20110423

Potret Pekerja Anak di Indonesia Semakin Membudaya

Rumah gedong di salah satu perumahan daerah Halim Perdana Kusuma ternyata menyimpan kisah bocah yang tengah beranjak dewasa, namun terpaksa harus mengubur mimpinya untuk bersekolah demi lima lembar ratusan ribu rupiah.
Namanya Ika. Usianya belum genap 15 tahun. Lulusan SMP negeri di salah satu kecamatan yang tidak tersohor di Jawa Timur. Kecamatan Gentong. Sekarang, dia menempati kamar berukuran 2 x 2 dengan kipas angin kecil pereda gerah di Jakarta. Satu dua minggu jauh dari orangtua masih membuat bulir-bulir bening mengalir dari kedua mata setiap malamnya. Dalam keheningan malam hanya satu yang terus dia tanyakan, “nyapo aku neng kene?”
Tentu Ika berbeda, dia tidak hanya harus jauh dari orangtua. Titelnya seusai lulus SMP bertambah, pembantu rumah tangga.
“Sebenere pengen sekolah, mbak. Tapi disuruh kerja, ndak boleh sekolah. Ya sudah akhirnya ikut kesini. Tapi kangen mbak, kangen sama simbok dan bapak. Ndak bisa telpon juga. Tambah kangen rasane mbak.” Ujar Ika dengan polosnya. Matanya mulai berkilauan pertanda gerimis akan datang.
Aku hanya bisa terdiam. Lalu mencoba memberinya semangat. Namun jauh dari dalam lubuk hati, rasanya aku pribadi tidak sanggup menjadi seorang Ika. Ika dan mungkin ratusan Ika lainnya merupakan anak-anak di Indonesia yang hebat, menjadi penopang hidup keluarga di usia belasan. Membanting tulang demi memberi makan bapak dan simbok di desa. Mengorbankan niat sekolah demi tujuan yang dianggap lebih mulia. Tidak peduli dengan rindu pada desa. Persetan dengan yang namanya cita-cita. Yang penting, ada uang untuk menjaga nyala dunia mereka.
Pilu ini rasanya semakin memburu. Dua bocah penjaja koran dan seorang bocah kecil yang tengah mencari ladang penghasilan. Perbincangan mereka yang menyayat nuraniku sebagai seorang mahasiswa. Namun, tidak satu pun upaya bisa aku lakukan. Aku hanya seorang mahasiswa tahun kedua yang masih bertumpu pada uang orangtua. Terlebih lagi, aku bukan seorang Gayus Tambunan atau Malinda Dee yang menyimpan miliaran rupiah, juga bukan anak orang kaya yang terbiasa hidup mewah.
Dalam sebuah perjalanan pulang dengan bus kuning Universitas Indonesia, bukan sekali dua kali aku melihat mereka masih memangku puluhan koran yang belum terjual. Ada yang memaksa, ada yang pasrah. Mereka menegadah pada para mahasiswa yang mungkin tidak sempat memikirkan harus membeli koran setiap hari karena bangku kuliah tidak hanya memakan ratusan ribu rupiah.
“… Tapi kalau jadi penjual koran itu resikonya besar. Kan bisa ga laku kayak gini,” seorang dari ketiga bocah itu menunjukkan setumpuk korannya. “Tapi biasanya dapat tujuh puluh ribu, terus yang empat puluh disetor ke lopernya.”
“Ngambilnya dimana ya?” Tanya bocah satunya
Bocah lainnya mencoba menjelaskan, “noh banyak di stasiun… Tapi, saingannya banyak sekarang, pada cari duit buat sekolah.”
Lalu sang bocah penanya tadi turun di halte setelah mengucap terima kasih pada kedua teman barunya. Selepas itu, kedua bocah yang masih tersisa di bus kembali membahas hal yang sama. Nurani ini rasanya terus menyelidik, aku pun memberanikan diri bertanya apa yang sebenarnya mereka bahas.
Seorang dari mereka mencoba menjelaskan padaku. “Jadi begini kak, bocah tadi noh lagi cari kerja. Rumahnya di Bogor. Dari siang tadi dia muter-muter cari kerja kagak dapet, kasian banget tuh bocah kagak boleh pulang sama emaknya kalau belom dapet kerjaan. Emaknya kagak kerja. Jahat banget emaknya… Mana lagi dia nggak punya uang, mau kasih tapi takut nggak cukup buat setoran koran, Kak.”
Rasanya perasaan emosional ini semakin tidak tertahankan. Tapi, lagi dan lagi tidak ada yang bisa aku lakukan untuk calon pekerja di bawah umur tadi. Aku hanya bisa mengulum perih, lalu membeli satu koran mereka atas rasa terima kasih karena mereka sudah mau berbagi duka denganku meskipun aku (tetap) tak bisa berbuat apa-apa.
Dalam perjalanan pulang seusai melakukan observasi di sekitar pintu air Manggarai, kembali dua bola mata ini menyaksikan potret pekerja anak yang semakin membudaya. Hari ini, 22 April 2011 sekitar jam dua siang di Stasiun Manggarai.
Kuping ini rasanya panas mendengar seorang wanita paruh baya mengeluarkan kalimat makian pada dua orang bocah. Seorang bocah lelaki berkaos biru meminta dibelikan permen berwarna merah seharga seratus rupiah dan disebelahnya bocah perempuan berdaster hitam menginginkan hal yang sama. Kalau boleh menebak, usia mereka sekitar empat dan enam tahun. Akhirnya wanita itu pasrah menuruti keinginan dua bocah, “Udah sono lo ambil satu habis ntu lo pergi aja ke Bandung…” Sederet kalimat makian diucapkannya. Mereka bertiga menggunakan pakaian lusuh dan berprofesi sebagai peminta-minta.
Beberapa menit kemudian datang seorang anak dengan ibunya membawa karung cokelat berisi kaleng, botol, dan semacamnya. Mereka mendekati bak sampah satu per satu. Penampilan anak dan ibu ini terlihat lebih miris dibandingkan ibu dengan dua bocah sebelumnya. Beberapa menit kemudian mereka berdua menghilang dari pelupuk mata. Mungkin tengah mencari bak sampah lainnya yang menjanjikan beberapa ribu rupiah.
Datang seorang bocah. Berkaos kuning dan bercelana hitam garis-garis. Penampilannya tak terawat dan ingusan. Dia menghampiri dua bocah yang baru saja dimaki ibunya. Mereka bertiga pun menyusuri deretan bangku stasiun yang menyisakan botol atau plastik air minum. Memungutnya satu per satu. Tak lama dari itu, terjadi pertengkaran kecil memperebutkan barang bekas yang berharga menurut mereka.
Mungkin bagi para bocah itu, bekerja adalah biasa. Hidup adalah bermain di sekitar rel kereta. Tawa datang saat ada barang bekas yang bisa ditemukan. Dan kehidupan seolah tidak akan pernah terlepas dari menengadahkan tangan atau memohon belas kasih orang.
Sepertinya aku mulai lelah untuk bercerita tentang mereka, para pekerja anak di Indonesia. Aku mulai lelah mengobral kesedihan tentang mereka tanpa suatu perbaikan yang bisa aku lakukan. Aku bukan tidak mau melakukan sesuatu, namun aku tidak mampu. Terus bercerita membuatku berpikir bahwa pemerintah seolah menutup mata dan telinga mengenai nasib mereka, pekerja anak. Seolah melegalkan keberadaan pekerja anak, bukti salah satu praktek pembodohan bangsa yang terus dilakukan pemerintah setelah deretan pembodohan lainnya. Rasa-rasanya aku tidak perlu menyebutkan, kalian pasti sudah tau.
Mana yang namanya komisi perlindungan anak? Mana juga yang namanya amanat pemerintah di Pasal 34 UUD 1945? Semua hanya sekedar bualan!!! Tidak ada yang namanya perlindungan untuk anak-anak di Indonesia. Realita menunjukkan potret pekerja anak di Indonesia yang semakin membudaya.
Hhhhh… sepertinya aku tidak bisa terus menyalahkan pemerintah. Mungkin mereka bukan lagi hanya tanggung jawab pemerintah. Mungkin pemerintah merasakan apa yang aku rasakan, mau tetapi tidak mampu berbuat bagi para pekerja cilik itu. Sudahlah, aku akhiri saja cerita ini. Ratusan lembar tulisanku mungkin tidak akan pernah merubah nasib anak-anak berotot dewasa itu. Mungkin saat aku bisa menjadi seseorang nanti, memiliki jabatan yang disanjung dan dipuji, aku akan bisa melakukan sesuatu yang berarti.

Oleh : Alia Noor Anoviar
Depok, 22 April 2011. 18.15

No comments: