20131229

3 Cerita Terbaik Hidup Saya di Tahun 2013

Tahun 2013 akan berlalu, sebelum menyelesaikan detik-detik terakhir *ceilahhh* menuju 2014 jadi tergelitik pengen review apa aja yang sudah terjadi di tahun 2013 :) Dan akhirnya pengen nge-share 3 hal terbaik di tahun 2013 ini, yukkk simak *siapa mau simak?* :p

1. The Complete Banker (TCB) Batch 8 CIMB Niaga (Desember 2013)

Setelah melewati berbagai tahap tes (Administration, Psikotest, HR Interview, Head of Interview, Business Presentation, Director Interview, Med-Check Up, Offering Letter) akhirnya sah juga mengikuti pendidikan perbankan selama 1 tahun di CIMB Niaga, mohon doanya ya teman-teman semoga lulus sampai akhir karena banyak tantangan dan semoga saya bisa :)






2. Dreamdelion


Alhamdulillah Dreamdelion melukiskan banyak kisah di tahun 2013 ini, Alhamdulillah semakin banyak yang konsisten untuk berkontribusi melalui bisnis sosial bersama kami :) Alhamdulillah semakin banyak rekan kolaborasi. Namun tentu masih banyak perbaikan yang harus kami lakukan, semoga keluarga ini selalu bersama dalam kebaikan dan semakin maju tentunya :D Amin Ya Allah :D







3. Yudisium dan Wisuda (Agustus 2013)

Hal terbaik yang terjadi di tahun 2013 ini adalah bisa lulus dari FEUI pada Agustus 2013 lalu dan Alhamdulillah Allah mempercayakan 2 hal pada saya, yaitu Cum Laude & Lulusan Terbaik Bidang Sosmas. Tapi lebih dari hal-hal yang sudah saya sebutkan sebelumnya, Ibu dan Bapak saya bisa hadir pada salah satu hari bersejarah dalam hidup saya tersebut. Ibu datang saat Yudisium dan Bapak datang saat Wisuda. 
"Meskipun kalian berdua sudah tidak bersama, via yakin kalian akan selalu ada pada saat-saat terburuk dan terbaik dalam hidup via..."
Selain itu teman-teman Dreamdelion datang dengan membawa kue tart ulang tahun ke-22 dan juga spanduk bertulisan suatu hal yang 'sesuatu' hahahaaa... Ibu-ibu Manggarai datang, Alhamdulillah. Bunda rini juga datang :))) Tante Mien setia menemani selama wisuda, keluarga dari Lampung pun datang kyaaaa makasih Mama dan Papa Toto.

Then, saya sadar kalau dunia pasca kampus akan semakin menantang tapi saya sudah memiliki rencana-rencana hidup yang akan saya laksanakan. Saya percaya Allah sudah mempersiapkan rencana terbaik-Nya untuk saya pasca lulus sarjana :D 

Sederet TO DO LIST menunggu eksekusinya, SEMANGATTT!!!

Alia Noor Anoviar, S.E.
Yudisium Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Wisuda Universitas Indonesia

Bersama keluarga Dreamdelion :)



20131224

Kajian tentang Bisnis Sosial (Social Entrepreneurship) - Bagian 4 s/d 6 dan Kesimpulan

Peran Universitas dalam Pengembangan Social Entrepreneurship
Sebenarnya tidak perlu diragukan tentang kapabilitas Indonesia dalam menciptakan social entrepreneur, mengingat Indonesia saat ini memiliki pemuda-pemudi (mahasiswa) yang tengah menimba ilmu di berbagai perguruan tinggi, sebut saja UI, ITB, UGM, UNPAD, ITS, IPB, dan lain-lain. Hal ini merupakan potensi dimana generasi muda yang disebut sebagai social agent ini memiliki pengetahuan dan keahlian yang dapat diberikan kepada masyarakat. Para pemuda yang lebih akrab disebut mahasiswa mampu berkontribusi dengan kemampuan yang dimiliki dan membuka mata terhadap tantangan global, penekanannya pada aspek sosial-ekonomi, yang dihadapi  oleh Indonesia.
Winarto (2008) menyadari sentralnya peran perguruan tinggi atau universitas sebagai pembentuk social entrepreneur. Winarto mencontohkan universitas yang menyenggelarakan pendidikan di bidang social entrepreneurship adalah Asian Institute of Management (AIM), Manila, Filipina dalam program Master in Development Management. AIM unggul dalam menghasilkan social entrepreneur untuk pendidikan dan pelatihan, disamping menghasilkan model pengembangan suatu masyarakat atau daerah. Lalu bagaimana dengan universitas di Indonesia? Kontribusi dari universitas di Indonesia sebagai pencetak agen-agen pembaharuan dinantikan dalam berbagai bentuk, salah satunya adalah memperkenalkan, mengajarkan, serta membudayakan social entrepreneurship di kalangan mahasiswa dan menciptakan social entrepreneur yang unggul.
Apabila mengacu pada Tri Darma Perguruan Tinggi yang memuat pendidikan, penelitian, dan satu komponen penting pula adalah pengabdian masyarakat maka cocok jika social entrepreneurship dijadikan sebagai salah satu bagian dari komponen tersebut. Merupakan kewajiban moral bagi mahasiswa untuk terjun mengatasi persoalan bangsa Indonesia yang bertitik tolak dari masalah ekonomi. Solusinya jelas melalui pengembangan social entrepreneurship sebagai upaya perbaikan kesejahteraan masyarakat secara merata sekaligus wahana penyebaran nilai kepada masyarakat bahwa setiap manusia di dunia mengemban tugas sosial yang tidak hanya berorientasi pada keuntungan dan kekayaan.
Siti Adiprigandari Adiwoso Suprapto (2006) mengadakan riset dengan menggunakan pendekatan teoritis dan interview yang dilakukan terhadap 300 responden untuk meneliti program pelatihan yang diperuntukkan bagi social entrepreneurship dimana menjadi perhatian dari Pusat Pengembangan dan Inkubator Bisnis, Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Hal ini dikarenakan jumlah organisasi non laba meningkat secara eksponensial. Jadi harus diketahui tipe pelatihan seperti apa yang menjadi kebutuhan dan keinginan dari ranah social entrepreneurship. Universitas umumnya tertarik dengan penelitian dan semacamnya untuk meng-update dan meng-upgrade ilmu pengetahuan yang sebelumnya telah ada. Bahkan Universitas Indonesia telah mendeklarasikan diri sebagai ‘World Research University’ sehingga bagaimana penelitian yang dilakukan oleh universitas sebaiknya  juga diarahkan kepada mencari metode yang tepat untuk mengembangkan social entrepreneurship di Indonesia. 
Pada umumnya di masing-masing universitas memiliki inkubator pengembangan bisnis bagi mahasiswa, misalnya Universitas Indonesia (UI) memiliki CEDS dan Universitas Gajah Mada (UGM) memiliki PMW yaitu Program Mahasiswa Wirausaha. Ahmad Haneef Zuhdy (2011), mahasiswa 2009 Fisipol UGM, menyatakan bahwa pengembangan model social entrepreneurship di UGM belum ada, namun model-model pengembangan mahasiswa wirausaha (business entrepreneur) sudah ada. Ada kemungkinan akan mengembangkan ke ranah social entrepreneurship karena saat ini UGM menggandeng Mien R Uno Foundation.
Sumber pembelajaran bagi wirausaha adalah berupa pengalaman, belajar dari pihak lain, kompetensi, dan belajar dari sumber formal. Pada konteks ini, penulis akan menekankan pada belajar dari sumber formal, yaitu universitas. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia sendiri misalnya, memiliki mata kuliah pilihan ‘Kewirausahaan’, namun sepengetahuan penulis masih difokuskan ke arah pembuatan business plan yang mengarah pada business entrepreneurship. Pada setiap akhir semester, mahasiswa mata kuliah ‘Kewirausahaan’ diwajibkan membuat rencana bisnis per kelompok yang nantinya dipresentasikan sebagai tugas akhir. Bukan hal yang mustahil jika konsep dari mata kuliah ini diarahkan pada social entrepreneurship dimana mahasiswa diwajibkan membuat tugas akhir berupa social entrepreneurship project guna memacu dalam menciptakan social entrepreneur dari kalangan mahasiswa.
Setelah mendapatkan pembelajaran dari lembaga pendidikan formal seperti melalui mata kuliah, seminar, atau pelatihan yang ditujukan untuk membentuk social entrepreneur maka para mahasiswa tersebut akan memiliki pengalaman dan kompetensi baik secara teoritis maupun praktik sehingga tentu menjadi individu yang berpengalaman. Selanjutnya, mahasiswa tersebut dapat memacu diri sendiri untuk menjadi sosok social entrepreneur dengan terus didukung dengan program-program peningkatan pengetahuan dan keahlian terkait social entrepreneurship. Akhirnya, mahasiswa benar-benar dapat menjadi agen perubahan  yaitu bertindak sebagai social entrepreneur.
Pada umumnya, entrepreneur yang mengenyam pendidikan di level universitas akan lebih berhasil karena dibekali pengetahuan dan keahlian serta pengalaman secara langsung dan tidak langsung sekaligus. Entrepreneur harus mandiri, kritis, kreatif, etos kerja tinggi, dan kepekaan terhadap masyarakat dan lingkungan sekitar yang pada akhirnya melahirkan social entrepreneur (Gregorius, 2011).
Kesimpulannya, universitas merupakan lembaga yang berpotensi untuk berperan aktif dalam mengembangkan social entrepreneurship di Indonesia melalui berbagai upaya, misalnya mata kuliah, pelatihan, seminar, kompetisi rencana bisnis, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), dan riset, dengan memberdayakan mahasiswa yang ada didalamnya sebagai agen perubahan. Seiring berjalannya waktu, penanaman minat dalam social entrepreneurship tidak harus baru dimulai dari level universitas namun sudah harus dimulai dari level pendidikan dasar melalui penyusunan kurikulum kewirausahaan sosial sehingga menjadi pembelajaran semenjak dini bagi para tunas pembangun bangsa.

Mahasiswa dan Gerakan Social Entrepreneurship-nya
Berdasarkan data PSP 2009/2010 diketahui bahwa jumlah anak yang masuk SD/MI di Indonesia adalah 31,05 juta pelajar dan berkurang di jenjang SMP menjadi 12,69 juta pelajar. Secara kuantitas, jumlah anak yang mampu mengenyam pendidikan di level SMA/MA/SMK hanya 9,11 juta pelajar dimana menurun kembali menjadi 5,1 juta pelajar yang mampu menikamti pendidikan di perguruan tinggi.
Data tersebut mengindikasikan bahwa mahasiswa/I adalah kaum terbatas atau lebih sering disebut dengan kaum elite. Namun justru kaum elite ini yang menjadi bagian dari permasalahan bangsa dimana mendominasi angka pengangguran di Indonesia. Pada bulan Februari 2011 tingkat pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 6,8 persen atau 8,12 juta jiwa. Angka ini menurun ketimbang periode yang sama tahun lalu yang sebanyak 8,59 juta orang, turun 470 ribu orang. Februari 2010 pengangguran mencapai 7,41 persen atau sebanyak 8,59 juta jiwa (BPS, 2011). Bappenas (2009) melakukan survei yang menunjukkan bahwa 22,2% dari 21,2 juta angkatan kerja merupakan pengangguran dimana 2 juta dari pengangguran tersebut berasal dari lulusan perguruan tinggi. Mahasiswa sebagai kaum inteletual yang seharusnya menjadi pengentas masalah, justru menjadi bagian dari permasalahan bangsa Indonesia.

Reasonable people adapt themselves to the world. Unreasonable people attempt to adapt the world to themselves. All progress, therefore, depends on unreasonable people. - George Bernard Shaw-

Terdapat dua pilihan bagi mahasiswa, beraksi sebagai reasonable people atau unreasonable people? Beberapa dari kalangan intelektual ini jelas memilih being a reasonable people dimana mereka harus beradaptasi dengan dunia untuk mampu bertahan dan berkembang dalam zona aman dan nyaman. Namun, beberapa lebih memilih menjadi unreasonable people yang menurut Nurul Setia Pertiwi (2011) merupakan ‘suatu gambaran akan generasi yang dibutuhkan dunia untuk menciptakan transformasi besar yang radikal dan menyeluruh. Generasi yang ambisius, senantiasa ingin mengubah sistem, digerakkan emosi, menganggap mengetahui masa depan, mengabaikan stereotip yang ada, dan segala hal yang akhirnya menggerakkan mereka untuk menjadi bibit perubah dunia’. Seharusnya mahasiswa masuk dalam golongan unreasonable people karena merupakan agent of change yang salah satu wujudnya adalah menjadi social entrepreneur.
Dhiora Bintang (2011) menyatakan pendapatnya tentang model social entrepreneur dari basis mahasiswa. Pemberdayaan berbasis komunitas merupakan kuncinya dimana selama ini mahasiswa mengembangkan ragam komunitas di multi sektor, tapi peningkatan ke level social entrepreneurship masih kurang. Pertama, proyek-proyek sosial mahasiswa harus dikonversikan kedalam social enterpreneur. Proyek “Bina Desa” misalnya, dilakukan secara komprehensif. Mulai dari pendidikan, sanitasi yang berkaitan dengan kesehatan, hingga ekonominya. Kedua,  universitas bisa memfasilitasi lewat insentif, misalnya program yang telah dijalankan bisa dituangkan dalam setiap tugas akhir atau skripsi dan bisa menjadi bagian dari pengurangan sks. Ketiga, peran pemerintah yang memberi stimulus dalam hal dana jika proyek yang dilakukan layak dijalankan. Pada akhirnya, mahasiswa dan komunitas yang telah diberdayakan akan menjalankan usaha dalam social entrepreneurship tersebut. Gerakan mahasiswa ini akan membantu pemerintah untuk mengatasi persoalan bangsa Indonesia.
Pada bahasan ini, penulis hendak menyuguhkan beberapa social entrepreneur yang berasal dari kalangan mahasiswa dimana mulai merintis usaha semenjak di bangku kuliah yang diharapkan dapat memacu semangat pembaca untuk mengikuti jejak para mahasiswa pendahulu ini. Gerakan mahasiswa ini bisa disebut dengan Intelectual Social Responsibility (ISR), sedangkan bagi swasta disebut dengan Corporate Social Responsibility (CSR).

Kaya bukanlah sesuatu yang berkaitan dengan diri sendiri, tetapi mengenai sejauh mana kita bisa memberdayakan orang lain agar turut berkarya dan berpenghasilan. -Presiden Kabinet Keluarga Mahasiswa ITB 2010/2011-
         
          Jaya Hidayat, mahasiswa akuntansi angkatan 2008 dari Universitas Hasanuddin, penerima beastudi etos, memperoleh kesempatan menjadi salah satu deklarator Pengusaha Mahasiswa Indonesia pada 14-15 Juni 2011. Jaya menjadi entrepreneur di usia muda dengan mendirikan CV Angkasa Mulia dengan empat anak usaha yang melibatkan etoser di Makassar dalam kepegawaiannya. Kini Jaya tengah menelurkan program social entrepreneurship dimana memberi beasiswa bagi mereka yang tidak mampu yang ingin melanjutkan kuliah dengan jurusan Kedokteran, Teknik Sipil, Akuntansi yang sebagian waktunya bisa langsung bekerja di cabang perusahaan yang akan dikembangkannya. Hal ini menjadi contoh konkret bagaimana saat mendirikan usaha maka akan ada kebermanfaatan bagi orang lain atau mampu memfasilitasi orang lain dengan menjadi social entrepreneur.
Penulis berkesempatan menghadiri seminar yang diadakan oleh CEDS Universitas Indonesia yang mendatangkan social entrepreneur, salah satunya yang berasal dari kalangan mahasiswa adalah Yoga Rokhmana. Berlatarbelakang S1 di Institut Pertanian Bogor (IPB) dan melanjutkan S2 di FKM Universitas Indonesia, mahasiswa ini menjadi pemasar boneka horta. Menurutnya mahasiswa biasa menjadi tangan dibawah dengan mengharapkan beasiswa atau bantuan-bantuan pendidikan dan biaya hidup dalam menunjang. Mindset inilah yang harus diubah dimana mahasiswa yang menjadi tangan dibawah menjadi mahasiswa menjadi tangan diatas melalui gerakan social entrepreneurship-nya.
Boneka horta sendiri merupakan buah dari penelitian yang berjudul ‘Perakitan Boneka Tanaman sebagai Mainan Edukatif untuk Mengajarkan Kecintaan Pertanian terhadap Anak-anak’. Penggagasnya adalah mahasiswa –mahasiswa dari IPB, yaitu Gigih (Jurusan Holtikultura IPB bersama Asep, Imam, Rhamatullah, Nissa Rahmadia, Nurhaedi, dan Agustina. Bahan baku dari boneka horta adalah serbuk kayu, pupuk, dan benih tanaman. Setelah melalui proses penelitian akhirnya Gigih bersama seorang teman wirausahanya membuat usaha boneka yang menjadi media tumbuh tanaman dan akhirnya diberi label ‘boneka horta’. Bisnis boneka horta ini dikerjakan oleh ibu-ibu rumah tangga di daerah Ciomas yang sebelumnya menganggur artinya memberdayakan ibu-ibu yang sebelumnya pasif dalam bekerja menjadi aktif sehingga mampu menyokong kebutuhan keluarga. Para ibu rumah tangga tersebut dibekali keterampilan membuat boneka horta, terutama mengingat permintaan yang meluas tidak hanya dari daerah Bogor saja.
IPB tidak hanya memiliki social entrepreneur sebagaimana yang sebelumnya dipaparkan oleh penulis, satu nama lagi yang membahana karena gerakannya sebagai mahasiswa dalam membangun perumahan bagi orang miskin. Menurutnya hal ini dimaksudkan untuk menyeimbangkan kehidupan, tidak hanya fokus pada yang kaya saja. Impian Elang sangat mulia yaitu membentuk organisasi Maestro Muda Indonesia dan membawahi perusahaan yang mempekerjakan 100 ribu orang. Motivasinya adalah menjadi teladan bagi generasi muda untuk peduli pada masyarakat sekitar dan mulia baik di dunia maupun akhirat. Act as an social entrepreneur make our life balance.
Social entrepreneur lainnya adalah Goris Mustaqim yang berinisiatif mendirikan ASGAR MUDA di Garut saat masih menjadi mahasiswa ITB. Namanya mencuat saat menjadi satu dari 10 orang yang diundang oleh Presiden Amerika Serikat Barrack Obama dalam Presidential Summit on Enterpreneurship di Amerika Serikat. Semboyannya yang dikenal adalah membangun dari desa. ASGAR MUDA menjadi simbol pemberdayaan generasi muda Garut untuk membangun desanya menuju kesejahteraan dan kehidupan yang lebih baik. Proyek sosial yang patut untuk menjadi teladan bagi mahasiswa-mahasiswa lain di daerahnya masing-masing. Apalagi mengingat saat ini pemerintah daerah sering membiayai proyek pemberdayaan mahasiswa di daerah atau Dikti yang aktif memberi bantuan bagi proposal bisnis yang layak, termasuk Program Kreatifitas Mahasiswa (PKM) yang rutin diadakan setiap tahunnya.
Masih banyak lagi mahasiswa dan gerakannya dalam kerangka social entrepreneurship yang tidak dapat dijabarkan satu persatu oleh penulis. Beberapa contoh di atas, yaitu Jaya Hidayat dari Universitas Hasanuddin, Yoga Rokhmana, Gigih, dan Elang Gumilang dari Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Goris Mustaqim dari Institut Teknologi Bandung (ITB) merupakan social entrepreneur yang memulai usahanya sejak duduk di bangku universitas serta bisa merepresentasikan gerakan mahasiswa horizontal yang ditujukan untuk pemberdayaan dan pemerataan kesejahteraan masyarakat.
Apabila memang tidak berminat menjadi social entrepreneur, setidaknya mahasiswa memacu munculnya social entrepreneurship. Banyak cara yang dapat ditempuh, misalnya membuat kegiatan-kegiatan seperti seminar, pelatihan, konfrensi mahasiswa, dan ajang kompetisi bisnis yang mengarah ke ranah sosial. IEC ITB 2011 dengan seminar nasionalnya sudah memegang peran dalam memperkenalkan dan memacu tumbuhnya social entrepreneur di Indonesia dari kalangan mahasiswa. Universitas Brawijaya (Gambar 3) melalui business plan competition 2011 yang mengangkat tema ‘Social Business : Entrepreneurship that Empower’ yang finalnya akan diadakan pada 4Oktober 2011 juga bukti nyata bagaimana eksistensi social entrepreneur, yang notabene adalah mahasiswa, semakin diakui. Konfrensi Mahasiswa Indonesia Universitas Indonesia (KMIUI) 2011 juga merupakan salah satu wadah untuk menunjukkan bahwa social entrepreneurship menjadi arah revitalisasi gerakan mahasiswa di era global saat ini.

Tantangan Mahasiswa sebagai Social Entrepreneur
One of the things I'm most focused now on, with the Case Foundation, is the notion of social entrepreneurship. I'm an entrepreneur. I like building companies, but I also like building projects, and one of the things I learned in the last five years is it's easy to start new things, particularly in the not-for-profit world. It's harder to scale them, and so we're trying to figure out a way to work with some of the not-for-profit organizations -- around maybe ten years, or already well led, already well respected -- on how to kind of get them over that tipping point where they really become more mainstream phenomena. One statistic that was startling to me is if you look at the top 20 companies, and you look at the list 20 years ago and you look at the list today, about half of the companies change every 20 years, because 20 years ago CISCO and Microsoft and some of the other companies didn't really exist. Wal-Mart. And so in the business world there's this process of constant change and evolution and a list changes. In the not-for-profit world, if you look at the top 20 not-for-profits 20 years ago and today, 19 of them are the same. One has broken through, which is Habitat for Humanity, which is a great group that we work closely with. -Steve Case-
Memang bukan perkara mudah untuk memulai menjadi seorang social entrepreneur, apalagi bagi mahasiswa yang juga memiliki tanggung jawab dalam hal akademik. Namun apa salahnya jika kita sebagai mahasiswa mencoba sebelum menyatakan diri gagal melaksanakannya?
Tantangan terbesar yang dihadapi oleh mahasiswa adalah masalah konsistensi dalam menjalankan usahanya sebagai social entrepreneur. Seperti yang sudah-sudah, awalnya mahasiswa bertindak idealis dan berubah menjadi pragmatis. Misalnya niat awal adalah menjadi social entrepreneur, lalu setelah berjalannya waktu tidak lagi fokus pada pemberdayaan dan pemerataan kesejahteraan masyarakat, tetapi beralih kearah business entrepreneur. Apalagi menyangkut pelibatan waktu dari mahasiswa yang tidak sedikit jika menjalankan social entrepreneurship yang digagasnya.Oleh karena itu dalam social entrepreneurship harus dimasukkan unsur etika dan moral dalam menjaga konsistensi mahasiswa menjadi social entrepreneur.
Kedua, tantangan dari pihak masyarakat juga ada misalnya masyarakat mau atau tidak untuk menjadi bagian dari pemberdayaan oleh social entrepreneur. Saat mahasiswa telah bersungguh-sungguh, sementara masyarakat atau elemen yang akan ditangani tidak menunjukkan minat untuk melakukannya bersama-sama maka kesuksesan program-program untuk menjalankan social entrepreneurship itu menjadi kurang maksimal.
Ketiga, saat social entrepreneur yang dalam hal ini adalah mahasiswa dan masyarakat sebagai objek sekaligus subjek pemberdayaan dalam kerangka social entrepreneurship telah dalam kondisi yang baik maka tantangan selanjutnya adalah pendanaan yang terbatas. Masalah dana kerap kali menjadi tantangan yang terberat saat mahasiswa menjalankan proyek-proyek yang berhubungan dengan community development, apalagi social entrepreneurship yang saat ini masih bisa dibilang baru menjadi trend di kalangan mahasiswa. Banyak sekali program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh mahasiswa sehingga pemberi dana juga mungkin telah mengalokasikan untuk program-program tertentu. Penulis belum menemukan baik dari pihak pemerintah yang dalam hal ini dikti maupun swasta dengan program CSR-nya yang fokus memberikan bantuan dana untuk menyokong kegiatan yang dilakukan oleh social entrepreneur.
Keempat, manajemen pelaksanaan dari social entrepreneurship yang dijalankan oleh mahasiswa. Mahasiswa memiliki beberapa constrain secara personal, misalnya (1) waktu antara kuliah, penanganan proyek sebagai social entrepreneur, dan kegiatan kemahasiswaan lainnya; (2) profesionalitas dari mahasiswa dalam melaksanakan proyek social entrepreneurship-nya, misalnya tidak adanya pendampingan dari tenaga ahli atau yang berpengalaman sehingga keberhasilan proyek hanya setengah-setengah.
Empat tantangan yang telah dijabarkan oleh penulis dimana menjadi tantangan bagi mahasiswa untuk berkarya sebagai social entrepreneur memang bukan menjadi hal yang perlu terlalu dikhawatirkan, namun tentu perlu strategi dalam menghadapi tantangan-tantangan tersebut. Hal ini karena keyakinan penulis bahwa mahasiswa merupakan individu-individu yang visioner dalam melakukan proyek-proyek yang direncanakan, termasuk memacu pengembangan social entrepreneurship di Indonesia. Optimisme tumbuhnya bibit-bibit social entrepreneur dalam kalangan mahasiswa harus disambut dengan aksi nyata gerakan mahasiswa, bukan sekedar trend wacana.

Penutup : Kesimpulan dan Rekomendasi Penulis
Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa social entrepreneurship di Indonesia memiliki peluang yang besar untuk dikembangkan dengan melihat potensi yang dimiliki Indonesia dalam kapasitas sumber daya alam berlimpah maupun kuantitas sumber daya manusia, namun belum mampu dioptimalkan sehingga manfaat positifnya pun belum terlihat maksimal. Social entrepreneurship tidak hanya fokus pada kemampuan menghasilkan keuntungan, tetapi juga kemampuan untuk memberdayakan masyarakat sehingga memiliki kemandirian untuk menciptakan pemerataan kesejahteraan.
Apabila hal ini dikaitkan dengan peran pemuda yang dalam hal ini adalah mahasiswa maka gerakan mahasiswa yang dulunya lebih bersifat vertikal dimana destruktif-anarkis berubah menjadi lebih fokus pada gerakan yang bersifat horizontal dimana bersentuhan secara langsung dengan masyarakat. Telah terjadi revitalisasi gerakan mahasiswa yang salah satunya bergerak dalam community development pada kerangka sosial-ekonomi, yaitu social entrepreneurship. Bagaimanapun juga terdapat persamaan yang menonjol antara gerakan mahasiswa angkatan 1998 dan angkatan selanjutnya dimana mahasiswa bertindak sebagai motor penggerak pembaharuan serta kepedulian dan keberpihakan terhadap masyarakat. Namun mahasiswa di Indonesia menghadapi tantangan-tantangan dalam bertindak sebagai social entrepreneur, yaitu terkait konsistensi dalam menjalankan usaha, minat masyarakat, keterbatasan dana, dan manajemen pelaksanaan usaha. Apalagi jika mengingat bahwa social entrepreneurship di Indonesia belum terkenal selayaknya business entrepreneurship sehingga masih dianggap sebatas trend dalam masyarakat terutama jika yang menjalankan adalah mahasiswa.
Berangkat dari sebuah pemikiran sederhana, rekomendasi atau strategi yang dapat penulis berikan terkait bagaimana mahasiswa di Indonesia mengatasi berbagai tantangan yang ada dalam menjalankan social entrepreneurship agar dapat dieksekusi dengan hasil maksimal adalah sebagai berikut.
Rekomendasi pertama ditujukan untuk menjawab tantangan konsistensi mahasiswa sebagai social entrepreneur yang masih dipertanyakan karena social entrepreneurship sendiri masih dianggap sekedar trend di kalangan mahasiswa, selain itu juga membutuhkan perhatian khusus dalam eksekusinya karena melibatkan elemen masyarakat tertentu. Bisa saja terjadi perubahan niat setelah melihat besarnya keuntungan yang diraup dari usaha, padahal awalnya dalam usaha tersebut terkandung tujuan pemberdayaan masyarakat. Hal yang perlu menjadi perhatian juga adalah fleksibilitas waktu dari mahasiswa karena harus membagi waktu antara kuliah, kegiatan ekstrakurikuler perkuliahan, dan social entrepreneurship-nya.  Oleh karena itu, hendaknya dibentuk kelompok gerakan mahasiswa. Artinya mahasiswa tidak hanya bertindak secara individual sebagai social entrepreneur, namun membentu kelompok yang terdiri dari individu-individu dengan fokus social entrepreneurship dalam bidang yang sama. Dengan dibentuknya kelompok gerakan mahasiswa dalam social entrepreneurship maka saat konsistensi salah satu luntur maka individu  lainnya bisa memotivasi dan melanjutkan gerakan yang telah digagas, setidaknya bisa saling mengingatkan untuk konsisten pada niat mulia sebagai social entrepreneur dan mengambil peran sentral dalam upaya memberdayakan masyarakat sekitar. Selain itu, jika dibentuk kelompok maka bisa dilakukan pembagian tugas sehingga saat salah satu pihak memiliki kepentingan lain maka rekan kelompoknya bisa menggantikan tugas yang ada dan setiap individu bisa fokus pada bagian masing-masing, misalnya sesuai disiplin ilmu yang digeluti. Adapula yang mengatakan bahwa ‘dua otak lebih baik dibandingkan satu otak’ artinya pemikiran-pemikiran kreatif dapat muncul dimana individu-individu tersebut bisa melakukan brainstorming ide-ide untuk melaksanakan kegiatan social entrepreneurship-nya.
Rekomendasi kedua, integrasi antar elemen atau stakeholders yang terlibat dalam social entrepreneurship yang digagas oleh mahasiswa tersebut. Tahap awal, mahasiswa yang telah dibuat kelompok, sebagaimana rekomendasi pertama, terdiri dari individu-individu yang berbeda sehingga secara internal harus diintegrasikan. Lalu masyarakat sebagai objek sekaligus subjek yang bekerjasama dengan mahasiswa untuk mensukseskan usaha juga harus diintegrasikan. Mahasiswa harus membuat semacam divisi litbang untuk mengetahui kebutuhan dari masyarakat yang hendak dilakukan dan dicocokkan dengan program social entrepreneurship yang telah dirancang, harus dilakukan penyesuaian terhadap salah satunya. Ada pilihan menyesuaikan program dengan masyarakat terlebih dahulu yang berarti memilih masyarakat mana yang hendak diberdayakan baru membuat program social entrepreneurship yang sesuai untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi masyarakat tersebut. Pilihan kedua adalah membuat program terlebih dahulu yang berarti setelah program disusun maka mencari masyarakat yang sesuai atau setidaknya mau kooperatif dalam pelaksanaan program yang disusun. Dalam hal ini antara mahasiswa dan masyarakat tidak dapat berjalan sendiri-sendiri karena terdapat korelasi dimana mahasiswa bertindak sebagai social entrepreneur yang melibatkan masyarakat didalamnya untuk memiliki kemandirian dalam memberdayakan dirinya, akhirnya masyarakat tersebut memiliki keinginan pula menjadi social entrepreneur dan terjadi efek multiplier dalam kerangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Jika masyarakat enggan menjadi bagian dari social entrepreneurship yang digagas mahasiswa maka program yang telah disusun tidak mungkin terlaksana, begitu sebaliknya saat mahasiswa tidak mampu beradaptasi dengan masyarakat.
Rekomendasi ketiga, kerjasama antara pemerintah, swasta dengan program Corporate Social Responsibility (CSR) yang dimiliki, masyarakat, dan mahasiswa sebagai tokoh utama untuk bersama-sama dalam mengatasi masalah pendanaan. Pemerintah melalui Dikti misalnya dapat menggelontorkan dana untuk membantu mahasiswa dalam melakukan community development terutama social entrepreneurship. Swasta dapat dipacu untuk untuk memfokuskan CSR-nya untuk membantu social entrepreneur di Indonesia. Masyarakat yang diberdayakan juga harus tau berapa dana yang dibutuhkan untuk melakukan program dari mahasiswa sebagai social entrepreneur, lalu jika mampu membantu dalam hal pendanaan pula karena manfaat positifnya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat tersebut. Mahasiswa sendiri bisa melakukan penggalangan dana dari kalangan mahasiswa atau membuat proposal mengenai program social entrepreneurship yang akan dijalankan lalu diajukan kepada pemerintah dan swasta. Pemerintah pasti akan mendukung karena pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu dari tiga kluster penanggulangan kemiskinan di Indonesia, selain itu swasta pun akan tergerak dalam pendanaan karena bersentuhan langsung dengan masyarakat yang mungkin merupakan bagian dari konsumen produk perusahaan tersebut. Banyak alternatif yang dapat dilaksanakan untuk mendukung pendanaan bagi social entrepreneur, asalkan program yang hendak dilaksanakan layak secara konsep maupun saat dipraktekkan.
Rekomendasi keempat, melibatkan ahli yang merupakan praktisi maupun akademisi untuk membantu mahasiswa sebagai social entrepreneur. Pendampingan ini tentu seharusnya dari awal perencanaan, eksekusi, dan evaluasi kegiatan. Hal ini dimaksud untuk mendukung kelompok gerakan mahasiswa dalam social entrepreneurship, masyarakat yang telah kooperatif dengan mahasiswa, serta pemerintah maupun swasta yang telah mendukung dalam pendanaan. Misalnya melibatkan Tri Mumpuni, Goris Mustaqim, Elang Gumilang, Sandiaga S. Uno, dan social entrepreneurs lainnya di Indonesia.
Penulis berharap makalah dengan judul “Gejolak Revitalisasi Gerakan Mahasiswa di Indonesia dalam Kerangka Social Entrepreneurship” ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukan dan memberikan pandangan, kepada mahasiswa khususnya, untuk melakukan gerakan dalam bidang social entrepreneurship sehingga menciptakan pemerataan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Optimisme tumbuhnya social entrepreneur dalam kalangan mahasiswa harus disambut dengan aksi nyata, bukan sekedar trend wacana. Penulis optimis jika mahasiswa yang digadang-gadang merupakan agent of change atau lebih spesifik lagi merupakan social agent dapat berperan aktif menjadi social entrepreneur sebagai salah satu bentuk revitalisasi gerakan mahasiswa yang berdampak positif bagi masyarakat sekaligus penggerak perekonomian Indonesia di era globalisasi.


DAFTAR PUSTAKA


Adman. 2005. Pergerakan Mahasiswa. Disampaikan pada Kegiatan LDKM Himpunan Mahasiswa  Program Studi Manajemen Perkantoran, Jum’at, Oktober  2006.
Anoviar, Alia Noor. 2009. Membangun Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Guna Mengatasi Tingginya Angka Pengangguran di Indonesia. Economic Research Paper (ERP) : Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Depok.
Media Indonesia. Gerakan Mahasiswa Pasca Reformasi Masih Solid dan Kritis. Jumat, 3 April 2003. Kolom 8-9.
Pituduh, Imam. 2006. Social Entrepreneurship Harus Mengakui Hukum Pasar. Sumber : Menggali Konsep ‘Social Entrepreneurship’, Suatu Riset Pustaka. Jurnal Galang, Vol.1 No.4 Juli 2006, PIRAC, 2006, Opini Hal 125 – 133.
Santosa, Setyanto P. 2007. Peran Social Entrepreneurship dalam Pembangunan. Dipaparkan dalam acara dialog “Membangun Sinergisitas Bangsa Menuju Indonesia yang Inovatif, Inventif dan Kompetitif” diselenggarakan oleh Himpunan IESP FE-Universitas Brawijaya. Malang, 14 Mei 2007.
Suprapto, Siti Adiprigandari Adiwoso. 2006. Defining a Training Program for Social Entrepreneurship in Indonesia. Volume II, Issue 4 SPECIAL ISSUE - INITIATE 21, Brisbane - © 2006, Journal of Asia Entrepreneurship and Sustainability.
Winarto. 2008. Membangun Kewirausahaan Sosial : Meruntuhkan dan Menciptakan Sistem Secara Kreatif. Makalah untuk Seminar: Membangun Kewirausahaan Sosial: “Meruntuhkan dan Menciptakan Sistem secara Kreatif?”. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta, 22 Februari 2008.

Sumber Internet :
BPS. 2011. Pada Bulan Maret 2011 Jumlah Penduduk Miskin di Indonesia Mencapai 30,02 Juta Orang. Diunduh pada 18 Agustus 2011 Pukul 15.39 WIB melalui http://www.bps.go.id/index.php?news=861.
Destyanto, Arry Rahmawan. 2010. Social Entrepreneur, Langkah Nyata Mahasiswa Masa Kini. Diunduh pada 19 Agustus 2011 Pukul 21.15 WIB melalui http://www.mediaindonesia.com/citizen_read/745
Dhiora. 2011. Menggagas Social Entrepreneur. Diunduh pada 18 Agustus 2011 Pukul 16.22 WIB melalui http://dhioradanbintang.blogspot.com/2011/07/menggagas-social-enterpreneur.html.
Greensand. 2008. Belajar dari Elang Gumilang, Mahasiswa Beromzet 17 Milyar. Diunduh pada 24 Agustus 2011 Pukul 08.54 melalui http://greensand.wordpress.com/2008/06/17/belajar-dari-elang-gumilang-mahasiswa-beromzet-17-milyar/.
Hapsari, Endah. 2011. Strategi Jitu untuk Produk Unik. Diunduh pada 24 Agustus 2011 Pukul 08.56 melalui http://bataviase.co.id/node/616510.
IPA Voices. 2011. Peluncuran ‘Social Innovation & Entrepreneurship Awards’ untuk Inovator dan Pengusaha Sosial Indonesia di Singapura. Diunduh pada 18 Agustus 2011 pukul 14.51 WIB melalui http://www.indonesiaberprestasi.web.id/?p=7756.
Lembaga Pengembangan Insani Dompet Dhuafa Republika. 2011. Etoser Makassar Temui Boediono. Diunduh pada 18 Agustus 2011 Pukul 14.35 WIB melalui http://anaketos.blogspot.com/2011/06/etoser-makasar-temui-boediono.html
Pamungkas, Rheza Andhika. 2010. Sulitnya Mencari Social Entrepreneur di Indonesia! Okezone.com. Diunduh pada 18 Agustus 2011 Pukul 17.13 WIB melalui http://celebrity.okezone.com/read/2010/06/18/320/344270/sulitnya-mencari-social-entrepreneur-di-indonesia.
Pertiwi, Nurul Setia. 2011. Sociopreneur untuk Indonesia. Diunduh pada 18 Agustus 2011 Pukul 16.47 WIB melalui http://km.itb.ac.id/site/forums/index.php?topic=17.0 .
Republika. 2010. Peluang Besar Social Entrepreneurship. Diunduh pada 18 Agustus 2011 Pukul 17.00 WIB melalui http://bataviase.co.id/node/201495.
Suhenda, Ankga. 2011. Membangun Gerakan Alternatif Mahasiswa. Diunduh pada 19 Agustus 2011 Pukul 21.22 WIB melalui http://datuklimo.blogspot.com/2011/06/membangun-gerakan-alternatif-mahasiswa.html
Wicaksana, Gregorius Agung. 2011. Kewirausahaan Sosial: Urgensi Mahasiswa Indonesia. Diunduh pada 18 Agustus 2011 Pukul 17.10 WIB melalui http://ekonomi.kompasiana.com/wirausaha/2011/05/07/kewirausahaan-sosial-urgensi-mahasiswa-indonesia/.



[1] Winarto. 2008. Membangun Kewirausahaan Sosial : Meruntuhkan dan Menciptakan Sistem Secara Kreatif.

Film : 99 Cahaya di Langit Eropa

Malam ini baru selesai nobar bareng Zia dan April, kami memutuskan nobar “99 Cahaya di Langit Eropa” yang merupakan kisah nyata Harum dan Rangga selama menjalani kehidupan di Vienna. Sebenarnya saya juga bukan penyuka film, saya suka nonton di Bioskop setelah nonton film Harry Potter entah seri berapa ketika itu dan saya tidak sama sekali mengerti jalan ceritanya. Tapi itu pertama kali saya sangat menikmati nonton di layar super besar dan ruangan yang diisi oleh banyak orang, dan selanjutnya saya sangat suka nonton di Bioskop. Kembali ke film “99 Cahaya di Langit Eropa, saya selalu tertarik dengan Eropa karena ada salah satu cita saya di sana, saya sangat ingin melanjutkan studi master nantinya mengambil Industrial Relation di UK. Bukan karena cerita cinta yang mengalir dalam film itu yang membuat saya terkesan, tapi perjuangan Hanum menemukan Islam untuk dirinya, perjalanan rumah tangga Hanum dan Rangga untuk bersama-sama berjalan di jalan Allah – tentu menurut saya ini lebih romantis daripada kisah Titanic, Romeo and Juliet, atau Ainun dan Habibie. Tentu saya nggak boleh banyak bercerita ntar pada nggak penasaran lagi lihat film-nya, yang jelas saya menemukan kembali mimpi saya di film tersebut – mengambil pendidikan di Inggris dan membuat islam bisa benar-benar dekat dengan saya, lebih dekat J


 Karawaci, 24 Desember 2013



20131222

Sebuah Memori... #SejenakDiam #6

Badanku terasa letih, dengan langkah bersemangat aku memasuki kamar dan brukkkkkkkk... rasanya lega sekali ketika bisa merebahkan diri, memeluk guling, dan sejenak kemudian menghidupkan laptop yang sudah seminggu ini sengaja kutinggal di rumah. 

Dan benar saja setumpuk email masuk ketika aku membukanya, "Oh man, this week will be so busy!" 

Aku pun segera beranjak dari tempat tidur, mengganti pakaian yang jelas sudah bau karena dipakai kerja seharian dan lalu aku seperti melihat sesuatu, tiba-tiba  ada rasa yang tidak enak bergelayut dalam hati ini. Sebuah memori hadir tanpa pernah diduga, sesaat setelah aku berhasil memilah satu diantara tumpukan baju di lemari. "Tuhan, haruskah sekarang memori itu muncul kembali?"

Diantara tumpukan baju itu ada jaket almamaterku, sebuah masa yang penuh dengan cerita ada tawa sampai tangis airmata selama empat tahun masa itu berjalan. Sudah empat bulan aku meninggalkan masa itu, semenjak wisuda di bulan Agustus lalu. Melakoni berbagai macam pekerjaan freelance, sampai akhirnya sekitar dua minggu lalu aku menandatangi sebuah kontrak kerja tetap dengan sebuah instansi.

Kembali lagi ke sebuah memori, saat packing untuk keperluan training selama seminggu tiba-tiba jatuh sapu tangan berwarna cokelat, aku coba mengingat... ada sebuah memori tertinggal, "mungkin hanya kebetulan dan mungkin juga kebetulan itu benar-benar kebetulan..."

Dan itu pun terjadi malam ini, letih itu semakin menjadi-jadi. Jaket almamater berwarna kuning itu hanya dihiasi 2 dari 4 kancing yang seharusnya ada, jaket itu sudah enam bulan lebih tidak ada dan ternyata Bapak menemukannya di dalam kardus yang kemarin aku gunakan untuk pindahan kosan. Ya jaket almamater itu tidak hanya jaket biasa, jelas banyak memori selama aku menggunakannya, terlebih karena 2 kancing itu... ya benar sekali 2 kancing itu membangunkan sebuah memori yang sudah coba aku tidurkan, tapi tidak pernah bisa hilang dari ingatan. Ahhh bukan salah kancing, ini soal hati... tentang sebuah memori... dan entah kenapa aku tidak pernah merasa letih dengan memori yang satu ini.



Jakarta Timur, 22 Desember 2013

Mungkin ini memang memori yang terlalu berharga untuk dilupakan :)



20131214

Belajar Berbuat Baik dengan Baik! #SejenakDiam #5

“Bila seorang anak hidup dengan kritik,ia akan belajar menghukum.Bila seorang anak hidup dengan permusuhan, ia akan belajar kekerasan. Bila seorang anak hidup dengan olokan,ia belajar menjadi malu. Bila seorang anak hidup dengan rasa malu, ia belajar merasa bersalah. Bila seorang anak hidup dengan dorongan, ia belajar percaya diri. Bila seorang anak hidup dengan keadilan,ia belajar menjalankan keadilan. Bila seorang anak hidup dengan ketentraman, ia belajar tentang iman. Bila seorang anak hidup dengan dukungan,ia belajar menyukai dirinya sendiri. Bila seorang anak hidup dengan penerimaan dan persahabatan , ia belajar untuk mencintai dunia.”

 Dorothy Law Nolte, Children Learn What They Live: Parenting to Inspire Value

Kali ini saya ingin menghadirkan sebuah cerita, bukan sekedar cerita biasa karena ini adalah cerita yang benar adanya. Saya jadi tau mengapa seorang ibu dan bapak menjaga anak-anaknya dengan sebaik mungkin, ya kemarin membuat saya semakin tau mengapa cinta orangtua itu tanpa batas.

Buat kami, saya dan teman-teman Dreamdelion, anak-anak Manggarai tak ubahnya seperti anak-anak kami. Meskipun mungkin para pembaca tulisan ini akan berkata, "ah kamu berlebihan...", kami memang bukan orangtua biologis mereka namun untuk saya pribadi yang 2 tahun lebih membersamai mereka, melihat proses mereka tumbuh dan menjadi anak-anak yang cerdas, tentu timbul perasaan sayang yang mungkin sama dengan sayangnya orangtua mereka terhadap mereka. Di hadapan anak-anak sanggar tersebut, kami berhati-hati menjaga kata dan perilaku karena kami sadar mereka akan menduplikasi dengan mudah apa yang kami lakukan dan perlihatkan. Jangankan memukul atau mencubit, membentak saja tidak pernah kami lakukan. Berkata dengan nada tinggi kami lakukan jika mereka sudah terlampau tidak disiplin di sanggar, namun sekali lagi semua itu kami lakukan dengan batas-batas yang tetap santun.

Dengan segala keterbatasan yang kami miliki, kami berusaha memberikan yang terbaik, menyediakan fasilitas yang mereka butuhkan untuk berkembang. Berbagai pendekatan kepada sponsor dan donatur, sampai hasil bisnis sosial Dreamdelion mayoritas kami peruntukkan untuk anak-anak tersebut karena kami yakin nasib peradaban bangsa Indonesia ini di tangan mereka. Sungguh rasa sayang kami ini tidak sesederhana deretan kalimat sepertu tulisan yang saya buat ini, menjadi panutan bagi mereka bukan hanya kewajiban bagi kami namun sudah menjadi kebutuhan yang harus kami penuhi. 

Tidak sekali saya menangis ketika mereka berperilaku tidak baik, namun tentu itu tidak melunturkan sayang saya pada mereka. Saya menangis karena merasa belum bisa memberikan contoh yang baik sehingga mereka berperilaku kurang baik. Kakak-kakak lainnya pun tidak sedikit yang sedih ketika melihat mereka berperilaku kurang baik, namun anak-anak tetaplah anak-anak, mereka memiliki magnet tersendiri untuk membuat kami jatuh hati - tetap bertahan dan terus tumbuh bersama mereka.

Saya sangat bersyukur, Allah mempertemukan saya dengan kak Farah yang akhirnya memperkenalkan saya juga dengan kak Ais, kak Cipi, dan kak Wanti. Lewat kak Farah dan teman-teman di Dreamdelion Cerdas, saya pun akhirnya mengenal Marissa, Lia, Niken, dan Risya yang sekarang menjadi pengurus inti Dreamdelion Cerdas. Saya belajar banyak dari mereka yang lebih paham tentang anak-anak, paham bagaimana metode belajar yang menyenangkan untuk membentuk anak-anak kami menjadi berkarakter baik dan tentunya berprestasi, punya mimpi untuk direalisasikan.

Kemarin saya melihat Marissa bercerita sambil menangis karena anak-anak kami diperlakukan tidak baik dalam sebuah acara, anak-anak kami tidak dijaga sehingga ada yang terluka karena berkelahi, dan anak-anak kami dibedakan dengan anak-anak lainnya. Sebagai 'orangtua' mereka tentunya kami sangat kecewa, kami berusaha menjaga mereka dengan sangat baik, terlebih mencoba memberikan contoh nilai-nilai yang baik untuk dapat diinternalisasikan dalam diri mereka, sehingga wajar ketika anak-anak kami tersebut diperlakukan tidak baik oleh siapapun maka kami marah. Ketika bertemu mereka kemarin, mereka langsung menyalami saya, beberapa anak bergelayutan manja, melingkarkan tangannya di pinggang saya, lalu saya tanya apa saja yang mereka lakukan di acara tadi dan mereka pun bercerita. Saya tanya, "kalian suka dengan kakak-kakak disana?" Mereka serempak menjawab tidak, mereka tidak mau ke acara itu lagi, mereka tidak mau bermain di sana

Berbuat baik itu pasti bukan perkara yang mudah, apalagi berbuat baik kepada anak-anak. Namun saat mencoba berbuat baik, tolong juga diperbaiki niatnya dan belajar berperilaku baik karena anak-anak sangat peka, jangan sampai perilaku tidak baik kita mereka contoh. Jika memang tidak siap untuk menjadi fasilitator sanggar belajar atau tidak memiliki ilmunya sama sekali, maka belajarlah lebih dahulu, ikuti pelatihan-pelatihan tentang cara mengajar anak-anak misalnya. Sanggar Dreamdelion sendiri menyadari pentingnya pelatihan-pelatihan tersebut, karena itu kami akan secara rutin minimal 4 kali dalam satu tahun mengadakan pelatihan untuk para fasilitator atau pengajar sanggar belajar dan pengurus Dreamdelion Cerdas. 

Sebuah Mimpi, Sebuah Janji, Sebuah Obsesi, Sebuah Permintaan #SejenakDiam #4

Ditulis : 27 Agustus 2011

Aku semakin berpiikir bila aku dilahirkan untuk memenuhi keinginan orangtuaku, untuk membuat mereka bangga dan bahagia, terlebih untuk mewujudkan mimpi mereka menjadikanku anak yang berguna untuk masyarakat.

Ibu mengajarkanku untuk bisa mengajar dan Bapak mengajarkanku untuk bisa memberi. Dan lalu aku menjadikan kedua hal ini sebagai dua hal mulia yang harus kulakukan dalam hidup : mengajar dan memberi.

Sampai kemarin Bapak masih memintaku untuk menjadi dosen, "kamu itu perempuan yang tidak boleh hanya memikirkan karir jadi harus bisa membagi waktu. Bapak pengen punya anak dosen."

Aku masih inget banget kata-kata Om Yakub kalau Mbah Buyut Mangun bilang keturunannya akan menjadi pengajar : guru, dosen, dan semacamnya. Dan lalu Om Yakub menambahkan kalimat bahwa aku adalah bagian dari keturunan yang akan menjadi pengajar. Hmmm you're have good insting, my uncle.

Dan memang mengajar itu menyenangkan karena saat mengajar seperti yang diajarkan ibu, aku juga bisa memberi seperti yang diajarkan Bapak. :D

Mulai mengajar dari SMA yaaaa meskipun cuma ngajarin anak tetangga... Lama-lama semakin berpikir mengajar itu sangat membuat aku merasa sangat nyaman. Dan lalu mengajar saat di universitas, mengajar untuk persiapan olimpiade ekonomi (OSN) di SMA 109 Jakarta dan Alhamdulillah 2 siswa lolos ke tahap selanjutnya, lalu mengajar anak2 di MASTER tapi sayangnya cuma sekali, dan mengajar untuk KOSACIL di kelompok anak usia >6 tahun.

Mengajar itu memberikan sensasi yang melejitkan imajinasi untuk membuat perubahan-perubahan berarti. Mengajar itu memberikan pengajaran pada pribadi untuk sabar, sabar memberi ilmu, sabar menghadapi kepolosan anak-anak, sabar mempelajari hal2 baru untuk tidak membuat diri terlihat bodoh di depan yang diajar.

2 Hari berada di Malang semakin menguatkan niat untuk menjadi seorang pengajar, menjadi dosen... Eyang Sunarto Ismunandar yang menjadi dosen di Unibraw benar-benar semakin meyakinkan niat ini.  Tepatnya menjadi dosen sekaligus peneliti. Ya pasti bisa!!! Aku pasti bisa!!! Aku harus bisa!!! Demi membahagiakan mereka dan demi Allah sebagai tujuan utama, Allah yang telah memberikan akal dan perasaan untuk terus bisa memberi dan berkontribusi. Bismillah... :D

Langkah awal sudah kupijakkan, mimpi sudah kuangankan, obsesi mulai tumbuh dalam diri, permintaan para pendahulu menjadi penyemangat perjalanan ini, dan aku mulai bersiap mengikrarkan janji... "Menjadi siapapun aku di masa nanti, aku akan dan HARUS tetap mengajar dan memberi."

Malang, 27 Agustus 2011