20110630

Sudah Tidak Nyaman (Lagi!!!)

"Ya... aku memang sudah merasa tidak nyaman!!!"

Entah bagaimana menghindari perasaan yang satu ini, rasa tidak nyaman yang memburu diri. Rasa yang tidak dapat disembunyikan. Rasa yang mengejar dan menyiksa. Sekaligus rasa yang membuat kepikiran dan susah menutup mata di kala malam.'

Aku katakan sekali lagi, "... aku sangat merasa tidak nyaman berada di tempat ini."

Memilih berada di suatu tempat asing pada awalnya, tentu sudah membuat suatu ekspektasi. Dan sayangnya ekspektasi ini berlebih. Sayangnya pula, ekspektasi ini sekarang membunuhku. Hhh... entahlah benar-benar tempat yang sangat aku junjung tinggi pada awalnya dan sekarang benar-benar membuatku tersiksa. Arghhhh!!! Aku jadi sulit mengatakannya.

Tempat ini begitu terang, memang tidak terlalu besar. Haruskah aku mendeskripsikannya? Untukku : Ya... tempat ini begitu sejuk, awalnya. Tempat ini menyenangkan, awalnya. Tempat ini membuatku bangga, awalnya. Tempat ini memang spesial, lagi-lagi hanya awalnya.



Dengan yakin aku kembali mengatakan, "bukan lagi tidak nyaman dengan tempat ini, tapi tempat ini memberikan rasa lebih dari tidak nyaman."

Apa sebenarnya arti dari 'nyaman' itu sendiri? Jika kalian menanyakannya mungkin aku hanya bisa menjawab, "nyaman itu membuat kita merasa bebas, tidak terkekang, tersenyum ikhlas, tertawa terbahak-bahak, hilang rasa canggung, dan merasa dihargai."

Aku tidak mendapatkan itu semua dari tempat ini. Memang tempat ini bebas, siapapun bisa lalu lalang sesuka hati tidak ada yang melarang. Memang tempat ini tidak mengekang, apapun bisa kamu lakukan. Tempat ini menebar senyum ikhlas dan tawa terbahak-bahak . Tempat ini menghilangkan rasa canggung. Tempat ini menghargai tempat lain. Tapi nyatanya, tempat ini bukan tempatku. Semua kriteria 'nyaman'versiku memang ada di tempat ini, namun sayangnya semua itu tidak bisa menjamah kehadiranku.

Bukan berharap belas kasih. Bukan ingin sok dihargai. Bukan... aku cuma ingin dianggap ada saja... Sederhana bukan???

Debur ombak. Semilir angin. Deras hujan. Awan yang mulai menghitam. Semua kembali menyadarkanku, "sepertinya ini bukan tempatku karena aku merasa tidak nyaman lagi."


Alia Noor Anoviar
Surabaya, 1 Juli 2011
Aku (masih) berharap bisa merasa
nyaman lagi ditempat itu :D

20110626

Ternyata IPK Saja Tidak Cukup!!!

Dulu sebelum kuliah, sodara-sodara yang sudah kuliah sering bilang tentang IP... IPK... terus kalau mereka ngomong 3,xx aq langsung mikir, "Nilai kok jelek amat? Aku aja di sekolah nilai minimal 7" Hahahahaaa bodohnya ternyata IP dan IPK itu maksimal 4.

Setelah kuliah di semester awal terutama pas OPK udah denger isu-isu terkait IP dan IPK yang dikorelasikan dengan DO alias Drop Out. Sosialisasi pun dilakukan oleh pihak fakultas dan pemahamanku tentang IP dan IPK menjadi bertambah alias nggak bloon seperti dulu. Oke kalian akan di drop out kalau IPK dibawah 2,00 di sem 2, 4, dan 8 begitulah kalau tidak salah. Hmmm cukup menakutkan. Tapi ada kakak kelas yang bilang, "halah segitu mah gampang. Lulus mata kuliah itu gampang tapi nilai A itu yang susah."

Oke sekarang perhatianku beralih ke nilai "A" yang syaratnya adalah angka 85. Aku mulai menuliskan satu per satu target nilai, bahkan banyak yang ternyata sesuai tebakan di akhir nilainya. Di semester 1 ada 2 mata kuliah yang jelas2 nggak bisa, berani sumpah (jujur) setiap mau UTS dan UAS matkul S***** dan M**** itu pasti nangis dulu bahkan jatuh dari tangga di pagi hari sebelum ujian m**** pernah aku alami. Hahahahhaaa... lebay memang saking takutnya nggak bisa tidur, nangis, dan pagi harinya pusing. 2 Matkul ini aku targetkan nilai serendah-rendahnya, tapi Alhamdulillah dosennya baik dan hasil menangis semalaman keluar (wkwkwkwkkk).


Akhirnya aku sendiri menyadari kalau nilai "A" itu memang sulit, tapi sayangnya baru menyadari setelah nilai ujian semester 1 keluar dari SIAK NG dan berwarna-warni :P :P :P

Untuk semester selanjutnya : Semester 2,,, lebih berwarna-warni lagi dan kena omelan ibu tercinta hahahhaa (piss makQ). Akhirnya kejar setoran di semester selanjutnya. Tapi... Tapi... lama-lama kok merasa kehilangan sesuatu. Iya ya,,, sadar lagi : IPK aja nggak cukup!!! IPK doang nggak bisa bikin semangat... Hummm lalu apa ya?

IPK 4 so what? bedanya apa dengan IPK 2? Yaaa bedalah hahhahaha beda 2,00 berarti. Eitsss nggak bahas tentang IPK lagi ding.

Baru sadar (TELAT!!!) banyak teman2 yang berprestasi di luar sana di bidangnya masing-masing. Hhhhh jadi teringat masa-masa SMA yang sering nggak masuk kelas dan lebih suka berkelana dari satu tempat ke tempat lain. Ya, aku merindukannya...

Okeee sepertinya harus membuat strategi baru,,, kesampingkan kuliah dulu, cari kesibukan lain. What is my passion? Ya... harus mencarinya lagi seperti di SMA dulu. Bukan untuk mendapat penghargaan atau uang (kalo dapat ya Alhamdulillah) Aku suka menulis dan aku akan menulis LAGI!!!

Mulai membuat keputusan tidak SP setelah semester 4 ini. Ya sudah membuat keputusan. Lalu mau apa? Magang yaaa cari pengalaman diluar... Oke ada lagi yang harus dikesampingkan saat itu tidak persiapan untuk UAS (Alhamdulillah tidak kacau, Allah kembali mengulurkan tangan-Nya untuk membantuku) karena sibuk dengan 4 paper SRD. Sip!!! Sebuah keputusan besar yang riskan : Riskan IPK melorot ahhahahhahahaaa

Akhirnya dapat tempat magang di PT Asuransi Jiwasraya, belajar belajar belajar hal baru, kehidupan baru di Surabaya. Hummm next SIAK NG mengeluarkan hasil kerja keras di semester ini,,, Alhamdulillah sesuai rencana. Lalu, ya SRD Alhamdulillah mendapat hasilnya meskipun tidak semua berjalan maksimal. Paling tidak tahapan ini memberikan pelajaran berharga untuk berani mengambil keputusan karena IPK saja tidak cukup.

Aku pun mencari pelatihan yang bisa mengembangkan diri, Alhamdulillah masuk PPB#5... and what is the next? I don't know but I will working hard for get what I want. Ternyata IPK saja tidak cukup untuk memuaskan diri, IPK juga tidak cukup untuk memberikan pelajaran berarti dalam hidup, IPK memang penting tapi IPK saja tidak cukup!!!

Berusaha, bekerja keras, dan terus berdoa :D

Bismillah... aku hanya orang dalam tahap pencarian jati diri... Sedang mencari hal2 yang bisa membuat bahagia yang tidak hanya sekedar IPK saja.

Surabaya, 28 Juni 2011
13.08

"Namaku Cinta"

Orang memangilku CINTA…
Menurut mereka diriku indah, mempesona, dan memiliki aura
Setiap kali menyebut namaku, senyum pun kan merekah seketika
Aku begitu bangga menjadi makhluk bernama CINTA

Tapi kadang aku merasa bersalah seolah seorang tersangka
Tak sedikit yang menangis karena kehadiranku di dunia
Mereka mencaci maki keberadaanku, mengatakan bahwa diriku buta
Aku juga bisa membuat sekelilingku menjadi gila…

CINTA oh CINTA…
Terlalu banyak istilah tentangku
Cinta buta… Cinta monyet…  Cinta segitiga…
Dan entah apa lagi julukan yang mereka beri untukku
 
Yang terbaik, yang pernah kudengar tentang diriku
CINTA Sejati…
Yang katanya tak kenal pamrih dan selalu membekas di hati
Itulah sosokku sebenarnya

Sempurna…
Namaku Cinta…
Yang tak kan pernah mati
Kan selalu abadi sampai nanti

20110625

MORATORIUM TKI : MOMENT EVALUASI MENGENDALIKAN PENAWARAN TKI


Permasalahan terkait dengan TKI yang dikirim ke luar negeri tidak hanya dialami Ruyati, TKI asal Bekasi, yang dihukum mati di Arab Saudi dengan dakwaan membunuh majikannya. Kisah Ruyati hanya salah satu dari banyak kisah yang telah kita dengar, bagaimana warga Indonesia yang dipekerjakan di luar mendapat siksa dari sang majikan. Sebagai catatan penting, masih ada 25 TKI di Arab Saudi dan Timur Tengah yang berada diujung ajalnya - menunggu eksekusi hukuman mati karena perbuatan mereka yang dianggap tidak sesuai dengan hukum islam yang diterapkan. 

Kasus-kasus sebelumnya yang menimpa TKI pun telah terjadi dan memang nyata terlihat tidak adanya geliat pembelaan dari pemerintah untuk melindungi para pahlawan devisa yang tengah mengais rezeki di negeri orang karena ketidakmampuan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 2 menyediakan lapangan kerja. Kini, wacana moratorium TKI ke Arab Saudi dan negara Timur Tengah lainnya per 1 Agustus 2011 pun muncul ke permukaan.

Moratorium TKI memang memiliki efek negatif berupa menurunnya devisa negara yang berdampak pada APBN. Penghasilan negara dipastikan akan menurun. Penghasilan yang selama ini digunakan untuk membiayai berbagai kebutuhan negara dari yang memang penting sampai dengan kebutuhan yang dibuat-buat, misalnya perjalanan pejabat negara -DPR- ke luar negeri untuk melancong dengan dalih menjalankan tugas.


Namun tentu saja moratorium TKI tidak hanya berdampak negatif. Hal ini dapat digunakan sebagai moment evaluasi dalam mengendalikan penawaran TKI. Selama kurun waktu yang disepakati, pemerintah harus mempersiapkan kualitas SDM yang memenuhi kualifikasi tertentu untuk dapat bekerja di luar negeri, misalnya keahlian yang dimiliki, kemampuan dasar seperti tidak buta huruf dan bahasa, serta kondisi calon TKI tidak dalam kondisi hamil dan dibawah umur. Dalam kerangka ini, pemerintah harus menyusun kriteria-kriteria khusus dan umum bagi calon TKI sehingga mereka akan dihargai, tidak dianggap buruh rumah tangga semata di luar negeri.

Selain mempersiapkan SDM handal, pemerintah harus mendorong pertumbuhan dan pembangunan sektor riil sehingga masyarakat bisa mendapatkan pekerjaan di dalam negeri. Hal yang tidak kalah penting dan sudah terbukti keberhasilannya dalam menyerap tenaga kerja adalah pengembangan UMKM melalui KUR sehingga semakin banyak lapangan kerja yang bisa diciptakan baik di desa maupun kota. Perusahaan-perusahaan besar saat ini lebih fokus pada sektor yang padat modal sehingga keberadaan UMKM harus difokuskan pada sektor padat karya sehingga bisa menurunkan tingkat pengangguran di Indonesia.

Pengendalian penawaran TKI secara teoritis memang dilakukan sebagai tindakan preventif, namun terkait dengan berbagai kejadian yang menyangkut keselamatan jiwa para TKI tersebut maka seharusnya dilakukan aksi yang bersifat teknis dan operasional. Penciptaan lapangan kerja secara lokal melalui pembangunan infrastruktur serta pemerataan kesempatan pendidikan merupakan langkah strategis yang harus dilaksanakan untuk mengendalikan penawaran TKI. Penertiban pada PJTKI ‘nakal’ juga wajib dilakukan dimana pengawasan ketat harus dilaksanakan terkait dengan rekruitmen TKI yang akan dikirimkan dan harus memenuhi kriteria yang telah ditentukan. Calon TKI yang terkualifikasi juga wajib ditempatkan pada keluarga yang aman, artinya pihak PJTKI harus melakukan survei terkait dengan keluarga yang akan mempekerjakan TKI tersebut. Birokrasi juga harus diperjelas dan tidak bersifat membodohi TKI yang bersangkutan. 

TKI sendiri umumnya berasal dari kelas menengah ke bawah yang tidak memiliki kemampuan dan keahliaan serta pendidikan yang diterima pun terbatas. Selain itu, umumnya mereka adalah masyarakat desa yang memiliki berbagai keterbatasan, padahal sebenarnya potensi yang dimiliki besar. Program-program pemberdayaan masyarakat desa perlu dilakukan sehingga mereka tidak tergiur untuk berangkat menjadi TKI dengan berbagai upaya, setidaknya di desa mereka dapat mengembangkan potensi yang dimiliki di desanya. PNPM merupakan salah satu program yang harus digiatkan dalam kerangka pemberdayaan potensi masyarakat desa. 

Moratorium TKI semoga benar-benar merupakan potret kesigapan pemerintah yang tidak mau melihat lagi rakyatnya diperlakukan lebih buruk dari sapi-sapi asal Australia di Indonesia. Bukan hanya menjadi wacana politik untuk meneduhkan suasana yang tengah memanas. Moratorium TKI  harus dilengkapi dengan tindakan-tindakan nyata sebagai evaluasi untuk mengendalikan penawaran pahlawan devisa negara agar tidak disia-siakan di negeri orang.

Oleh : Alia Noor Anoviar
Surabaya, 26 Juni 2011 Pukul 09.49

20110622

Hey Perokok, Hentikan Ulahmu!!!

"Dimana kira-kira kalian tidak menemui asap rokok?"

Sebuah pertanyaan yang menggelitik dan menjadi tanda tanya besar dimana jawabnya. Kalau saya secara pribadi dengan mudah menemui asap rokok. Mulai dari angkot yang seringkali bersumber dari abang-abang sopirnya. Terus dikampus juga banyak asap rokok dari depan kelas, selasar, kantin, bahkan pernah ketemu orang ngerokok di dekanat yang jelas-jelas ruangan ber-AC. Hummm yang namanya gambar larangan merokok seperti nggak punya arti, aturan pun menjadi sesuatu yang omong kosong. Upsss iya ya bukannya di Indonesia berlaku hukum : ATURAN DIBUAT UNTUK DILANGGAR. Semoga para pembaca bukan bagian dari pelaku-pelaku pelanggaran aturan :D



Bahaya merokok terhadap kesehatan tubuh tentu bukan isapan jempol belaka. Efek negatif dari penggunaan rokok juga telah diketahui dengan jelas. Berbagai penelitian membuktikan bahwa kebiasaan merokok meningkatkan risiko timbulnya penyakit seperti jantung, kanker paru-paru, bronkhitis, dan berujung pada kematian dini. Selain bahaya yang dihadapi perokok aktif, secondhand-smoke atau biasa disebut dengan perokok pasif juga memiliki potensi yang serupa. Artinya kebiasaan merokok tidak hanya merugikan diri sendiri, tetapi juga orang yang berada disekitarnya.

Saya paling benci dengan asap rokok saat berada di bus atau kereta bisnis dalam perjalanan jauh karena rasa mual akan menyeruak, pusing, dan keringat dingin. Tapi entah kenapa meskipun sudah menegur dengan batuk-batuk tetap saja tidak didengar dan dengan santainya para perokok aktif itu menyebar eksternalitas negatif pada saya dan orang-orang lain disekitarnya sebagai perokok pasif.

Rokok dan Masa Depan Anak Bangsa
Tembakau dan rokok adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan keberadaannya. Tembakau merupakan bahan baku utama pembuatan rokok yakni sebesar 98% produk tembakau di Indonesia digunakan untuk memproduksi rokok. Konsumsi rokok pun dari tahun ke tahun masih menjadi hal yang sulit untuk ditekan jumlahnya. Ironisnya, jumlah perokok usia remaja (15-19 tahun) terus meningkat. Penelitian kerjasama antara Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE UI), Kantor Perwakilan World Health Organization (WHO), serta pemerhati masalah tembakau, dibuat untuk meneliti lebih lanjut tentang dampak tembakau dan pengendaliannya di Indonesia. Hasil penelitian tersebut memaparkan data bahwa prevalensi anak muda usia 15-19 tahun untuk merokok terus meningkat dari tahun 1995 sebesar 7,1%, tahun 2001 sebesar 12,7% dan terus meningkat hingga 2004 mencapai 17,3%. Angka tersebut menunjukkan kurangnya kesadaran generasi muda masa terkait bahaya merokok sekaligus menjadi momok bagi masa depan bangsa.

Perokok remaja terus bertambah saat ini, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Fuad Baradja, ketua bidang penyuluhan dan pendidikan di Lembaga Menanggulangi Masalah Merokok (LM3), menyatakan bahwa Indonesia adalah negara tunggal di Asia yang tidak memiliki undang undang atau peraturan yang mengendalikan rokok secara baik dan benar berdasarkan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Padahal konsumsi rokok di Indonesia merupakan ketiga terbesar di dunia, setelah China dan India. Bahkan organisasi kesehatan sedunia (WHO) telah memberikan peringatan bahwa dalam dekade 2020-2030 tembakau akan membunuh 10 juta orang per tahun, 70% di antaranya terjadi di negara-negara berkembang.

Lingkungan keluarga, sekolah dan kampus merupakan area pembelajaran terbaik untuk memulai tindakan dini pencegahan merokok. Di rumah misalnya, idealnya anggota keluarga dapat memberikan contoh yang baik akan bahaya merokok, tetapi faktanya berdasarkan penelitian Lembaga Demografi FE UI dan WHO adalah 71% keluarga Indonesia mempunyai minima satu perokok. Jika sudah begini, kemana anak-anak generasi penerus bangsa harus mencari panutan yang tepat.Edukasi larangan merokok perlu rutin dilakukan seperti yang dilakukan oleh LM3 ke sekolah-sekolah dari level SD hingga perguruan tinggi. Terkait isu larangan merokok di area kampus, Fuad Baradja, yang beberapa kali menjadi dosen untuk kuliah tamu menyatakan bahwa umumnya para mahasiswa sangat antusias menerima hal hal baru yang terkadang tak pernah terpikirkan oleh mereka. Berbagai upaya dapat dilakukan untuk menekan jumlah perokok aktif di Indonesia, seperti penyuluhan bahaya merokok baik secara preventif maupun antisipatif, menjalankan peraturan-peraturan larangan merokok yang sudah ada dengan patuh, mengevaluasi perlu atau tidaknya dibuat peraturan-peraturan baru, larangan terhadap iklan, promosi rokok, peningkatan cukai dan harga rokok serta upaya-upaya lain yang diarahkan untuk menyelamatkan bangsa ini dari bahaya besar dibalik kenikmatan merokok.

Wacana Tanpa Aksi Nyata : Larangan Merokok di Lingkungan UI
Geliat terkait penegakan aturan larangan merokok tengah digalakkan di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Menyadari adanya pro-kontra mengenai hal tersebut, BPM FEUI pada 17 Februari 2011 mengadakan diskusi dengan tema isu larangan merokok di area FE UI yang menghadirkan pembicara dari pihak kemahasiswaan FE UI, yaitu Ayu Ratna dan Banu Muhammad. “Sebenarnya larangan merokok tidak hanya diterapkan di FE UI, tetapi di Universitas Indonesia secara keseluruhan sejak tahun 2008. UI akan menolak BOP mahasiswa yang orangtuanya menggunakan rokok dan beasiswa yang diajukan oleh perokok maupun tawaran pemberian beasiswa dari perusahaan rokok,” terang Ayu Ratna. Sejauh ini belum ada sanksi tegas bagi perokok di lingkungan FE UI, hanya sebatas teguran dari satpam dan pihak-pihak yang merasa berkepentingan. Wacana pembangunan smoking area sedang dalam tahap pencarian sponsor, jika sponsor berasal dari perusahaan rokok maka pihak FE UI tidak mengijinkan pemasangan logo dan semacamnya agar tidak tercipta ambiguitas. Arah yang sebenarnya menjadi fokus tujuan adalah membangun lingkungan akademik yang sehat. Aturan ketat mengenai larangan merokok telah diterapkan oleh Fakultas Kesehatan Masyarakat UI dimana terdapat sanksi berupa denda bagi perokok.

Pernyataan kontra mengenai isu larangan merokok dilayangkan oleh seorang mahasiswa yang mungkin mewakili ketidaksetujuan dengan penegakan aturan tersebut. “Saat ini kita berada dalam disiplin intelektual, bukan disiplin militer. Udara ini milik siapa? Perokok sudah membayar cukai rokok sehingga bebas menikmati rokoknya, sementara mereka yang tidak merokok memang tidak membayar cukai rokok sehingga tidak ada hak untuk melarang seseorang merokok.” Banu Muhammad meluruskan pendapat tersebut, “Berdasarkan hasil penelitian Abdillah dan kawan-kawan dari Lembaga Demografi FE UI menunjukkan bahwa cukai rokok tidak menutup eksternalitas negatif dari rokok.” Ayu Ratna menambahkan pernyataan yang kiranya dapat dijadikan bahan perenungan, “Jangan menggunakan hak minoritas untuk kepentingan mayoritas sehingga merasa ekslusif. Seseorang berhak untuk merokok tetapi hargai juga hak orang yang tidak merokok terutama penegakan aturan larangan merokok di lingkungan akademik.”

Menurut Fuad Baradja, dirinya tidak heran jika penerapan aturan larangan merokok di lingkungan kampus sulit dilaksanakan. Pertama, masih kurangnya pemahaman masyarakat kampus tentang bahaya asap rokok dimana yang merokok tidak sadar dan yang tidak merokok juga belum sepenuhnya mengerti bahwa dirinya sedang dalam posisi yang berbahaya akibat asap rokok orang lain. Kedua, dia meyakini adanya usaha industri rokok untuk menggagalkan usaha tersebut dengan memberikan sponsor untuk acara acara kegiatan mahasiswa , seperti musik , pentas seni dan lain-lain. Industri rokok mengharap dukungan agar smokefree campus tidak bisa dijalankan karena menjadi ancaman bagi keberlangsungan pemasaran rokok kepada para remaja atau mahasiswa yang diharapkan menjadi calon-calon pelanggan tetap. Ketiga, masih banyaknya dosen yang merokok , sehingga sering mementahkan usaha menjadikan kampus yang bebas asap rokok ini. Oleh karena itu, membuat smokefree area merupakan suatu keharusan jika Universitas Indonesia ingin disejajarkan dengan perguruan tinggi di dunia. Hal ini untuk menjamin lingkungan kampus yang kondusif, bersih, dan sehat tanpa asap rokok .

Mengutip pernyataan Jausyankabir, “sepertinya pemerintah tidak akan pernah menghapus larangan merokok di negeri tercinta ini. Merokok itu sudah bagian dari sistem pemerintahan. Masih banyak para menteri, gubernur, bupati yang merokok. Merokok itu sudah bagian dari sistem ekonomi kita. Masih banyak pelaku usaha dan karyawan yang merokok. Merokok itu bagian dari sistem pendidikan. Masih banyak dosen, guru, dan mahasiswa yang merokok. Merokok sudah merupakan bagian dari hidup kita.” Merokok adalah sebuah kebebasan, namun seharusnya kebebasan tersebut tidak mencederai diri sendiri dan orang di sekitarnya.

Hey para perokok aktif... Hentikan ulah kalian!!! Okelah jika kalian tidak peduli dengan kesehatan kalian dan bahaya-bahaya yang mengancam jiwa kalian. Tapi minimal tunjukkan toleransi kalian kepada kami para perokok pasif. Kalian memang tidak berdosa dengan merokok, mungkin itu yang membuat kalian dengan santai dan leluasa melanjutkan aktifitas membakar uang setiap hari. Silahkan merokok tapi merokoklah di tempat yang tepat atau kalau kalian tidak mau : Kami Perokok Pasif Menuntut Kalian Membayar Eksternalitas Negatif atas Kenikmatan Kalian yang Membunuh Kami Secara Perlahan!!!

Oleh : Alia dan Vimala
Bagian dari EP yang telah diubah sedikit :D

Optimalisasi Peran LKMS dalam Pemberdayaan Usaha Mikro Guna Mengurangi Angka Kemiskinan di Indonesia


Abstraksi
Esai ini mengungkap tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) dan optimalisasi peranannya dalam pemberdayaan usaha mikro guna mengurangi angka kemiskinan di Indonesia melalui penciptaan lapangan kerja bagi pengangguran. Berbagai strategi telah dilakukan untuk menstimulus keberadaan usaha mikro, namun usaha mikro tetap menghadapi beberapa hambatan berupa akses modal yang terbatas dan dihadapkan dengan peraturan-peraturan yang masih cukup menyulitkan dari Lembaga Keuangan Mikro Konvensional (LKMK). Strategi yang saat ini dirasa paling tepat untuk memberdayakan usaha mikro adalah mengoptimalisasi peran dari LKMS. Pemberdayaan LKMS yang menggunakan prinsip bagi hasil memberikan kesempatan bagi masyarakat miskin dan sangat miskin sebagai subyek yang aktif berperan dalam upaya pemberantasan kemiskinan melalui peminjaman modal untuk memulai usaha. Sayangnya tidak semua LKMS berhasil menjalankan misi pemberdayaan usaha mikro karena kurangnya modal, tidak adanya payung hukum yang jelas, dan resiko yang dihadapi. Strategi untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah pembentukan manajemen resiko LKMS, kerjasama pemerintah dengan LKMS dalam penyaluran modal, dan pembentukan UU LKMS. Keberadaan LKMS sejauh ini memberikan konstribusi positif dalam peran aktifnya memberdayakan usaha mikro, yaitu menciptakan lapangan kerja, meningkatkan produktifitas masyarakat miskin dan sangat miskin, mencegah ketimpangan distribusi pendapatan, dan pada akhirnya mengurangi angka kemiskinan sehingga solusi untuk mengatasi hambatan yang ada harus diilaksanakan.
Kata Kunci : Pengangguran, Kemiskinan, Usaha Mikro, LKMS, Indonesia.

Alia Noor Anoviar (0906490645)
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

I.                   Pendahuluan
Badan Pusat Statistik (BPS) berpendapat bahwa indikator nominal rata-rata kemiskinan di Indonesia sebesar Rp 211.000 per bulan per orang berdasar tingkat kebutuhan makanan dan non makanan. Sementara itu, Bank Dunia telah membuat pengukuran relatif mengenai kemiskinan dengan berstandar pada konsep purchasing power parity, yakni mulai dari standar US$ 1 , US$ 1,25 hingga US$ 2 per hari. Menurut Bappenas, kemiskinan adalah ketidakmampuan dalam memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Berdasarkan tiga pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kemiskinan adalah suatu keadaan yang menunjukkan ketidakmampuan dalam memenuhi hak-hak dasarnya untuk hidup layak. Namun terdapat perbedaan indikator nominal antara standar kemiskinan yang ditetapkan oleh BPS dan Bank Dunia berkisar antara Rp 91.000 – Rp Rp 391.000 per bulan jika kurs $ diasumsikan Rp 10.000 dan dalam satu bulan diasumsikan 30 hari.
Anggota Komisi II DPR RI Budiman Sudjatmiko (2011) mengungkapkan bahwa Indonesia adalah satu-satunya negara dalam zona merah yang mengklaim berada di zona biru dalam hal kemiskinan. Tingkat kemiskinan domestik Indonesia berdasarkan data BPS menunjukkan posisinya di zona biru atau di bawah 20 persen. Padahal menurut standar Bank Dunia, Indonesia berada di zona merah dengan tingkat kemiskinan antara 41 persen sampai 60 persen. Level ini sama dengan beberapa negara Afrika, Yaman, Pakistan, Mongolia, Vietnam, dan Philipina.[1]
Menurut Rafiqoh Rokhim (2011)[2], jumlah penduduk miskin di Indonesia mengalami penurunan karena adanya KUR dan Program BLT. Sejak tahun 2006 sampai dengan 2010 berturut-turut sebesar 39,1 juta jiwa, 37,2 juta jiwa, 35,0 juta jiwa, 32,5 juta jiwa, dan per 2010 menurun kembali menjadi 31,02 juta jiwa. Hal ini berkorelasi positif dengan tingkat pengangguran yang juga menurun dari 10,28 % per Agustus 2006 menjadi 7,14 % per Agustus 2010 (BPS, 2010).
Berbagai program telah dilaksanakan dalam rangka pengentasan kemiskinan, namun masih terjadi banyak hambatan untuk menuju Indonesia bebas kemiskinan, misalnya pemerintah masih memosisikan masyarakat miskin dan sangat miskin sebagai objek daripada subjek dengan memberikan BLT. Seharusnya mereka dijadikan sebagai subjek, yaitu sebagai pelaku perubahan yang aktif terlibat dalam aktivitas program penanggulangan kemiskinan, salah satunya dengan memberikan Kredit Usaha Rakyat (KUR). Upaya dalam mengurangi angka pengangguran harus dilakukan karena memiliki korelasi terhadap angka kemiskinan. Upaya besar yang telah dilakukan sejauh ini adalah proyek Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri) yang telah menyebar hingga pelosok desa. Program ini memicu tumbuhnya UMKM terutama dalam skala usaha mikro sehingga dapat mengembangkan sektor riil Saat jumlah orang yang menganggur meningkat akan maka angka kemiskinan dan masalah sosial meningkat pula. di Indonesia.[3] Namun program ini juga mengalami hambatan, misalnya di Kabupaten Bireun terrdapat masalah dana tersendat sehingga proyek PNPM terlantar.[4]
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008, usaha mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria kepemilikan aset maksimal Rp 50.000.000,- dan omset maksimal Rp 200.000.000,-. Menurut Hendro Wibowo [5](2011), usaha mikro saat ini mencapi 99,9 % dari total UMKM di Indonesia yang memiliki potensi untuk dikembangkan sehingga mampu menampung pengangguran yang ada. Namun usaha mikro kerap kali tersendat masalah permodalan sehingga perlu adanya sarana pembiayaan. Sejauh ini telah ada Lembaga Keuangan Mikro Konvensional (LKMK) yang berperan aktif memberikan pinjaman pada UMKM, namun LKMK hanya memiliki sasaran pembiayaan orang miskin. Sementara itu, bagi orang sangat miskin seringkali tidak memiliki akses terhadap permodalan sehingga keberadaan Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) menjadi solusi potensial bagi kalangan tersebut untuk memiliki usaha mikro sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan pribadi pada khususnya dan mengurangi angka kemiskinan pada umumnya. LKMS dapat berbentuk lembaga keuangan bank, misalnya Bank Muamalat, dan non bank, misalnya BMT.
Lembaga Keuangan Mikro (LKM) ada untuk menolong masyarakat sangat miskin sehingga mereka mampu menolong dirinya sendiri. Dalam kerangka itu, keuangan mikro dimaksudkan memberikan dukungan yang akan memberdayakan berbagai kemampuan yang dimiliki masyarakat miskin atau pengusaha kecil. Pemberdayaan usaha mikro melalui LKMS merupakan langkah strategis dalam menghadapi masalah klasik usaha mikro, yaitu akses terhadap modal yang terbatas.  Hadi Paramu (2011)[6] menjelaskan bahwa persoalan mendasar usaha mikro adalah financial accessibility sehingga LKMS perlu memperhatikan hal ini sehingga usaha mikro yang menjadi target bisa mampu mengakses.
Tujuan penulisan esai ini adalah untuk mengkaji alternatif strategi yang dapat dikedepankan guna memutuskan mata rantai kemiskinan melalui pemberdayaan usaha mikro di Indonesia sebagai penggerak sektor riil yang menyentuh masyarakat miskin dan sangat miskin dengan optimalisasi sarana pembiayaan LKMS.


II.                Pembahasan
2.1.      Perbedaan LKMK dan LKMS
Tabel 1 akan menggambarkan perbedaan antara Lembaga Keuangan Mikro Konvensional (LKMK) dan Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS).

Tabel 1 : Perbedaan antara LKMK dan LKMS[7]
Faktor
LKMK
LKMS
Sumber pendanaan
Dana pihak ketiga dan dana donor.
Dana pihak ketiga dan dana yang bersumber dari amal.
Jenis pembiayaan
Berbasis bunga.
Bagi hasil, margin, dan ujrah (instrumen keuangan islam).
Sasaran pembiayaan
Orang miskin yang produktif.
Orang sangat miskin dan orang miskin produktif.
Transfer pendanaan
Tunai.
Produk.
Biaya pinjaman
Sebagian dana pinjaman
Tidak dikenakan biaya.
Target kelompok
Wanita.
Keluarga.
Tujuan pembiayaan
Pemberdayaan wanita.
Mendapatkan ketentraman dan meningkatkan kesejahteraan
Penanggung jawab pinjaman
Penerima pinjaman.
Penerima dan pasangannya.
Dorongan untuk bekerja
Moneter.
Perintah agama dan moneter.
Solusi gagal bayar
Tekanan dan ancaman dari kelompok.
Jaminan dari pasangannya, kelompok, dan etika islam.
Program pengembangan sosial
Sekuler, etika, dan sosial.
Keagamaan, etika, dan sosial.



2.2.      Potensi LKMS dalam Pemberdayaan Usaha Mikro di Indonesia
Penulis pada tahun 2008 mengadakan riset mengenai “Peran Lembaga Keuangan Mikro (LKM) dalam Mengurangi Angka Kemiskinan di Indonesia”.  Berdasarkan hasil penelitian lapangan yang dilaksanakan pada 100 nasabah LKM BRI Unit Jenggawah, Kecamatan Jenggawah, Kabupaten Jember secara acak menunjukkan bahwa peranan BRI sebagai LKM cukup efektif dalam upaya mengurangi angka kemiskinan di wilayah Jenggawah yang merupakan daerah sampel. Hal ini terbukti dengan meningkatnya pendapatan nasabah, adanya pendapatan yang dapat disisihkan untuk ditabung, dan terciptanya lapangan kerja baru.[8] Namun hasil penelitian tersebut juga mengindikasikan adanya kekurangan dari LKMK, yaitu masih adanya kredit macet karena peminjam dana tidak memiliki kesadaran dalam pengembalian dana dimana dana yang seharusnya ditujukan untuk kegiatan produktif dialihkan menjadi kegiatan konsumsi artinya pengawasan dari pemberi pinjaman kurang ketat. Selain itu, masih banyak dari masyarakat di lokasi penelitian yang meminjam dana dari renternair, umumnya masyarakat kategori sangat miskin. Sistem bunga yang diberlakukan atas peminjaman wirausaha mikro kepada LKMK ternyata cukup memberatkan karena terdapat probabilitas usaha mikro yang didirikan tidak mampu bertahan dan mengalami kebangkrutan sehingga mereka tidak hanya terbatas dalam kemampuan pengembalian dana pinjaman, tetapi juga tidak mampu mengembalikan bunga atas pinjaman.
Persoalan-persoalan yang telah dijelaskan mengindikasikan bahwa para wirausaha mikro terutama dari kalangan masyarakat sangat miskin memiliki keterbatasan dalam mendapatkan akses modal dari LKM Konvensional. Dilema ini menjadi potensi untuk mengoptimalisasi peran LKMS sebagai alternatif sumber pendanaan untuk menggerakkan sektor riil di Indonesia.  Tabel 1 menjelaskan beberapa perbedaan LKMK dan LKMS dengan jelas. Beberapa hal sebagaimana yang telah diungkap berdasarkan penelitian penulis (2008) akan diperbandingkan jika sarana pembiayaan yang digunakan para wirausaha mikro tersebut adalah LKMS.
1.      Kredit macet dapat diawasi dengan pendampingan kepada wirausaha mikro sehingga tidak mengalami kegagalan dan perlu dibentuk kesadaran secara spiritual untuk mengembalikan pinjaman yang diterima dari LKMS. Pendampingan juga memperkecil probabilitas penyalahgunaan dana pinjaman, meskipun tidak dapat dielakkan.
2.      Masyarakat yang masih meminjam pada renternair padahal pada lokasi tersebut terdapat LKMK, alasannya adalah tidak memiliki agunan atau tidak memenuhi persyaratan peminjaman padahal usaha mereka produktif, terutama masyarakat kategori sangat miskin. Sasaran pembiayaan dari LKMS adalah masyarakat sangat miskin dan miskin sehingga jika peran LKMS dalam diperluas dan dioptimalisasi maka akan mampu memberdayakan usaha mikro secara luas.
3.      Saat para wirausaha mikro mengalami kebangkrutan maka tetap berkewajiban mengembalikan pinjaman beserta bunga pada LKMK. Jadi dapat diistilahkan sudah jatuh tertimpa tangga. Sementara pada LKMS, dilakukan pembimbingan terhadap usaha mikro tersebut selama berjalan, sebagaimana yang dilakukan pada BMT Halal Bank pimpinan Hendro Wibowo, dengan sistem bagi hasil sehingga saat mengalami kebangkrutan hanya mengembalikan dana pokok.
Peran sentral LKMS dalam pemberdayaan usaha mikro dapat dikatakan semakin penting. Hendro Wibowo (2011) mengungkapkan bahwa usaha mikro saat ini mencapai 99,9 % dari total UMKM secara keseluruhan sehingga memiliki potensi untuk berkembang pesat. Meskipun sumbangan dari usaha mikro jauh lebih kecil dibandingkan usaha kecil, menengah, dan besar, keberadaan usaha mikro dapat menjadi penggerak masyarakat sangat miskin dan miskin. Usaha mikro akan membuka lapangan kerja bagi pengangguran sehingga mengurangi masalah sosial yang ada saat ini. BMT Halal Bank yang didirikan Hendro dan kawan-kawan mengalami peningkatan pesat dimana awalnya bermodal aset jutaan rupiah menjadi 50 Miliar di tahun 2011. Efek dari peminjaman dana bagai usaha mikro tidak hanya mampu mengembangkan usaha mikro yang dibimbing, namun juga mampu mengembangkan BMT Halal Bank.
Keberadaan LKMS sebagai alternatif pendanaan penggerak sektor riil di Indonesia yang jelas memiliki kontribusi positif ternyata tidak terlepas dari berbagai hambatan terutama terkait resiko yang dihadapi. Hendro Wibowo (2011) menjelaskan bahwa LKMS tidak memiliki payung hukum dalam artian Undang-Undang LKMS dan keterbatasan modal dalam penyaluran dana bagi usaha mikro. Muchamad Setiawan (2010) menjelaskan resiko yang dihadapi LKMS sama dengan resiko yang dihadapi perbankan, meskipun LKMS merupakan lembaga keuangan bukan bank.  Resiko terbesar yang dihadapi LKMS adalah resiko kredit karena peminjam juga berasal dari masyarakat sangat miskin yang memiliki berbagai keterbatasan pengelolaan usaha.

2.3.      Strategi LKMS dalam Mengentaskan Masalah Kemiskinan di Indonesia
Strategi yang dapat ditempuh untuk mengoptimalisasi peran LKMS dalam pengembangan usaha mikro guna mengurangi angka kemiskinan di Indonesia, yaitu sebagai berikut.
1.      Pertama, mengenai potensi resiko maka LKMS harus membuat manajemen resiko LKMS sehingga dapat meminimalisasi kemungkinan resiko yang terjadi, terutama resiko kredit. Sekedar perbandingan sekaligus memberikan alternatif strategi minimalisasi kredit macet untuk diterapkan pada LKMS di Indonesia, Hadi Paramu (Oktober, 2010) mengunjungi CARD Bank di Filipina yang mirip dengan LKM karena mempunyai visi untuk mengentaskan kemiskinan. Hal yang menarik adalah bank tersebut tidak saja memberikan technical assistance yang terkait dengan pengelolaan bisnis para nasabahnya dalam bentuk pelatihan usaha dan pemberian modal murah, tetapi juga konsultasi tentang permasalahan sosial ekonomi keluarga nasabah seperti persoalan sekolah anak nasabah, kesehatan keluarga, dan lain-lain. Intinya, LKM seharusnya tidak bergerak dari sisi bisnis pemberian kredit murah saja tetapi juga menyentuh pada sisi non bisnis dari para nasabahnya. Secara tidak langsung, upaya atau strategi ini bisa mengurangi kredit macet hingga kurang dari 5% dari total pinjaman. CARD Bank dapat menjadi proyek percontohan bagi LKMS.
2.      Kedua, program KUR yang digalakkan oleh pemerintah mengalami selisih dana sebesar Rp 3,8 triliun, dana yang awalnya hendak disalurkan adalah Rp 18 triliun dan hanya disalurkan Rp 14,2 triliun (Hendro Wibowo, 2010). Pemerintah hendaknya menggandeng LKMS untuk menyalurkan KUR sehingga bisa tepat sasaran terutama menggerakkan masyarakat sangat miskin dan masyarakat miskin di Indonesia agar produktif. Masyarakat tersebut tentu juga memiliki potensi sehingga perlu dilakukan bedah potensi masyarakat miskin dan sangat miskin untuk meningkatkan kesejahteraan. Bila memungkinkan, di setiap desa ditugaskan seorang konsultan untuk memberi pengarahan pada mereka dalam melaksanakan kegiatan usaha mikro yang dimiliki. Dengan dukungan permodalan dari pemerintah, LKMS tidak akan kesulitan mencari dana untuk disalurkan sebagai modal usaha.
3.      Ketiga, terkait dengan tidak adanya payung hukum bagi LKMS maka perlu dibentuk Undang-Undang LKMS. Hal ini dimaksud untuk menjamin keberadaan LKMS dapat terjamin secara legal dan dipercaya oleh investor untuk menyimpan dana sehingga bisa disalurkan untuk menggerakkan sektor riil melalui peran aktif masyarakat miskin dan sangat miskin dengan membangun usaha dan mendapat kepercayaan dari masyarakat secara umum.
Melalui strategi yang ditawarkan atas permasalahan yang terjadi terkait LKMS di Indonesia, penulis mengharapkan LKMS dapat mengoptimalkan perannya dalam pemberdayaan usaha mikro sehingga mampu mencapai tujuan utama, yaitu mengurangi angka kemiskinan di Indonesia.


III.             Kesimpulan dan Saran
            Kemiskinan merupakan isu sentral yang kronis dan harus cepat diatasi dengan strategi yang tepat untuk memutuskan mata rantai kemiskinan di Indonesia. Terutama fokus pada pemberdayaan usaha mikro dengan efektif. Pelibatan LKMS sebagai sumber mitra pemerintah dalam penyalur  modal terhadap masyarakat sangat miskin dan masyarakat miskin dapat menunjang keberhasilan dalam memutuskan mata rantai kemiskinan di Indonesia. Alternatif solusi dalam esai ekonomi syariah yang diajukan oleh penulis, mencoba menjawab berbagai persooalan yang menempa keberadaan LKMS. Peran aktif pemerintah dan masyarakat dalam mendukung optimalisasi peran LKMS dalam memberdayakan usaha mikro sangat dibutuhkan untuk terealisasinya Indonesia bebas dari kemiskinan.


[1] Sumber : http://www.kaskus.us/showthread.php?p=369886955
[2] Rafiqoh Rokhim, SE, SIP, DEA, Ph.D dalam Kelas Pasar dan Lembaga Keuangan (PLK), Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 2011.
[3] Sumber : http://matanews.com/2010/02/28/dana-pnpm-bojonegoro-565-miliar/
[4] Sumber : http://www.pnpm-mandiri.org/index.php?option=com_content&view=article&id=155&Itemid=66&lang=in
[5] Diskusi dengan topik “Ekonomi Islam Solusi Membangun Peradaban” di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 9 Maret 2011.
[6] Penulis berkomunikasi dengan Hadi Paramu, SE, MBA, PhD, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Jember melalui message facebook. 8 Maret 2011.
[7] “Financing Microenterprises : An Analitical Study of Islamic Microfinance Institution” dalam Islamic Economic Studies Journal, Vol. 9 No. 2, Maret 2002.
[8] Anoviar, dkk. “Peranan Lembaga Keuangan Mikro dalam Mengurangi Angka Kemiskinan di Indonesia. Studi Kasus : LKM BRI Unit Desa Jenggawah, Jember.” Juara 1 Lomba Karya Tulis Ekonomi SMA. KOMPeK 10, FEUI.

Dibuat untuk mengikuti Lomba Seminar Ekonomi Syariah
Sayangnya belum beruntung :D