20140430

Dinner with Scholar CIMB Niaga 09/10 :D





Menjadikan Aktif dan Berkarya sebagai Gaya Hidup Perempuan!

Seringkali saya mendapatkan pertanyaan yang sama, tidak hanya sekali dua kali atau hitungan jari. Baiklah saya akan mencoba menjawabnya melalui tulisan ini ya sehingga ketika ada yang bertanya lagi bisa saya minta langsung membuka blog ini karena kadang keterbatasan ruang dan waktu membuat saya tidak bisa menjelaskan dengan detail sesuai harapan penanya :)

Pertanyaan-pertanyaan yang sering muncul itu seperti misalnya...

"Kak, saya kan perempuan dan kalau terlalu aktif nanti jadi tidak seperti perempuan. Kenapa kakak kok ngelakuin ini itu?"
"Gimana sih cara kamu ngelakuin semua kegiatan? Kayaknya nggak ada habisnya, emang nggak capek ya?"
"Aduh  jadi cewek aktif banget, awas lho ntar nggak punya suami. Nggak takut?"
 "Motivasi kakak sebenarnya apa ya ketika melakukan berbagai kegiatan?"
 "Pernah istirahat nggak sih? Weekdays di kantor terus weekend di luar terus..." 

Dan masih banyak pertanyaan-pertanyaan lainnya yang intinya adalah kenapa kok bisa aktif?
Sejak kecil saya bukan termasuk anak yang aktif, cenderung penakut dan sangat tertutup. Saya lahir di Surabaya dengan latar belakang orangtua dari Ngawi, lalu sempat tinggal di Probolinggo dan besar di Jember. Lingkungan saya hanya berkisar rumah dan sekolah, juga tempat les mengaji, mata pelajaran, dan sempoa. Saat SD saya pernah dikirim mengikuti seleksi siswa teladan, namun gagal karena belum setengah perjalanan saya mengalami sakit perut yang sangat menganggu dan terpaksa pulang. Sejak itu saya tidak punya kepercayaan diri untuk mengikuti kompetisi apapun, sejak itu juga guru-guru saya tidak pernah percaya mengirim saya untuk lomba apapun. Lomba siswa teladan itu saya pikir akan menjadi lomba pertama dan terakhir seumur hidup saya.

Many of life's failures are people who did not realize how close they are were to success when they gave up - Thomas A. Edison

Sayangnya saya tidak pernah membaca quote tersebut ketika masih SD sehingga saya sudah terpuruk sendiri dalam pikiran-pikiran negatif saya bahwa kalau lomba pasti sakit perut. Akhirnya saya yang tadinya tertutup menjadi semakin tertutup, saya merasa sangat bersalah karena tidak bisa juara saat itu. Perasaan itu saya bawa dari kelas 4 SD sampai akhirnya lulus sekolah dasar. Saya tidak suka bermain dengan anak-anak seumuran saya, lebih suka menyibukkan diri dengan buku-buku pelajaran agar bisa menjadi salah satu yang terbaik di kelas --- peringkat kelas penting sekali bagi saya saat itu.

Beranjak semakin berusia, dari Jember ke Ngawi. Saya pun memasuki bangku SMP, situasi yang sangat berbeda dengan ketika SD. Semua orang di sekeliling saya menggunakan bahasa jawa, sementara di SD dulu mayoritas berbahasa madura. Saya tidak mengenal satu pun dari isi kelas, sementara teman-teman saya sudah berkelompok sesuai SD-nya dulu. Jujur saya sangat takut berada di lingkungan yang baru, asing. Saya mulai coba memberanikan diri duduk di dua kursi paling belakang dan berkenalan dengan beberapa orang. Mereka menyambut ajakan berteman saya dengan baik, diam-diam saya mulai lega. Punya setidaknya beberapa teman di hari pertama cukup baik dibandingkan tidak sama sekali. 

Saya merasa menjalani kehidupan luar biasa selama 3 tahun tersebut. Dulu saya dibilang 'orang paling nggak peka sedunia' karena apapun yang terjadi di sekitar saya asalkan tidak berpengaruh dalam kehidupan saya maka tidak akan menimbulkan reaksi apapun pada diri saya. Saking cueknya itu mungkin saya nggak punya teman, dulu ketika SD saya sangat idealis dan tidak mau memberikan contekan kepada teman bahkan tidak mau menunjukkan PR saya untuk disalin (waktu itu saya bertugas memeriksa PR setiap hari dan saya harus melaporkan kepada Bu Guru apakah ada yang tidak mengerjakan PR). Saat di SMP saya membentuk peer group bersama Mita, Siska, Nanda, Yasmine, Roza, dan Nani. Peer group saya saat itu cukup dikenal tidak hanya di kalangan teman sejawat, tapi juga kakak kelas dan guru-guru. Saya belajar banyak hal dari 3 tahun ini, bukan hanya karena terpisah dengan orangtua dan merasakan kehidupan sebagai anak kos, tapi juga bagaimana saya harus bisa bersosialisasi dengan baik bersama teman-teman dan orang-orang di sekitar lingkungan saya. Akhirnya saya belajar bahwa nilai bukan segalanya.

Saya menemukan diri saya yang sebenarnya dalam 3 tahun perjalanan ini. Peer group saya sangat membantu dalam proses tersebut. Sampai sekarang kami masih saling mengkontak, beberapa kali bertemu. Berbeda profesi tidak membuat kami jauh, jarak dan waktu bukan penghalang silahturahmi bagi kami. Sekarang ada yang menjadi dokter, dokter hewan, bidan, ahli kimia, dan dua dari kami menjadi banker. Saya menemukan diri saya yang sebenarnya, saya juga mulai berani berbicara di depan umum, saya mulai mencoba hal-hal baru yang menantang, saya belajar bagaimana menjaga pertemanan lebih dari sekedar memperoleh keuntungan. Saya menikmati kehidupan saya saat itu, meskipun tidak ada kehidupan yang tidak diwarnai dengan suka-duka-tawa-tangis-dan lain-lainnya. Saya belajar pertama kali untuk berani menunjukkan tulisan-tulisan saya kepada peer group saya, mereka selalu mengapresiasi dan memberikan saran perbaikan. Proses hidup mengajarkan pada saya seberapa penting mereka dalam perjalanan hidup saya, membentuk diri saya yang sekarang.

"I don't feel much like Pooh today," said Pooh.
"There there..." said Piglet. "I'll bring you tea and honey until you do."
 -A.A. Milne, Winnie The Pooh-

Saya kembali ke Jember saat SMA. Kembali suasana yang baru, namun bedanya saya mengenal beberaapa wajah teman SD saya saat berada di SMA. Saya berjilbab pertama kali di kelas 1 SMA, saat resmi diterima di SMA Negeri 1 Jember ketika itu. Saya masuk ke kelas X-3 yang terkenal sangat ramai diantara kelas lainnya. Lalu saya masuk IPS karena saya suka ekonomi-akuntansi saat itu. Ketika kelas 2 SMA, saya mencoba kompetisi akuntansi yang diadakan oleh STAN. Benar kejadian itu terulang, saya sakit perut di tengah perjalanan. Saya pun gagal dan membuat tim saya gagal.

Tugas kita bukanlah untuk berhasil. Tugas kita adalah untuk mencoba, karena di dalam mencoba itulah kita menemukan dan belajar membangun kesempatan untuk berhasil - Mario Teguh.

Tapi kali itu saya mencoba tidak menyerah. Saya mengikuti satu persatu kompetisi ekonomi-akuntansi-penulisan ilmiah dan Alhamdulillah sedikit demi sedikit saya memetik hasilnya. Rutinitas saya tidak membuat saya menjadi tidak memiliki teman seperti di SD, saya justru bisa mendapatkan banyak teman bahkan dari berbagai daerah di Indonesia. Beberapa karya saya selama SMA dapat dibaca disini : LinkedIn Alia Noor Anoviar

Setiap bulan saya mendapatkan teman-teman baru, datang ke tempat yang baru, berkreasi dengan penelitian-penelitian yang baru. Saya merasa menjadi semakin hidup! Sampai akhirnya pasca SMA saya memutuskan kuliah di FEUI dan mengambil Manajemen dengan konsentrasi Manajemen Sumber Daya Manusia. Saya kembali dapat belajar hal baru, pengalaman seru dan menantang, teman-teman yang lebih beragam. Masih menekuni dunia tulis menulis, semua tentang jurnalistik saya coba pelajari di Badan Otononom Economica FEUI, masih juga mengikuti kompetisi namun mulai beralih ke ranah sosial-politik-ekonomi. Mulai berani menulis di koran, lalu kumpulan esai dalam buku, jurnal-jurnal nasional dan internasional. Lama-lama saya mulai merasa bahwa bukan 'menulis' yang menggerakkan saya untuk terus menulis, tapi kesempatan travelling dan bersosialisasi yang membawa saya ke tempat-tempat baru dengan orang-orang baru menjadi motivasi terbesar mengapa saya harus terus menulis dan meneliti. Ini link album-album foto selama saya menjalani berbagai rutinitas di tingkat perguruan tinggi : Facebook Alia Noor Anoviar

Saya paling suka ketika mendapat kesempatan sekedar menjadi asisten dosen, asisten peneliti, asisten konsultan hahahaaaa meski kadang cuma mengerjakan hal-hal administratif, tapi lebih banyak yang benar-benar terlibat aktif dalam penyusunan buku misalnya. Saya pernah jadi SPG produk bank dan sabun herbal, saya suka menjalani semua itu meskipun mungkin uangnya tidak seberapa karena tidak semua hal bisa dinilai dengan uang atau materi. Hal paling penting saat melakukan sesuatu adalah ANTUSIASME diri kita sendiri.

Nothing great was ever achieved without enthusiasm - Emerson

Hal yang paling terasa saat kita bisa terlibat aktif dalam berbagai kegiatan adalah menemukan SPECIAL CIRCLE yang pasti tidak semua orang bisa memasukinya. Ketika saya mulai aktif di SMA untuk jurnalistik maka saya bisa memasuki circle jurnalis, bertemu dengan orang-orang yang hari-harinya dimanfaatkan untuk mendapatkan berita-berita sesuai bidangnya, mendengarkan pengalaman lapangan mereka, lalu membaca karya-karya mereka dalam rangkaian kata atau melihat karya mereka dalam layar kaca. Lalu ketika saya mulai aktif menulis, saya memasuki circle penulis yang lebih suka mengungkapkan perasaannya melalui kata, mereka yang terus berusaha hidup tanpa banyak bicara secara verbal. Dan saya memasuki circle lainnya, mereka yang gemar dengan kompetisi dan mungkin berkompetisi menjadi gaya hidup mereka; entah menang atau kalah tapi mencoba sebaik mungkin membuktikan kompetensi diri. Selanjutnya saya memasuki circle teman-teman dari internasional ketika exchange atau mengikuti kegiatan lainnya di luar. Melihat bagaimana budaya, bahasa, dan banyak hal berbeda antara saya dan mereka. Itu sangat menyenangkan! Saya terus berjalan dan mencari circle apalagi yang bisa saya masuki, dunia aktifis kampus dengan hingar bingar perjuangan, idealisme ala anak muda yang membuat saya tertantang untuk punya semangat perjuangan yang sama. Lalu circle para sociopreneur melalui Dreamdelion, change makers, business, dan mengkreasikan kolaborasi swasta-pemerintah-NGO-masyarakat yang super seruuuuuuuuuuuuuuu! Dan sekarang saya memasuki circle baru, dunia para bankers yang totally different dengan circle-circle yang saya masuki sebelumnya.

Pada akhirnya saya ingin bicara bahwa menjadikan aktif dan berkarya sebagai gaya hidup (LIFESTYLE) adalah sebuah keharusan. Lelah itu memang terasa tapi rasa senangnya mengalahkan. Terutama bagi perempuan (sekali lagi bukannya mau main gender ya), kita nantinya akan menjadi pendidik, membangun peradaban, pencipta karya-karya hebat, dan orang-orang yang akan merawat calon penerus bangsa ini agar bisa menjadi bangsa yang hebat. 

Keren nggak sih saat kita sebagai perempuan bisa menceritakan kepada anak-anak kita nanti bukan cerita tentang cinderella, snow white, atau film-film kartun? Namun kita bisa menceritakan tentang kehidupan nyata, perjalanan-perjalanan hebat, pengalaman-pengalaman dengan berbagai nilai di dalamnya, dan segala sesuatu yang memang kita alami, bukan hanya bersumber dari buku atau cerita orang lain. Sepertinya sangat indah dan tidak mudah melakukannya, tapi saya optimis bahwa kita (perempuan) bisa! Kita (perempuan) pasti bisa menjadikan aktif dan berkarya sebagai gaya hidup untuk membangun peradaban yang lebih baik lagi bagi generasi masa depan. #PerempuanHarusOptimis!


Karakteristik istimewa peradaban modern adalah tak terbatasnya bermacam-macam keinginan manusia. Karakteristik peradaban kuno adalah larangan keras dan aturan tegas terhadap keinginan-keinginan itu - Mahatma Gandhi

Ditulis Oleh :

Alia Noor Anoviar 







Ternyata Saya Orang 'ENTJ'

Iseng-iseng mengikuti tes online kepribadian beberapa hari lalu, ketika ada seseorang yang memberi tau tipe kepribadiannya berdasarkan tes MBTI (Myers-Briggs Type Indicator). Nah buat yang mau tau apa itu MBTI bisa lihat pada link ini : What is MBTI?


Personality represent those characteristic of the person that account for consistent pattern of feeling, thinking, and behaving - Pervin (2000)

Nah indikator-indikator dalam MBTI sendiri tergambarkan pada tabel gambar di atas. Saya ternyata bertipe kepribadian ENTJ (Extrovert, Intuition, Thinking, Judging).


82 % dominasi Extrovert dalam ENTJ pada diri saya sepertinya memang sangat benar. Saya menulis ini secara subjektif ya hehe jadi mungkin tidak semua extrovert berperilaku atau bersikap seperti ini, juga tidak semua orang dengan tipe ENTJ seperti apa yang saya tuliskan.

Ada beberapa hal yang saya suka dan tidak suka, mungkin ini dipengaruhi oleh tipe kepribadian saya haha banyak kata 'mungkin' :3

Pertama, saya sangat suka berada dalam lingkungan yang berkelompok, mengandalkan kerjasama, cerita. Ketika kondisi-kondisi tersebut tidak bisa saya dapatkan maka biasanya saya yang akan mencoba menghidupkan suasana, meskipun kadang garing krik krik krik... Karena itu mungkin saya merasa hidup ketika ada dalam sebuah komunitas, bertemu dengan beragam orang. Pernah dalam satu hari saya ganti baju berulang kali karena harus menemui orang-orang berbeda, mulai dari yang ada di bantaran kali sampai dengan hotel bintang lima. Buat saya hal-hal seperti itu sangat menyenangkan dan menggambarkan diri saya yang sebenarnya, hahaaa mungkin ini juga dipengaruhi karena saya suka travelling dan nggak betah kalau cuma di rumah.

Kedua, saya cukup mudah berinteraksi dengan orang-orang baru, beradaptasi dengan sangat cepat kepada orang-orang yang bahkan tidak saya kenal sebelumnya, dan seringkali sok kenal hahaha... Tapi saya bisa jadi orang paling diam dan salah tingkah pada situasi tertentu. Pada situasi tertentu saya akan mengejar jawaban yang saya tidak tau dan saya akan terus bertanya "Mengapa?" sampai mendapatkan jawabannya. Rasa kepo saya cukup berlebihan, dari kecil saya suka jadi detektif hingga akhirnya menyalurkan potensi itu (cieeee potensi kepo maksudnya) melalui kegiatan jurnalistik. 

Ketiga, saya seringkali merasa tidak enak dan seringkali merasa bersalah meski kadang-kadang saya tidak tau apa salah saya. Meskipun katanya saya itu berkepribadian 'Thinking', namun pada prakteknya saya lebih mengandalkan 'Feeling'. Saya lebih suka mengandalkan kata hati atau firasat dibandingkan menuruti kemana logika berjalan. Cara berpikir saya cukup kompleks, sangat memperhatikan detail, namun lagi lagi sangat memperhatikan dampak dari apa yang saya lakukan pada perasaan orang lain -saya sendiri tipikal orang yang sangat sensitif sehingga saya mengasumsikan semua orang juga sesensitif saya- hahahaaaa

Keempat, saya selalu berpikir tentang masa depan nah kata orang lain sih saya visioner. Saya berpikir bahwa setiap pertanyaan itu harus ada jawabannya, pun begitu dengan masa depan tentu bukan perihal yang sederhana sehingga harus benar-benar dipikirkan. Saya suka berpikir tentang hal-hal yang luas lalu membuat strategi untuk bisa mencapai hal-hal yang luas itu dengan detail yang sangat matang dan rapi. Dan saya suka ditantang, suka melakukan hal-hal yang orang berpikir saya tidak bisa melakukannya. Kompetisi sejak SMA, masuk ke FEUI, dapat beasiswa CIMB Niaga, Dreamdelion, dan masih banyak hal lainnya bermula dari kalimat "Memangnya kamu bisa?" Ya saya sangat suka kalimat tantangan itu, rasanya bisa nambah energi saya berkali-kali lipat.

Kelima, saya ambisius tapi realistis. Sifat yang satu ini seringkali membuat orang-orang di sekeliling saya merasa tidak nyaman dan terintimidasi. Meskipun kalau boleh membela diri, saya selalu punya alasan ketika berambisi dan selalu mencari tau bagaimana strategi untuk mencapai ambisi --- mungkin lebih baik disebut dengan mimpi. 

Hahahaaa setelah menulis sepanjang ini saya baru sadar, ngapain banget saya nulis ini ya? -_- LOL 



Dalam sebuah ruang imajinasi,

Alia Noor Anoviar

20140417

Memandang Perempuan dari Kacamata Pria

Ada yang mengatakan bahwa kita tidak dapat menilai diri kita secara pribadi. Yang dapat menilai tentang kita adalah orang lain seperti teman, orang tua, pacar, atau tetangga. Apakah hal ini juga berlaku pada perempuan? Dalam artian perempuan tidak bisa memberikan kesan yang proporsional terhadap makna perempuan. Perempuan seringkali memandang dirinya dan sesamanya sebagai sosok yang tanpa cela, padahal nobody is perfect. Jika ada pernyataan yang mendiskreditkan kaum mereka, misalnya anggapan bahwa perempuan itu matrealistis, maka mereka langsung berusaha mengelak dengan memberikan pernyataan bandingan yang membuat sekelilingnya berpikir ulang, “perempuan tidak matrealistis, tetapi realistis.” Dan yang sering penulis temukan dalam dunia nyata saat perempuan telah berani mendua, gender dengan populasi lebih besar daripada pria di dunia ini dapat menjawab dengan entengnya, “kan sekarang jaman emansipasi. Pria saja bisa punya 4 istri, kenapa perempuan tidak?” Jika ada yang lebih memikirkan karir dan menunda-nunda untuk menjalankan sunah Nabi Muhammad SAW, mereka pun memiliki alasan yang dirasa tepat dimana tidak ingin bergantung pada pria pasca menikah nanti sehingga sekarang membanting tulang dan memeras keringat demi mengejar materi.

Lalu bagaimana pria memandang sosok yang konon merupakan salah satu dari kelemahan darinya. Santer terdengar ada 3A yang dapat menjatuhkan para adam entah benar entah salah, yaitu hartA, tahtA, dan wanitA. Penulis mencoba menanyakan kepada dua pria dari profesi dan asal usul yang berbeda untuk memberikan pendapat mengenai perempuan pasca emansipasi dan bagaimana perempuan yang lebih suka berkarir daripada memikirkan keluarga dari kacamata pria.

Dimas Bagus Farizky, Bandar Lampung, Mahasiswa UNDIP. “Sekarang perempuan lebih kelihatan berkarakter dan kemampuannya nggak cuma di rumah, masak dan jaga anak. Tapi ya jangan sampai kebablasan aja mau ngelebihin pria. Kan kodratnya pelayan suami. Perempuan yang harus dibasmi itu kalau perempuan lebih suka karir daripada mikirin keluarga.”
Yakub Utama, Solo, Dosen ATMI. “Perempuan itu dianugerahi Tuhan posisi krusial sebagai co creator atau asisten dalam penciptaan di dunia ini. Maka fungsi ini tidak boleh dilupakan. Dalam kaitan itu segala atribut lain yang dikejarnya seperti karir dan seterusnya tidak boleh meninggalkan kesadaran akan fungsi tersebut. Pria dan perempuan bisa sama dalam hal emansipasi fungsi, namun jangan lupa kodrat dasar sebagai perempuan. Perempuan nggak harus tomboy ketika mulai punya kesadaran tentang gender. Nggak harus terlihat unggul dari pria di depan umum.” Dia mencontohkan istrinya yang berprofesi sebagai pegawai bank dimana berangkat jam 7 pagi minimal pulang bada magrib, tetapi tidak melupakan fungsinya sebagai istri dan ibu dari dua balita yang masih membutuhkan curahan kasih sayang.

Bagaimanapun pria memandangnya, tentu perempuan memiliki penilaian sendiri atas pribadi masing-masing. Perempuan dan pria memiliki kacamata yang berbeda, sudut pandang yang kadang bertolak belakang, dan pemahaman yang acap kali tak sama.

Meluruskan Emansipasi Salah Arti

Perempuan Indonesia tidak dapat dipandang remeh keberadaannya. Sebut saja Megawati Soekarno Putri yang membuktikannya dengan keberhasilan memangku jabatan RI 1 pasca turunnya Gusdur. Sejak dulu perempuan memang pantas diakui kehebatannya, sebut saja pejuang sekelas Cut Nyak Dien. Perempuan masa kini pun bisa menjadi apa yang mereka inginkan, seperti menteri (Sri Mulyani), profesor (Sulastri Surono, FE-UI), dan pengusaha sekaligus motivator (Wulan Ayodya). Bahkan banyak pula perempuan multitalenta berprofesi ganda di Indonesia, salah satunya Nova Riyanti Yusuf yang merupakan anggota DPR, dokter spesialis jiwa, novelis, sekaligus atlet (Jawa Pos edisi Senin, 17/01/2011).
Perempuan ibarat setangkai bunga beribu makna dimana merupakan simbol kasih sayang. Bunga semakin lama akan menutup pesonanya dengan menjadi layu jika tidak dirawat dengan baik. Begitu pula dengan perempuan, penulis merefleksikannya dengan ungkapan: Jangan biarkan perempuan layu oleh emansipasi yang berlebihan.

Sejenak menelaah konsep emansipasi yang digelorakan oleh perjuangan Kartini, apakah sesuai dengan kondisi masa kini? Sepertinya saat ini telah disalaharti sehingga menempatkan perempuan tidak pada fungsi, kodrat, dan peranan konkritnya. Pada kenyataanya perempuan memang tidak akan pernah sejajar derajatnya dengan pria. Begitu pula dengan pria tidak akan sejajar derajatnya dengan perempuan. Mengutip pernyataan Napoleon Bonaparte, yaitu kemajuan perempuan merupakan ukuran kemajuan negeri dimana dapat menggoyangkan buaya dengan tangan kirinya, namun dapat pula menggoyangkan dunia dengan tangan kanannya. Hal ini tentu menempatkan perempuan pada posisi yang spesial.

Fenomena yang paling sering terjadi adalah perempuan melupakan kodratnya sebagai ibu, bahkan lebih memilih menjadi sosok workaholic women. Dengan mudahnya mengganti peran perempuan sebagai ibu menjadi penggaji pembantu. Bahkan terang-terangan enggan menikah atau memiliki anak untuk melaju bersama karir dalam genggaman. Melalui tulisan sederhana ini, penulis ingin memberi gambaran mengenai perempuan Indonesia yang kurang tepat mengartikan emansipasi dan tentu berharap pembaca (perempuan) dapat meluruskan pola pikir secepat mungkin. Tulisan ini tidak bermaksud mendoktrin bahwa pola pikir perempuan saat ini salah.

Mengutip pernyataan Kartini yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer dalam buku Panggil Aku Kartini Saja, “Bersama-sama hidup mandiri, kami pun akan berjuang keras memajukan, membangkitkan bangsa kami dari kehinaan. Hidup kami kaya akan jasa dan penuh dengan cita-cita.” (30 September 1901). Perempuan era Kartini tidak memiliki kebebasan, dapur menjadi tempat yang dianggap pantas untuk keseharian perempuan sebagai kaum lemah. Eksploitasi tanpa batas dilakukan oleh para bangsawan. Hukum adat dan pengaruh kolonialisme memperburuk kondisi mereka. Kartini terus berjuang, darah bangsawan yang mengalir tidak membuatnya menutup mata melihat ketidakadilan. Akhirnya Kartini berhasil memperjuangkan perempuan untuk mendapatkan pendidikan pada awalnya, hingga lahirnya persamaan-persamaan lain dengan pria.

Kondisi sekarang dengan tempo dimana Kartini berada tentu sangat berbeda.Masa kini yang serba modern telah nyata memberi ruang bagi perempuan untuk melakukan hal yang dulunya hanya bisa dilakukan oleh pria. Meskipun masih juga sering disiarkan oleh media berbagai bentuk penindasan pada perempuan. Perempuan memiliki visi dan tujuan hidup yang jelas dan benar; kepercayaan diri akan kemampuan; juga memiliki harkat dan martabat. Semakin indah dipandang jika perempuan dapat menghormati diri sendiri dengan tidak melakukan emansipasi yang berlebih. Keharusan perempuan untuk mencerdaskan diri sehingga mampu melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai perempuan secara proporsional merupakan emansipasi versi cita-cita Kartini. Saat itu tentu Kartini tidak bermaksud menjadikan perempuan melupakan kodrat sebagai bagian dari tulang rusuk kaum pria, melupakan peran perempuan yang sesungguhnya, lalu menjadi angkuh karena menganggap diri memiliki senjata emansipasi.
Perempuan Bukan Komoditas!!![1]

Mengutip tulisan Arda Dinata (2010), “Perempuan diciptakan Tuhan bukan dari tulang tengkorak pria sehingga hanya bisa menjadi pemikir. Bukan pula dari tulang kaki, yang hanya menurut untuk berjalan. Bukan pula dari tulang tangan yang hanya bisa menengadah dan mengharap belas kasihan. Akan tetapi, perempuan diciptakan dari rongga dada seorang pria atau tulang rusuk dimana seluruh pusat kehidupan dimulai dan harus dilindungi.” Ungkapan yang mengatakan bahwa perempuan adalah tiang negara dan surga berada di bawah telapak kaki ibu yang notabene adalah perempuan jelas menempatkan perempuan menjadi kaum yang istimewa. Satu lagi, perempuan diidentikan pula dengan bidadari dunia karena kecantikannya, kelembutannya, kesantunannya, dan seksi ala 3B (Body, Brain, and Behavior).

Berbagai keistimewaan yang dimiliki oleh perempuan tak jarang disalahgunakan atau lebih tepat dieksploitasi secara berlebihan. Sungguh ironi saat penulis membaca berita bersambung ala Radar Jember yang dimulai pada tanggal 6 Januari 2011 dengan topik Menguak “Bisnis Esek-Esek ‘Ayam Kampus’ di Jember”. Dengan gamblang dan jelas pada artikel, para ayam kampus yang bekerja karena desakan ekonomi bahkan adapula yang menikmati pekerjaannya karena materi berlimpah dari cinta satu malam yang dijalani. Bahkan pada edisi 13 diuraikan bahwa kupu-kupu malam kampus tersebut memiliki ‘germo ayam kampus’ yang ternyata juga masih berstatus mahasiswi universitas di Jember.
Penulis meyakini bahwa fenomena ini tidak hanya terjadi di Jember, tetapi juga kota-kota lainnya di Indonesia sebagaimana pernah diangkat dalam rubrik sosial Majalah Economica edisi 44, BOE Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dimana penulis bernaung. “Di antara hingar bingar kesibukan buku, pesta, dan cinta, masih ada satu cerita lain yang hadir menyelingi hiruk pikuknya kehidupan unik kampus. Mereka nyata dan ada di sekitar kita. Sebagian orang tidak ingin mengambil pusing cerita tentang mereka dan sebagian lain inginkan mencari kepuasan dari mereka,” begitu kutipan pembuka artikel dengan judul Area Abu-Abu, Ayam, dan Kampus pada halaman 7 Majalah Economica Edisi 44.

Metropolis, Jawa Pos (18/01/2011), menguraikan dalam salah satu artikel dengan judul “Dikira Wartawan, Diusir Keluarga Korban” mengenai Solikuniyah, psikolog pendamping korban pemerkosaan dan trafficking. Disebutkan bahwa perempuan yang menjadi korban semakin banyak dimana berusia kurang dari 20 tahun. Tentu sulit untuk menyembuhkan trauma yang dialami korban dan membutuhkan waktu yang tidak singkat, bahkan dari segelintir korban tak jarang yang menjerumuskan diri sebagai kupu-kupu malam permanen karena merasa dirinya terlanjur kotor pasca dijual atau dihinakan.
Ada yang menjerumuskan diri dengan berbagai dalih dan ada yang terjerumuskan dalam profesi yang dianggap oleh masyarakat sebagai profesi sampah. Tentu keberadaan mereka menimbulkan pro-kontra sebagaimana petikan lirik lagu “Kupu-Kupu Malam” ciptaan Titik Puspa yang dipopulerkan oleh Ariel Peterpan, musisi yang menistakan perempuan di titik terendah dengan skandal video porno tidak hanya dengan satu perempuan, “Ada yang benci dirinya. Ada yang butuh dirinya. Ada yang berluntut mencintainya. Adapula yang kejam menyiksa dirinya.”Perempuan yang bekerja dan dipekerjakan selayaknya tuna susila tentu merupakan eksploitasi nyata dimana menjadikan perempuan komoditas murah meriah yang mudah dipindahtangankan.

Tidak hanya berprofesi sebagai penghibur sesaat, seringkali ditemui pula perempuan yang suka rela membuat dirinya sendiri pantas dianggap rendah misalnya dengan bergoyang seronok, memakai pakaian yang sangat minim, dan berlaku genit kepada kaum adam seperti yang dilakoni para remaja dalam masa pencarian jati dirinya, juga para punggawa layar kaca.

Seorang mengatakan pada penulis, “perempuan itu layaknya pajangan di toko. Bisa terlihat mewah dan diinginkan jika berada dalam etalase tertutup dan harganya pasti akan mahal. Beda dengan pajangan yang berada di luar dan bisa disentuh oleh semua pembeli yang biasanya akan dihargai jauh lebih murah.” Namun tentunya apa yang dinyatakan oleh orang tersebut tidak membenarkan perempuan yang selama ini diperjualbelikan layaknya komoditas.

Perempuan bukan komoditas. Komoditas ekonomi yang seringkali dibarter dengan beberapa lembar ratus ribu rupiah. Komoditas politik yang menjadi magnet penarik massa terutama saat pemilu berlangsung dimana perempuan menjadi ikon panggung penghibur. Komoditas sosial yang termakan oleh globalisasi sehingga menggunakan pakaian tak layak guna. Bukan pula sebagai komoditas budaya dimana menggunakan konsep tradisional, dikekang oleh pria dan hidup tanpa kebebasan. Perempuan laksana berlian jika diasah dengan benar dan dapat pula menjadi arang jika dibiarkan hidup dalam kenistaan.

Depok, 16 Februari 2011. Pukul 22.57.

[1] Modifikasi, sebelumnya dimuat dalam Jawa Pos Edisi Senin, 7 Februari 2011 pada rubrik Jawa Pos For Her 500 Kata ke Amerika dengan judul : Perempuan Bukan Komoditas.

#Esai #Kompetisi #Kuliah



Abstraksi
Esai ini mengungkap tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) dan optimalisasiperanannya dalam pemberdayaan usaha mikro guna mengurangi angka kemiskinan di Indonesiamelalui penciptaan lapangan kerja bagi pengangguran. Berbagai strategtelah dilakukan untukmenstimulus keberadaan usaha mikro, namun usaha mikro tetap menghadapi beberapa hambatan berupa akses modal yang terbatas dan dihadapkan dengan peraturan-peraturan yang masih cukup menyulitkan dari Lembaga Keuangan Mikro Konvensional (LKMK). Strategi yang saat ini dirasa paling tepat untuk memberdayakan usaha mikro adalah mengoptimalisasi peran dari LKMS. Pemberdayaan LKMS yang menggunakan prinsip bagi hasil memberikan kesempatan bagimasyarakat miskin dan sangat miskin sebagai subyek yang aktif berperan dalam upaya pemberantasan kemiskinan melalui peminjaman modal untuk memulai usaha. Sayangnya tidak semua LKMS berhasil menjalankan misi pemberdayaan usaha mikro karena kurangnya modal, tidak adanya payung hukum yang jelas, dan resiko yang dihadapi. Solusi atas permasalahan tersebut adalah kerjasama pemerintah dengan LKMS dalam penyaluran pembentukan UU LKMSKeberadaan LKMS sejauh ini memberikan konstribusi positif dalam peran aktifnya memberdayakan usaha mikro, yaitu menciptakan lapangan kerja, meningkatkan produktifitas masyarakat miskin dan sangat miskin, mencegah ketimpangan distribusi pendapatan, dan pada akhirnya mengurangi angka kemiskinan sehingga solusi untuk mengatasi hambatan yang ada harus diilaksanakan.
Kata Kunci : Pengangguran, Kemiskinan, Usaha Mikro, LKMS, Indonesia.

Alia Noor Anoviar (0906490645)
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Pendahuluan

Badan Pusat Statistik (BPS) berpendapat bahwa indikator nominal rata-rata kemiskinan di Indonesia sebesar Rp 211.000 per bulan per orang berdasar tingkat kebutuhan makanan dan non makanan. Sementara itu, Bank Dunia telah membuat pengukuran relatif mengenai kemiskinan dengan berstandar pada konsep purchasing power parity, yakni mulai dari standar US$ 1 , US$ 1,25 hingga US$ 2 per hari. Menurut Bappenas, kemiskinan adalah ketidakmampuan dalam memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Berdasarkan tiga pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kemiskinan adalah suatu keadaan yang menunjukkan ketidakmampuan dalam memenuhi hak-hak dasarnya untuk hidup layak. Namun terdapat perbedaan indikator nominal antara standar kemiskinan yang ditetapkan oleh BPS dan Bank Dunia berkisar antara Rp 91.000 – Rp Rp 391.000 per bulan jika kurs $ diasumsikan Rp 10.000 dan dalam satu bulan diasumsikan 30 hari.
Anggota Komisi II DPR RI Budiman Sudjatmiko (2011) mengungkapkan bahwa Indonesia adalah satu-satunya negara dalam zona merah yang mengklaim berada di zona biru dalam hal kemiskinan. Tingkat kemiskinan domestik Indonesia berdasarkan data BPS menunjukkan posisinya di zona biru atau di bawah 20 persen. Padahal menurut standar Bank Dunia, Indonesia berada di zona merah dengan tingkat kemiskinan antara 41 persen sampai 60 persen. Level ini sama dengan beberapa negara Afrika, Yaman, Pakistan, Mongolia, Vietnam, dan Philipina.[1]
Menurut Rafiqoh Rokhim (2011)[2], jumlah penduduk miskin di Indonesia mengalami penurunan karena adanya KUR dan Program BLT. Sejak tahun 2006 sampai dengan 2010 berturut-turut sebesar 39,1 juta jiwa, 37,2 juta jiwa, 35,0 juta jiwa, 32,5 juta jiwa, dan per 2010 menurun kembali menjadi 31,02 juta jiwa. Hal ini berkorelasi positif dengan tingkat pengangguran yang juga menurun dari 10,28 % per Agustus 2006 menjadi 7,14 % per Agustus 2010 (BPS, 2010).
Berbagai program telah dilaksanakan dalam rangka pengentasan kemiskinan, namun masih terjadi banyak hambatan untuk menuju Indonesia bebas kemiskinan, misalnya pemerintah masih memosisikan masyarakat miskin dan sangat miskin sebagai objek daripada subjek dengan memberikan BLT. Seharusnya mereka dijadikan sebagai subjek, yaitu sebagai pelaku perubahan yang aktif terlibat dalam aktivitas program penanggulangan kemiskinan, salah satunya dengan memberikan Kredit Usaha Rakyat (KUR). Upaya dalam mengurangi angka pengangguran harus dilakukan karena memiliki korelasi terhadap angka kemiskinan. Upaya besar yang telah dilakukan sejauh ini adalah proyek Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri) yang telah menyebar hingga pelosok desa. Program ini memicu tumbuhnya UMKM terutama dalam skala usaha mikro sehingga dapat mengembangkan sektor riil Saat jumlah orang yang menganggur meningkat akan maka angka kemiskinan dan masalah sosial meningkat pula. di Indonesia.[3]Namun program ini juga mengalami hambatan, misalnya di Kabupaten Bireun terrdapat masalah dana tersendat sehingga proyek PNPM terlantar.[4]
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008, usaha mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria kepemilikan aset maksimal Rp 50.000.000,- dan omset maksimal Rp 200.000.000,-. Menurut Hendro Wibowo [5](2011), usaha mikro saat ini mencapi 99,9 % dari total UMKM di Indonesia yang memiliki potensi untuk dikembangkan sehingga mampu menampung pengangguran yang ada. Namun usaha mikro kerap kali tersendat masalah permodalan sehingga perlu adanya sarana pembiayaan. Sejauh ini telah ada Lembaga Keuangan Mikro Konvensional (LKMK) yang berperan aktif memberikan pinjaman pada UMKM, namun LKMK hanya memiliki sasaran pembiayaan orang miskin. Sementara itu, bagi orang sangat miskin seringkali tidak memiliki akses terhadap permodalan sehingga keberadaan Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) menjadi solusi potensial bagi kalangan tersebut untuk memiliki usaha mikro sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan pribadi pada khususnya dan mengurangi angka kemiskinan pada umumnya. LKMS dapat berbentuk lembaga keuangan bank, misalnya Bank Muamalat, dan non bank, misalnya BMT.
Lembaga Keuangan Mikro (LKM) ada untuk menolong masyarakat sanagt miskin sehingga mereka mampu menolong dirinya sendiri. Dalam kerangka itu, keuangan mikro dimaksudkan memberikan dukungan yang akan memberdayakan berbagai kemampuan yang dimiliki masyarakat miskin atau pengusaha kecil. Jadi, keuangan mikro adalah penyediaan jasa-jasa keuangan kepada anggota masyarakat yang berpenghasilan rendah (Luluk Widyawan, 2006).[6]Pemberdayaan usaha mikro melalui LKMS merupakan langkah strategis dalam menghadapi masalah klasik usaha mikro, yaitu akses terhadap modal yang terbatas. Hadi Paramu (2011)[7] menjelaskan bahwa persoalan mendasar usaha mikro adalah financial accessibility sehingga LKMS perlu memperhatikan hal ini sehingga usaha mikro yang menjadi target bisa mampu mengakses.
Tujuan penulisan esai ini adalah untuk mengkaji alternatif strategi yang dapat dikedepankan guna memutuskan mata rantai kemiskinan melalui pemberdayaan usaha mikro di Indonesia sebagai penggerak sektor riil yang menyentuh masyarakat miskin dan sangat miskin dengan optimalisasi sarana pembiayaan LKMS.

Pembahasan
II. 
Tabel 1 akan menggambarkan perbedaan antara Lembaga Keuangan Mikro Konvensional (LKMK) dan Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS).
Tabel 1 : Perbedaan antara LKMK dan LKMS[8]
Faktor
LKMK
LKMS
Sumber pendanaan
Dana pihak ketiga dan dana donor.
Dana pihak ketiga dan dana yang bersumber dari amal (ZIS).
Jenis pembiayaan
Berbasis bunga.
Bagi hasil, margin, dan ujrah (instrumen keuangan islam)
Sasaran pembiayaan
Orang miskin yang produktif.
Orang sangat miskin dan orang miskin produktif.
Transfer pendanaan
Diberikan dalam bentuk tunai.
Diberikan dalam bentuk produk (barang dan jasa).
Biaya pinjaman
Diambil dari sebagian dana pinjaman
Tidak dikenakan biaya.
Target kelompok
Wanita.
Keluarga.
Tujuan pembiayaan
Pemberdayaan wanita.
Mendapatkan ketentraman dan meningkatkan kesejahteraan
Penanggung jawab pinjaman
Penerima pinjaman.
Penerima pinjaman dan pasangannya.
Dorongan untuk bekerja
Moneter.
Perintah agama dan moneter.
Solusi gagal bayar
Tekanan dan ancaman dari kelompok.
Jaminan dari pasangannya, kelompok, dan etika islam.
Program pengembangan sosial
Sekuler, etika, dan sosial.
Keagamaan, etika, dan sosial.
Penulis pada tahun 2008 mengadakan riset mengenai “Peran Lembaga Keuangan Mikro (LKM) dalam Mengurangi Angka Kemiskinan di Indonesia”. Berdasarkan hasil penelitian lapanganyang dilaksanakan pada 100 nasabah LKM BRI Unit Jenggawah, Kecamatan Jenggawah, Kabupaten Jember secara acak menunjukkan bahwa peranan BRI sebagai LKM cukup efektif dalam upaya mengurangi angka kemiskinan di wilayah Jenggawah yang merupakan daerah sampel. Hal ini terbukti dengan meningkatnya pendapatan nasabah, adanya pendapatan yang dapat disisihkan untuk ditabung, dan terciptanya lapangan kerja baru.[9] Namun hasil penelitian tersebut juga mengindikasikan adanya kekurangan dari LKM Konvensional (LKMK), yaitu masih adanya kredit macet karena peminjam dana tidak memiliki kesadaran dalam pengembalian dana dimana dana yang seharusnya ditujukan untuk kegiatan produktif dialihkan menjadi kegiatan konsumsi artinya pengawasan dari pemberi pinjaman kurang ketat. Selain itu, masih banyak dari masyarakat di lokasi penelitian yang meminjam dana dari renternair, umumnya masyarakat kategori sangat miskin. Sistem bunga yang diberlakukan atas peminjaman wirausaha mikro kepada LKMK ternyata cukup memberatkan karena terdapat probabilitas usaha mikro yang didirikan tidak mampu bertahan dan mengalami kebangkrutan sehingga mereka tidak hanya terbatas dalam kemampuan pengembalian dana pinjaman, tetapi juga tidak mampu mengembalikan bunga atas pinjaman.
Persoalan-persoalan yang telah dijelaskan mengindikasikan bahwa para wirausaha mikro terutama dari kalangan masyarakat sangat miskin memiliki keterbatasan dalam mendapatkan akses modal dari LKM Konvensional. Dilema ini menjadi potensi untuk mengoptimalisasi peran LKMS sebagai alternatif sumber pendanaan untuk menggerakkan sektor riil di Indonesia. Tabel 1 menjelaskan beberapa perbedaan LKMK dan LKMS dengan jelas. Beberapa hal sebagaimana yang telah diungkap berdasarkan penelitian penulis (2008) akan diperbandingkan jika sarana pembiayaan yang digunakan para wirausaha mikro tersebut adalah LKMS.
1. Kredit macet dapat diawasi dengan pendampingan kepada wirausaha mikro sehingga tidak mengalami kegagalan dan perlu dibentuk kesadaran secara spiritual untuk mengembalikan pinjaman yang diterima dari LKMS. Pendampingan juga memperkecil probabilitas penyalahgunaan dana pinjaman, meskipun tidak dapat dielakkan.
2. Masyarakat yang masih meminjam pada renternair padahal pada lokasi tersebut terdapat LKMK, alasannya adalah tidak memiliki agunan atau tidak memenuhi persyaratan peminjaman padahal usaha mereka produktif, terutama masyarakat kategori sangat miskin. Sasaran pembiayaan dari LKMS adalah masyarakat sangat miskin dan miskin sehingga jika peran LKMS dalam diperluas dan dioptimalisasi maka akan mampu memberdayakan usaha mikro secara luas.
3. Saat para wirausaha mikro mengalami kebangkrutan maka tetap berkewajiban mengembalikan pinjaman beserta bunga pada LKMK. Jadi dapat diistilahkan sudah jatuh tertimpa tangga. Sementara pada LKMS, dilakukan pembimbingan terhadap usaha mikro tersebut selama berjalan, sebagaimana yang dilakukan pada BMT Halal Bank pimpinan Hendro Wibowo, dengan sistem bagi hasil sehingga saat mengalami kebangkrutan hanya mengembalikan dana pokok.
Peran sentral LKMS dalam pemberdayaan usaha mikro dapat dikatakan semakin penting. Hendro Wibowo (2011) mengungkapkan bahwa usaha mikro saat ini mencapai 99,9 % dari total UMKM secara keseluruhan sehingga memiliki potensi untuk berkembang pesat. Meskipun sumbangan dari usaha mikro jauh lebih kecil dibandingkan usaha kecil, menengah, dan besar, keberadaan usaha mikro dapat menjadi penggerak masyarakat sangat miskin dan miskin. Usaha mikro akan membuka lapangan kerja bagi pengangguran sehingga mengurangi masalah sosial yang ada saat ini. BMT Halal Bank yang didirikan Hendro dan kawan-kawan mengalami peningkatan pesat dimana awalnya bermodal aset jutaan rupiah menjadi 50 Miliar di tahun 2011 dimana telah membantu berbagai usaha mikro dengan konsep syariah. Efek dari peminjaman dana bagai usaha mikro tidak hanya mampu mengembangkan usaha mikro yang dibimbing, namun juga mampu mengembangkan BMT Halal Bank.
Keberadaan LKMS sebagai alternatif pendanaan penggerak sektor riil di Indonesia yang jelas memiliki kontribusi positif ternyata tidak terlepas dari berbagai hambatan terutama terkait resiko yang dihadapi. Hendro Wibowo (2011) menjelaskan bahwa LKMS tidak memiliki payung hukum dalam artian Undang-Undang LKMS dan keterbatasan modal dalam penyaluran dana bagi usaha mikro. Muchamad Setiawan (2010) menjelaskan resiko yang dihadapi LKMS sama dengan resiko yang dihadapi perbankan, meskipun LKMS merupakan lembaga keuangan bukan bank.Resiko terbesar yang dihadapi LKMS adalah resiko kredit karena peminjam juga berasal dari masyarakat sangat miskin yang memiliki berbagai keterbatasan pengelolaan usaha.
Langkah-langkah yang dapat ditempuh untuk mengoptimalisasi peran LKMS dalam pengembangan usaha mikro guna mengurangi angka kemiskinan di Indonesia, yaitu :
1. Pertama, mengenai potensi resiko maka LKMS harus membuat manajemen resiko LKMS sehingga dapat meminimalisasi kemungkinan resiko yang terjadi, terutama resiko kredit.
2. Kedua, program Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang digalakkan oleh pemerintah mengalami selisih dana sebesar Rp 3,8 triliun, dana yang awalnya hendak disalurkan adalah Rp 18 triliun dan hanya disalurkan Rp 14,2 triliun (2010). Pemerintah hendaknya menggandeng LKMS untuk menyalurkan KUR sehingga bisa tepat sasaran terutama menggerakkan masyarakat sangat miskin dan masyarakat miskin di Indonesia agar produktif. Masyarakat tersebut tentu juga memiliki potensi sehingga perlu dilakukan bedah potensi masyarakat miskin dan sangat miskin untuk meningkatkan kesejahteraan. Pelatihan, pemberian modal, dan sosialisasi harus dilaksanakan secara berkelanjutan. Bila memungkinkan, di setiap desa ditugaskan seorang konsultan untuk memberi pengarahan pada mereka dalam melaksanakan kegiatan usaha mikro yang dimiliki. Dengan dukungan permodalan dari pemerintah, LKMS tidak akan kesulitan mencari dana untuk disalurkan sebagai modal usaha.
3. Ketiga, terkait dengan tidak adanya payung hukum bagi LKMS maka perlu dibentuk Undang-Undang LKMS. Hal ini dimaksud untuk menjamin keberadaan LKMS dapat terjamin secara legal dan dipercaya oleh investor untuk menyimpan dana sehingga bisa disalurkan untuk menggerakkan sektor riil melalui peran aktif masyarakat miskin dan sangat miskin dengan membangun usaha dan mendapat kepercayaan dari masyarakat secara umum.
Melalui solusi yang ditawarkan atas permasalahan yang terjadi terkait LKMS di Indonesia, penulis mengharapkan LKMS dapat mengoptimalkan perannya dalam pemberdayaan usaha mikro sehingga mampu mencapai tujuan utama, yaitu mengurangi angka kemiskinan di Indonesia.

Kesimpulan & Saran

Kemiskinan merupakan isu sentral yang kronis dan harus cepat diatasi dengan strategi yang tepat untuk memutuskan mata rantai kemiskinan di Indonesia. Terutama fokus pada pemberdayaan usaha mikro dengan efektif. Pelibatan LKMS sebagai sumber mitra pemerintah dalam penyalur modal terhadap masyarakat sangat miskin dan masyarakat miskin dapat menunjang keberhasilan dalam memutuskan mata rantai kemiskinan di Indonesia. Alternatif solusi dalam esai ekonomi syariah yang diajukan oleh penulis, mencoba menjawab berbagai persooalan yang menempa keberadaan LKMS. Peran aktif pemerintah dan masyarakat dalam mendukung optimalisasi peran LKMS dalam memberdayakan usaha mikro sangat dibutuhkan untuk terealisasinya Indonesia bebas dari kemiskinan.


[1] Sumber : http://www.kaskus.us/showthread.php?p=369886955
[2] Rafiqoh Rokhim, SE, SIP, DEA, Ph.D dalam Kelas Pasar dan Lembaga Keuangan (PLK), Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 2011.
[3] Sumber : http://matanews.com/2010/02/28/dana-pnpm-bojonegoro-565-miliar/
[4] Sumber : http://www.pnpm-mandiri.org/index.php?option=com_content&view=article&id=155&Itemid=66&lang=in
[5] Diskusi dengan topik “Ekonomi Islam Solusi Membangun Peradaban” di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 9 Maret 2011.
[6] Sumber : Widyawan, Luluk. 20 Oktober, 2006. Memberdayakan Masyarakat dengan Kredit Mikro.
[7] Penulis berkomunikasi dengan Hadi Paramu, SE, MBA, PhD, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Jember melalui message facebook. 8 Maret 2011.
[8] “Financing Microenterprises : An Analitical Study of Islamic Microfinance Institution” dalam Islamic Economic Studies Journal, Vol. 9 No. 2, Maret 2002.
[9] Alia Noor Anoviar dan Ayurifa Abdillah. “Peranan Lembaga Keuangan Mikro dalam Mengurangi Angka Kemiskinan di Indonesia. Studi Kasus : LKM BRI Unit Desa Jenggawah, Jember. Juara 1 Lomba Karya Tulis Ekonomi SMA. Kompetisi Ekonomi 10, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
# Note : Jika ada yang salah mohon diberi saran. Masih proses belajar menulis tentang ekonomi syariah :)