20140417

#Esai #Kompetisi #Kuliah



Abstraksi
Esai ini mengungkap tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) dan optimalisasiperanannya dalam pemberdayaan usaha mikro guna mengurangi angka kemiskinan di Indonesiamelalui penciptaan lapangan kerja bagi pengangguran. Berbagai strategtelah dilakukan untukmenstimulus keberadaan usaha mikro, namun usaha mikro tetap menghadapi beberapa hambatan berupa akses modal yang terbatas dan dihadapkan dengan peraturan-peraturan yang masih cukup menyulitkan dari Lembaga Keuangan Mikro Konvensional (LKMK). Strategi yang saat ini dirasa paling tepat untuk memberdayakan usaha mikro adalah mengoptimalisasi peran dari LKMS. Pemberdayaan LKMS yang menggunakan prinsip bagi hasil memberikan kesempatan bagimasyarakat miskin dan sangat miskin sebagai subyek yang aktif berperan dalam upaya pemberantasan kemiskinan melalui peminjaman modal untuk memulai usaha. Sayangnya tidak semua LKMS berhasil menjalankan misi pemberdayaan usaha mikro karena kurangnya modal, tidak adanya payung hukum yang jelas, dan resiko yang dihadapi. Solusi atas permasalahan tersebut adalah kerjasama pemerintah dengan LKMS dalam penyaluran pembentukan UU LKMSKeberadaan LKMS sejauh ini memberikan konstribusi positif dalam peran aktifnya memberdayakan usaha mikro, yaitu menciptakan lapangan kerja, meningkatkan produktifitas masyarakat miskin dan sangat miskin, mencegah ketimpangan distribusi pendapatan, dan pada akhirnya mengurangi angka kemiskinan sehingga solusi untuk mengatasi hambatan yang ada harus diilaksanakan.
Kata Kunci : Pengangguran, Kemiskinan, Usaha Mikro, LKMS, Indonesia.

Alia Noor Anoviar (0906490645)
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Pendahuluan

Badan Pusat Statistik (BPS) berpendapat bahwa indikator nominal rata-rata kemiskinan di Indonesia sebesar Rp 211.000 per bulan per orang berdasar tingkat kebutuhan makanan dan non makanan. Sementara itu, Bank Dunia telah membuat pengukuran relatif mengenai kemiskinan dengan berstandar pada konsep purchasing power parity, yakni mulai dari standar US$ 1 , US$ 1,25 hingga US$ 2 per hari. Menurut Bappenas, kemiskinan adalah ketidakmampuan dalam memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Berdasarkan tiga pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kemiskinan adalah suatu keadaan yang menunjukkan ketidakmampuan dalam memenuhi hak-hak dasarnya untuk hidup layak. Namun terdapat perbedaan indikator nominal antara standar kemiskinan yang ditetapkan oleh BPS dan Bank Dunia berkisar antara Rp 91.000 – Rp Rp 391.000 per bulan jika kurs $ diasumsikan Rp 10.000 dan dalam satu bulan diasumsikan 30 hari.
Anggota Komisi II DPR RI Budiman Sudjatmiko (2011) mengungkapkan bahwa Indonesia adalah satu-satunya negara dalam zona merah yang mengklaim berada di zona biru dalam hal kemiskinan. Tingkat kemiskinan domestik Indonesia berdasarkan data BPS menunjukkan posisinya di zona biru atau di bawah 20 persen. Padahal menurut standar Bank Dunia, Indonesia berada di zona merah dengan tingkat kemiskinan antara 41 persen sampai 60 persen. Level ini sama dengan beberapa negara Afrika, Yaman, Pakistan, Mongolia, Vietnam, dan Philipina.[1]
Menurut Rafiqoh Rokhim (2011)[2], jumlah penduduk miskin di Indonesia mengalami penurunan karena adanya KUR dan Program BLT. Sejak tahun 2006 sampai dengan 2010 berturut-turut sebesar 39,1 juta jiwa, 37,2 juta jiwa, 35,0 juta jiwa, 32,5 juta jiwa, dan per 2010 menurun kembali menjadi 31,02 juta jiwa. Hal ini berkorelasi positif dengan tingkat pengangguran yang juga menurun dari 10,28 % per Agustus 2006 menjadi 7,14 % per Agustus 2010 (BPS, 2010).
Berbagai program telah dilaksanakan dalam rangka pengentasan kemiskinan, namun masih terjadi banyak hambatan untuk menuju Indonesia bebas kemiskinan, misalnya pemerintah masih memosisikan masyarakat miskin dan sangat miskin sebagai objek daripada subjek dengan memberikan BLT. Seharusnya mereka dijadikan sebagai subjek, yaitu sebagai pelaku perubahan yang aktif terlibat dalam aktivitas program penanggulangan kemiskinan, salah satunya dengan memberikan Kredit Usaha Rakyat (KUR). Upaya dalam mengurangi angka pengangguran harus dilakukan karena memiliki korelasi terhadap angka kemiskinan. Upaya besar yang telah dilakukan sejauh ini adalah proyek Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri) yang telah menyebar hingga pelosok desa. Program ini memicu tumbuhnya UMKM terutama dalam skala usaha mikro sehingga dapat mengembangkan sektor riil Saat jumlah orang yang menganggur meningkat akan maka angka kemiskinan dan masalah sosial meningkat pula. di Indonesia.[3]Namun program ini juga mengalami hambatan, misalnya di Kabupaten Bireun terrdapat masalah dana tersendat sehingga proyek PNPM terlantar.[4]
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008, usaha mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria kepemilikan aset maksimal Rp 50.000.000,- dan omset maksimal Rp 200.000.000,-. Menurut Hendro Wibowo [5](2011), usaha mikro saat ini mencapi 99,9 % dari total UMKM di Indonesia yang memiliki potensi untuk dikembangkan sehingga mampu menampung pengangguran yang ada. Namun usaha mikro kerap kali tersendat masalah permodalan sehingga perlu adanya sarana pembiayaan. Sejauh ini telah ada Lembaga Keuangan Mikro Konvensional (LKMK) yang berperan aktif memberikan pinjaman pada UMKM, namun LKMK hanya memiliki sasaran pembiayaan orang miskin. Sementara itu, bagi orang sangat miskin seringkali tidak memiliki akses terhadap permodalan sehingga keberadaan Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) menjadi solusi potensial bagi kalangan tersebut untuk memiliki usaha mikro sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan pribadi pada khususnya dan mengurangi angka kemiskinan pada umumnya. LKMS dapat berbentuk lembaga keuangan bank, misalnya Bank Muamalat, dan non bank, misalnya BMT.
Lembaga Keuangan Mikro (LKM) ada untuk menolong masyarakat sanagt miskin sehingga mereka mampu menolong dirinya sendiri. Dalam kerangka itu, keuangan mikro dimaksudkan memberikan dukungan yang akan memberdayakan berbagai kemampuan yang dimiliki masyarakat miskin atau pengusaha kecil. Jadi, keuangan mikro adalah penyediaan jasa-jasa keuangan kepada anggota masyarakat yang berpenghasilan rendah (Luluk Widyawan, 2006).[6]Pemberdayaan usaha mikro melalui LKMS merupakan langkah strategis dalam menghadapi masalah klasik usaha mikro, yaitu akses terhadap modal yang terbatas. Hadi Paramu (2011)[7] menjelaskan bahwa persoalan mendasar usaha mikro adalah financial accessibility sehingga LKMS perlu memperhatikan hal ini sehingga usaha mikro yang menjadi target bisa mampu mengakses.
Tujuan penulisan esai ini adalah untuk mengkaji alternatif strategi yang dapat dikedepankan guna memutuskan mata rantai kemiskinan melalui pemberdayaan usaha mikro di Indonesia sebagai penggerak sektor riil yang menyentuh masyarakat miskin dan sangat miskin dengan optimalisasi sarana pembiayaan LKMS.

Pembahasan
II. 
Tabel 1 akan menggambarkan perbedaan antara Lembaga Keuangan Mikro Konvensional (LKMK) dan Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS).
Tabel 1 : Perbedaan antara LKMK dan LKMS[8]
Faktor
LKMK
LKMS
Sumber pendanaan
Dana pihak ketiga dan dana donor.
Dana pihak ketiga dan dana yang bersumber dari amal (ZIS).
Jenis pembiayaan
Berbasis bunga.
Bagi hasil, margin, dan ujrah (instrumen keuangan islam)
Sasaran pembiayaan
Orang miskin yang produktif.
Orang sangat miskin dan orang miskin produktif.
Transfer pendanaan
Diberikan dalam bentuk tunai.
Diberikan dalam bentuk produk (barang dan jasa).
Biaya pinjaman
Diambil dari sebagian dana pinjaman
Tidak dikenakan biaya.
Target kelompok
Wanita.
Keluarga.
Tujuan pembiayaan
Pemberdayaan wanita.
Mendapatkan ketentraman dan meningkatkan kesejahteraan
Penanggung jawab pinjaman
Penerima pinjaman.
Penerima pinjaman dan pasangannya.
Dorongan untuk bekerja
Moneter.
Perintah agama dan moneter.
Solusi gagal bayar
Tekanan dan ancaman dari kelompok.
Jaminan dari pasangannya, kelompok, dan etika islam.
Program pengembangan sosial
Sekuler, etika, dan sosial.
Keagamaan, etika, dan sosial.
Penulis pada tahun 2008 mengadakan riset mengenai “Peran Lembaga Keuangan Mikro (LKM) dalam Mengurangi Angka Kemiskinan di Indonesia”. Berdasarkan hasil penelitian lapanganyang dilaksanakan pada 100 nasabah LKM BRI Unit Jenggawah, Kecamatan Jenggawah, Kabupaten Jember secara acak menunjukkan bahwa peranan BRI sebagai LKM cukup efektif dalam upaya mengurangi angka kemiskinan di wilayah Jenggawah yang merupakan daerah sampel. Hal ini terbukti dengan meningkatnya pendapatan nasabah, adanya pendapatan yang dapat disisihkan untuk ditabung, dan terciptanya lapangan kerja baru.[9] Namun hasil penelitian tersebut juga mengindikasikan adanya kekurangan dari LKM Konvensional (LKMK), yaitu masih adanya kredit macet karena peminjam dana tidak memiliki kesadaran dalam pengembalian dana dimana dana yang seharusnya ditujukan untuk kegiatan produktif dialihkan menjadi kegiatan konsumsi artinya pengawasan dari pemberi pinjaman kurang ketat. Selain itu, masih banyak dari masyarakat di lokasi penelitian yang meminjam dana dari renternair, umumnya masyarakat kategori sangat miskin. Sistem bunga yang diberlakukan atas peminjaman wirausaha mikro kepada LKMK ternyata cukup memberatkan karena terdapat probabilitas usaha mikro yang didirikan tidak mampu bertahan dan mengalami kebangkrutan sehingga mereka tidak hanya terbatas dalam kemampuan pengembalian dana pinjaman, tetapi juga tidak mampu mengembalikan bunga atas pinjaman.
Persoalan-persoalan yang telah dijelaskan mengindikasikan bahwa para wirausaha mikro terutama dari kalangan masyarakat sangat miskin memiliki keterbatasan dalam mendapatkan akses modal dari LKM Konvensional. Dilema ini menjadi potensi untuk mengoptimalisasi peran LKMS sebagai alternatif sumber pendanaan untuk menggerakkan sektor riil di Indonesia. Tabel 1 menjelaskan beberapa perbedaan LKMK dan LKMS dengan jelas. Beberapa hal sebagaimana yang telah diungkap berdasarkan penelitian penulis (2008) akan diperbandingkan jika sarana pembiayaan yang digunakan para wirausaha mikro tersebut adalah LKMS.
1. Kredit macet dapat diawasi dengan pendampingan kepada wirausaha mikro sehingga tidak mengalami kegagalan dan perlu dibentuk kesadaran secara spiritual untuk mengembalikan pinjaman yang diterima dari LKMS. Pendampingan juga memperkecil probabilitas penyalahgunaan dana pinjaman, meskipun tidak dapat dielakkan.
2. Masyarakat yang masih meminjam pada renternair padahal pada lokasi tersebut terdapat LKMK, alasannya adalah tidak memiliki agunan atau tidak memenuhi persyaratan peminjaman padahal usaha mereka produktif, terutama masyarakat kategori sangat miskin. Sasaran pembiayaan dari LKMS adalah masyarakat sangat miskin dan miskin sehingga jika peran LKMS dalam diperluas dan dioptimalisasi maka akan mampu memberdayakan usaha mikro secara luas.
3. Saat para wirausaha mikro mengalami kebangkrutan maka tetap berkewajiban mengembalikan pinjaman beserta bunga pada LKMK. Jadi dapat diistilahkan sudah jatuh tertimpa tangga. Sementara pada LKMS, dilakukan pembimbingan terhadap usaha mikro tersebut selama berjalan, sebagaimana yang dilakukan pada BMT Halal Bank pimpinan Hendro Wibowo, dengan sistem bagi hasil sehingga saat mengalami kebangkrutan hanya mengembalikan dana pokok.
Peran sentral LKMS dalam pemberdayaan usaha mikro dapat dikatakan semakin penting. Hendro Wibowo (2011) mengungkapkan bahwa usaha mikro saat ini mencapai 99,9 % dari total UMKM secara keseluruhan sehingga memiliki potensi untuk berkembang pesat. Meskipun sumbangan dari usaha mikro jauh lebih kecil dibandingkan usaha kecil, menengah, dan besar, keberadaan usaha mikro dapat menjadi penggerak masyarakat sangat miskin dan miskin. Usaha mikro akan membuka lapangan kerja bagi pengangguran sehingga mengurangi masalah sosial yang ada saat ini. BMT Halal Bank yang didirikan Hendro dan kawan-kawan mengalami peningkatan pesat dimana awalnya bermodal aset jutaan rupiah menjadi 50 Miliar di tahun 2011 dimana telah membantu berbagai usaha mikro dengan konsep syariah. Efek dari peminjaman dana bagai usaha mikro tidak hanya mampu mengembangkan usaha mikro yang dibimbing, namun juga mampu mengembangkan BMT Halal Bank.
Keberadaan LKMS sebagai alternatif pendanaan penggerak sektor riil di Indonesia yang jelas memiliki kontribusi positif ternyata tidak terlepas dari berbagai hambatan terutama terkait resiko yang dihadapi. Hendro Wibowo (2011) menjelaskan bahwa LKMS tidak memiliki payung hukum dalam artian Undang-Undang LKMS dan keterbatasan modal dalam penyaluran dana bagi usaha mikro. Muchamad Setiawan (2010) menjelaskan resiko yang dihadapi LKMS sama dengan resiko yang dihadapi perbankan, meskipun LKMS merupakan lembaga keuangan bukan bank.Resiko terbesar yang dihadapi LKMS adalah resiko kredit karena peminjam juga berasal dari masyarakat sangat miskin yang memiliki berbagai keterbatasan pengelolaan usaha.
Langkah-langkah yang dapat ditempuh untuk mengoptimalisasi peran LKMS dalam pengembangan usaha mikro guna mengurangi angka kemiskinan di Indonesia, yaitu :
1. Pertama, mengenai potensi resiko maka LKMS harus membuat manajemen resiko LKMS sehingga dapat meminimalisasi kemungkinan resiko yang terjadi, terutama resiko kredit.
2. Kedua, program Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang digalakkan oleh pemerintah mengalami selisih dana sebesar Rp 3,8 triliun, dana yang awalnya hendak disalurkan adalah Rp 18 triliun dan hanya disalurkan Rp 14,2 triliun (2010). Pemerintah hendaknya menggandeng LKMS untuk menyalurkan KUR sehingga bisa tepat sasaran terutama menggerakkan masyarakat sangat miskin dan masyarakat miskin di Indonesia agar produktif. Masyarakat tersebut tentu juga memiliki potensi sehingga perlu dilakukan bedah potensi masyarakat miskin dan sangat miskin untuk meningkatkan kesejahteraan. Pelatihan, pemberian modal, dan sosialisasi harus dilaksanakan secara berkelanjutan. Bila memungkinkan, di setiap desa ditugaskan seorang konsultan untuk memberi pengarahan pada mereka dalam melaksanakan kegiatan usaha mikro yang dimiliki. Dengan dukungan permodalan dari pemerintah, LKMS tidak akan kesulitan mencari dana untuk disalurkan sebagai modal usaha.
3. Ketiga, terkait dengan tidak adanya payung hukum bagi LKMS maka perlu dibentuk Undang-Undang LKMS. Hal ini dimaksud untuk menjamin keberadaan LKMS dapat terjamin secara legal dan dipercaya oleh investor untuk menyimpan dana sehingga bisa disalurkan untuk menggerakkan sektor riil melalui peran aktif masyarakat miskin dan sangat miskin dengan membangun usaha dan mendapat kepercayaan dari masyarakat secara umum.
Melalui solusi yang ditawarkan atas permasalahan yang terjadi terkait LKMS di Indonesia, penulis mengharapkan LKMS dapat mengoptimalkan perannya dalam pemberdayaan usaha mikro sehingga mampu mencapai tujuan utama, yaitu mengurangi angka kemiskinan di Indonesia.

Kesimpulan & Saran

Kemiskinan merupakan isu sentral yang kronis dan harus cepat diatasi dengan strategi yang tepat untuk memutuskan mata rantai kemiskinan di Indonesia. Terutama fokus pada pemberdayaan usaha mikro dengan efektif. Pelibatan LKMS sebagai sumber mitra pemerintah dalam penyalur modal terhadap masyarakat sangat miskin dan masyarakat miskin dapat menunjang keberhasilan dalam memutuskan mata rantai kemiskinan di Indonesia. Alternatif solusi dalam esai ekonomi syariah yang diajukan oleh penulis, mencoba menjawab berbagai persooalan yang menempa keberadaan LKMS. Peran aktif pemerintah dan masyarakat dalam mendukung optimalisasi peran LKMS dalam memberdayakan usaha mikro sangat dibutuhkan untuk terealisasinya Indonesia bebas dari kemiskinan.


[1] Sumber : http://www.kaskus.us/showthread.php?p=369886955
[2] Rafiqoh Rokhim, SE, SIP, DEA, Ph.D dalam Kelas Pasar dan Lembaga Keuangan (PLK), Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 2011.
[3] Sumber : http://matanews.com/2010/02/28/dana-pnpm-bojonegoro-565-miliar/
[4] Sumber : http://www.pnpm-mandiri.org/index.php?option=com_content&view=article&id=155&Itemid=66&lang=in
[5] Diskusi dengan topik “Ekonomi Islam Solusi Membangun Peradaban” di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 9 Maret 2011.
[6] Sumber : Widyawan, Luluk. 20 Oktober, 2006. Memberdayakan Masyarakat dengan Kredit Mikro.
[7] Penulis berkomunikasi dengan Hadi Paramu, SE, MBA, PhD, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Jember melalui message facebook. 8 Maret 2011.
[8] “Financing Microenterprises : An Analitical Study of Islamic Microfinance Institution” dalam Islamic Economic Studies Journal, Vol. 9 No. 2, Maret 2002.
[9] Alia Noor Anoviar dan Ayurifa Abdillah. “Peranan Lembaga Keuangan Mikro dalam Mengurangi Angka Kemiskinan di Indonesia. Studi Kasus : LKM BRI Unit Desa Jenggawah, Jember. Juara 1 Lomba Karya Tulis Ekonomi SMA. Kompetisi Ekonomi 10, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
# Note : Jika ada yang salah mohon diberi saran. Masih proses belajar menulis tentang ekonomi syariah :)

No comments: