.
Perempuan bukan komoditas. Komoditas ekonomi yang seringkali dibarter dengan beberapa lembar ratus ribu rupiah. Komoditas politik yang menjadi magnet penarik massa terutama saat pemilu berlangsung dimana perempuan menjadi ikon panggung penghibur. Komoditas sosial yang termakan oleh globalisasi sehingga menggunakan pakaian tak layak guna. Bukan pula sebagai komoditas budaya dimana menggunakan konsep tradisional, dikekang oleh pria dan hidup tanpa kebebasan. Perempuan laksana berlian jika diasah dengan benar dan dapat pula menjadi arang jika dibiarkan hidup dalam kenistaan.
Depok, 16 Februari 2011. Pukul 22.57.
[1] Modifikasi, sebelumnya dimuat dalam Jawa Pos Edisi Senin, 7 Februari 2011 pada rubrik Jawa Pos For Her 500 Kata ke Amerika dengan judul : Perempuan Bukan Komoditas.
No comments:
Post a Comment