20110622

Eksistensi Randai di Tengah Memudarnya Budaya Indonesia

Warisan Budaya Indonesia Menjadi Tanda Tanya
Indonesia merupakan negara yang kaya terutama akan budaya. Tercatat lebih dari 20 suku dan lebih dari 100 budaya berada di di Indonesia. Namun sungguh ironis, kebudayaan asli Indonesia terlihat tertinggal oleh zaman akibat perkembangan gaya hidup dan teknologi masa kini sehingga kelalaian tersebut menyebabkan setidaknya terdapat 24 kesenian dan budaya Indonesia dicuri oleh negara lain dan mungkin ratusan budaya di Indonesia yang mulai dipertanyakan keberadaannya, berubah makna dan bentuknya.

Hal tersebut diiyakan oleh pengajar utama Institut Kesenian Jakarta, Tom Ibnur, yang menyatakan bahwa sebagian besar budaya Indonesia dalam kerangka kesenian memang dirasakan meredup. “Tinjauan dan penelitian saya melalui Program Revitalisasi Seni Budaya dan Seni Pertunjukan Tradisional Indonesia di beberapa kawasan menunjukkan bahwa banyak budaya yang rapuh, mati, dan tertatih-tatih karena kurang dan sangat tidak diperhatikan. Namun masih ada beberapa daerah yang memelihara kebudayaannya dengan baik meskipun tidak mendapatkan perhatian juga, terutama dari pihak Pemerintah,” ungkapnya kepada Economica. Pada umumnya, kesenian yang hanya menggandalkan visual sebagai hiburan kasat mata akan lebih banyak diarahkan untuk kepariwisataan dan hiburan televisi atau media lainnya.

Sederet alasan melatarbelakangi meredupnya budaya Indonesia. Kondisi ini memperlihatkan tidak adanya pembinaan yang bersifat kontinyu, kurangnya perhatiaan dan selera masyarakat terhadap budaya tradisional karena dianggap kuno dan ketinggalan zaman, sangat rendahnya apresiasi seni tradisional bagi generasi muda melalui sekolah maupun media lain, serta dana yang terbatas untuk membangun kesadaran masyarakat terhadap seni tradisional. Budaya yang merupakan salah satu aspek pembentuk bangsa kerap kali dipandang tidak berharga. Budaya seharusnya menjadi penetral kondisi Indonesia saat ini agar kesatuan dan persatuan bangsa dapat dipertahankan. Namun tentunya tidak dapat digeneralisasikan bahwa semua masyarakat yang tidak peduli pada budaya di daerah masing-masing. Masyarakat Minang misalnya, masih mempertahankan salah satu budaya yang dimainkan oleh pemuda-pemudinya yaitu tari Randai.


Randai : Budaya Pemuda-Pemudi Minang yang Mengakar Kuat

“Siulan Domo yang berpitunang itu telah menghipnotis Puti Amban dari tidurnya. Kemudian di tengah gelap gulita malam, Puti Amban yang tertidur lelap melangkah tak sadar menuju rumah Domo. Sesampainya disana mereka bergumul, sepasang makhluk Tuhan tengah menikmati malam mereka. Mereka tahu itu adalah dosa besar, dan tanpa sadar paginya mereka telah di tunggu puluhan pemuda yang hendak menghakimi. Para Datuk dan para Pemuka Agama memutuskan untuk mengusir Domo dan Puti Amban dari kampung. Dosa mereka tak diampuni secara agama dan adat.”
Kutipan naskah Randai berjudul Putri Amban di atas menceritakan tentang sepasang manusia yang melanggar norma agama dan norma adat sehingga diusir dari kampung halamannya. Domo menggunakan keahliannya dalam bersiul untuk menghipnotis seorang wanita dan mendatangi kediamannya, padahal wanita itu sepersukuan dengannya. Puti Amban yang seorang janda seharusnya menjaga nama baik keluarganya. Meskipun dia dihipnotis, setelah sadar berada di rumah Domo dan tersadar justru terbawa oleh nafsu.
Randai adalah salah satu kesenian dari ranah Minangkabau, Sumatera Barat, yang dimainkan oleh para pemuda-pemudi yang kerap kali digunakan sebagai alat komunikasi budaya kepada masyarakat. Berbagai adat istiadat, tatakrama, kehidupan bermasyarakat, dan pemahaman budaya dapat ditemukan dari pergelaran sebuah Randai. Kesenian ini merupakan konsep teater rakyat dimana memperlihatkan perpaduan antara unsur-unsur sastra, drama teater, seni tari, musikal, dan pencak silat yang dapat dibawakan dengan serius dan komedi. Setiap kelompok Randai setidaknya berjumlah 20 pemain akan membentuk gerakan melingkar lalu pemeran akan tampil di tenah longkaran untuk menyampaikan isi cerita melalui seni peran teater atau drama. Mereka menggunakan gerakan-gerakan pencak silat dan dipadukan dengan kreatifitas yang disebut dengan legaran. Lalu, terdapat babak-babak selama permainan yang mengalirkan sebuah cerita. Pergantian antara babak-babak ditandai dengan legaran yang diiringi musik tradisional dan nyanyian yang menceritakan kesimpulan dari babak sebelumnya dan gambaran akan babak selanjutnya. Peran dalam randai dimulai dari penari galombang yang kemudian menjadi penari legaran randai, “ tukang musik” sebagai iringan tari dan pembangun suasana, pelakon, “tukang dendang” atau vokalis, “tukang aliah” atau pengatur laku dalam gerak dan lagu, “janang” sebagai pengatur acara. Uniknya, penonton duduk melingkar sehingga dapat memilih dari mana akan menikmati keindahan Randai. Bagi masyarakat Minang, seni bukanlah sebuah pertunjukan tetapi lahir karena sebuah peristiwa. Begitu pula dengan Randai, ceritanya diambil dari legenda atau cerita rakyat setempat dan para pendukungnya semua terdiri dari laki-laki. Namun sejak tahun 70-an, perempuan diikutsertakan sebagai cermin perubahan zaman. 

Semasa orde baru, Departemen Penerangan bahkan memanfaatkan Randai sebagai alat penyampai berita dan propaganda, misalnya cerita tentang Keluarga Berencana (KB). Eksistensi Randai sampai saat ini didukung oleh kebijakan pemerintah daerah untuk mewajibkan setiap SMP di Padang memiliki satu grup Randai sebagai upaya pelestarian budaya Minang. Sebagaimana yang dijelaskan oleh salah seorang pemudi Minang, Ayunda Octavia, “Randai itu masih ada di tempat yang budayanya masih kental seperti di Bukit Tinggi dan Padang Panjang. Kalau di Padang sendiri, ada pelajaran Budaya adat Minangkabau tapi terakhir didapat waktu SMP dan di SMA sudah mengarah ke seni secara umum.”

Menurut sastrawan A.A Navis (alm) “Randai yang terlihat seperti sekarang, dengan penampilan unsur lakon, lahir semenjak siswa Sekolah Raja (Kweekschoo) di Bukittinggi pada tahun 1924 mengangkat certa “Cindua Mato” ke pentas sandiwara dengan menggunakan bahasa Minangkabau.” Randai berkembang sesuai perkembangan zaman. Pemuda-pemudi Minang berhasil menangkap makna positif dari modernisasi. Randai dapat bertahan juga karena selalu mengalami penyesuaian karakternya dalam setiap komunitas atau lingkungan masyarakatnya. Sehingga apa yang dikomunikasikan dalam Randai dapat berfungsi sebagai informasi yang dinamis dan aktual.

Pertunjukan Randai sesungguhnya juga dapat meningkatkan ekonomi rakyat sebagaimana yang diungkapkan oleh Tom Ibnur. Kenapa tidak, setiap ditampilkan di berbagai kampung, akan diramaikan oleh penjaja makanan dan lainnya. Bisa dibayangkan berapa  jual beli yang diraupnya dari senja hingga pagi hari. Karena randai biasanya digelar mulai setelah shalat Isya hingga menjelang subuh. Kekhawatiran Tom Ibnur saat ini adalah pemain randai yang merupakan orang cerdas tidak satupun memiliki catatan skenario, namun menyimpannya dalam otak masing-masing sehingga jika satu persatu mereka berpulang maka budaya ini akan hilang terbawa ke liang kuburnya.

Menariknya Randai di Mata Dunia Internasional

Dr Christine Pauka, seorang Doktor dari University of Manoa, Hawaii mengungkapkan pada tesisnya, “Saya kagum pada Randai, sama seperti kekaguman saya pada karya-karya hebat William Shakespeare.” Sebagaimana yang diketahui tentang sosok William Shakespeare, sastrawan sekaligus penulis teater terkenal dari Inggris yang telah menulis ratusan naskah teater yang mendunia seperti Romeo dan Juliet. Ungkapan Dr Christine Pauka merupakan sinyal positif dari potensi Randai di dunia Internasional untuk dipertunjukkan.

Potensi dari Randai untuk dinikmati harus diakomodasi sehingga bisa menggaung secara nasional dan internasional. Tom Ibnur memberikan berbagai masukan untuk mengakomodasi Randai agar tampak profesional di mata internasional. Pembinaan yang serius dan kontinyu harus dilaksanakan sebagai langkah awal. Lalu memberi dukungan fasilitas dan pendanaan, meningkatkan manajemen atau pengelolaannya agar dapat lebih terbuka dan global, memberi peluang berpentas dalam berbagai kesempatan, menjadikan salah satu apresiasi dalam kurikulum kesenian di sekolah, membuat event festival yang menetap, dan promosi yang tepat. Poin terpenting yang harus dilakukan adalah mengembangkan konsep Randai sebagai pola pertunjukan yang dapat menampilkan bukan hanya legenda atau cerita rakyat setempat saja, tetapi juga dapat dengan isian cerita-cerita yang sifatnya global. Randai dapat menjadi titik inspirasi yang kuat dalam penciptaan karya seni. Salah satunya “Randai Gadang Si Gulambai” yang diciptakan pada tahun 1996 dan dipertunjukan di Minangkabau Arts Centre, Sungai Baringin, Limo Puluh Koto, yang didukung oleh 250 orang.

Randai yang tengah memasuki ranah global tentu tidak luput dari nama besar seperti Chairul Harun (alm) yang merupakan penulis, pembina, dan penggerak kelompok Randai di Sumatera Barat. Indija Mohjoeddin merupakan penulis dan konseptor Randai untuk menuju fungsi global di Australia dan nama-nama lainnya.

Alfin Abrar, seorang pelatih randai saat ditemui Economica mengungkapkan bahwa grup Randai sekolahnya, SMA 1 Padang Panjang, pernah menjadi juara 1 pada International Arts Festival 2008 silam. Hal ini merupakan wujud dari segenap upaya untuk mempertahankan eksistensi Randai yang kemudian berbuah prestasi. “Kemauan dari anak-anak muda sebagai penggerak kemajuan budaya harus lebih keras dalam berpartisipasi dalam memelihara eksistensi randai” Ungkap Alfin yang akrab dipanggil Capiang ini.

Indonesia tidak hanya punya Randai, namun juga punya jutaan karya seni. Randai dapat dijadikan sebagai model percontohan bagaimana menariknya budaya di Indonesia yang mulai redup tak berdaya. Merupakan tugas dan kewajiban kita juga untuk melakukan segenap upaya agar semua kebudayaan kita dapat dikenal dan dinikmati oleh penduduk di dunia atau minimal dalam skala nasional. Guna mewujudkan itu semua, seluruh pihak harus ikut berpartisipasi. Pemerintah harus memfasilitasinya melalui Kementrian Budaya dan Pariwisata. “Sediakan tempat latihan dan fasilitas yang memadai, tidak hanya untuk Randai, tapi juga kesenian lain” jelas Alfin.

“Proses asimilasi dan akulturasi yang terjadi saat ini saat mengkhawatirkan. Kebudayaan asli kita semakin terkikis. Rendahnya perhatian pemerintah terhadap hal ini semakin memperburuk keadaan ini” Ungkap Ibnu Budiman, mantan Ketua Ikatan  Mahasiswa Minang – Universitas Indonesia (IMAMI-UI). Kekhawatiran Ibnu sepertinya beralasan. Sudah jarang sekali kita menemukan orang yang peduli dengan kebudayaan mereka sendiri. Akhir-akhir ini saja banyak yang mulai peduli, seperti batik. Ketika negara tetangga mulai gencar untuk mengakui budaya itu, barulah pemerintah kalang kabut mengurusnya ke UNESCO sebagai warisan budaya Indonesia.

“Bila tak ingin kehilangan budaya sebagai warisan bangsa mulailah untuk memelihara, mempelajari,  memahami, dan menumbuhkan rasa bangga akan warisan tersebut. Pilihan untuk mendalami seni budaya secara praktis dan keilmuan. Jadikan pilihan yang kuat karena tidak banyak yang ingin untuk bidang tersebut, karena banyak yang menginginkan profesi yang bukan seni, yang katanya tidak menjanjikan apa-apa untuk materi bagi kehidupan. Tapi dia hanya menjanjikan kepuasan batin yang tak dapat dinilai dengan uang. “ Pesan Tom Ibnur kepada generasi muda penerus bangsa di Indonesia.

Oleh : Alia Noor Anoviar, Jombang Santani Khairen, Nanda Rizki Fauziah.

No comments: