Mulai
dari top level hingga functional level di pemerintahan terjerat
tindak pidana korupsi (tipikor). Elite politik yang kerap berbicara tentang
bagaimana menciptakan pemerintahan bersih pun terbukti melakukan tipikor. ‘Uang
panas’ beredar untuk memenangkan tahta dan akhirnya membuat mereka melenggang
bebas merampas uang rakyat yang seharusnya dapat dialokasikan untuk pembangunan
dalam kerangka pemerataan kesejahteraan. Memanasnya kasus Nazaruddin mengungkap
korupsi berjama’ah di tubuh pemerintahan dan menyeret nama tokoh-tokoh politik
di Indonesia memunculkan sebuah pertanyaan menggelitik, masih adakah integritas
di negeri ini?
Mempertanyakan
integritas dalam dunia politik berarti mempertanyakan sebuah retorika. Para
pemangku kepentingan seringkali tidak mengatakan seluruh kebenaran, lalu
melakukan pengingkaran yang dibuat masuk akal sehingga publik menilai mereka
berada pada jalur yang benar sebagai pemangku kepentingan. Menjadi tidak
bijaksana jika citra politik digeneralisasikan, namun fakta menunjukkan
pengingkaran tersebut nyata terjadi. Saat integritas dijunjung dalam dunia
politik Indonesia, justru kecaman dan tuntutan lengser jabatan menghadang,
seperti dialami oleh Sri Mulyani.
Tingkat
pemberantasan korupsi di Indonesia secara global menduduki peringkat ke-47 dan
peringkat ke-2 terbawah di Asia Pasifik (United Press International, 2011). Ketua
KPK Busyro Muqodas (2011) menyatakan bahwa upaya pemberantasan korupsi terus
dilakukan, misalnya KPK tengah menunggu izin presiden untuk memeriksa 158
pejabat yang diduga terkait dengan korupsi dan 245 tersangka korupsi telah
ditangani KPK. Masih ingatkah dengan kasus Gayus Tambunan, Arthalita Suryani,
juga rekening gendut para jenderal polri? Indonesia, ladang strategis tipikor.
Pada
saat rezim Soeharto berkuasa, peran orang-orang yang bukan merupakan kerabat
Soeharto menjadi kurang signifikan terutama perempuan. Perempuan dianggap masih
tabu, lemah dan seringkali termarginalkan, dan dianggap lebih pantas menjadi
ibu rumah tangga daripada berpolitik. Akhirnya perempuan pada era orde baru
berjuang dengan berbagai tuntutan agar mendapatkan hak berpolitik, namun
perjuangan tersebut tidak mendapatkan hasil. Jerih payah tersebut justru
dirasakan di era reformasi, keterwakilan wanita dapat diajukan paling sedikit
30 persen setiap partai politik peserta pemilu anggota DPR, DPR provinsi, dan
DPRD kabupaten/kota, serta terdapat peningkatan partisipasi perempuan dalam
perpolitikan (Grafik). Pembahasan korupsi dan analisis gender pertamakali
dilakukan oleh para pakar pemberantasan korupsi seperti Danang Widoyoko (ICW), Erry Riana (Mantan Wakil Ketua KPK), dan Effendi Gazali (#SaveUI).
Jurnal
Perempuan edisi 72 (2012) memandang perlu menyoroti soal korupsi dan kaitannya
dengan isu gender mengingat buruknya dampak korupsi. Hal paling dasar yang
dikaji adalah bagaimana praktek korupsi menjadi sebuah kebudayaan yang akhirnya
mengikutsertakan perempuan menjadi koruptor, namun sangat sedikit literatur
yang membahas soal korupsi dan gender, padahal kini masalah korupsi sudah
mewabah di Indonesia dan telah menyeret sejumlah perempuan menjadi pelaku
korupsi. Sebut saja kasus-kasus besar yang melibatkan perempuan sebagai aktris
koruptor seperti kasus suap Wisma Atlet dan Kemendiknas yang melibatkan
Angelina Sondakh; penggelapan dana nasabah Citi Bank oleh Melinda Dee; dan cek
pelawat dalam pemilihan gubernur senior BI yang menunjuk Miranda Goeltom
sebagai tahanan KPK.
Padahal,
perempuan merupakan pihak yang paling banyak menerima dampak korupsi karena
posisinya di masyarakat dimana hal penanganan korupsi, perempuan kurang
diperhitungkan dampaknya. Kalaupun perempuan mengetahui ada ketidakadilan
akibat korupsi, perempuan tidak bisa bicara sekeras laki-laki ketika melawan
korupsi. Pembahasan korupsi dianggap pembahasan yang maskulin. Saat perempuan
menjadi terdakwa korupsi, umumnya bukan isu tentang korupsi yang menjadi
liputan media, namun isu-isu mengenai gaya hidup yang dijalaninya.
Namun
koruptor masih didominasi oleh laki-laki dimana jumlahnya lebih dari 90% (Mariana
Amiruddin, 2012). Saat ketidakpastian hukum merajalela, maka kemungkinan besar
perempuan yang menjadi pejabat publik akan terseret sebagai pelaku korupsi.
Artinya, semakin banyak perempuan yang duduk dalam jabatan publik dan
ketidakpastian hukum, maka sebagaimana laki-laki, perempuan pun akan mudah menjadi
pelaku kejahatan korupsi, meskipun koruptor kakap masih didominasi oleh
laki-laki.
Perwakilan
KPP-PA Sunarti (2012) menyatakan bahwa masalah perempuan dan korupsi tidak ada
hubungannya dengan identitas perempuan tersebut dimana korupsi adalah
semata-mata persoalan kekuasaan dan kesempatan. Perempuan berperan sentral
dalam pemberantasan korupsi yang dimulai dengan menjadi
pendidik dalam keluarga untuk mendorong generasi muda untuk bertindak jujur
dimana hal ini terbukti pada negara-negara Skandinavia yang memiliki peringkat
korupsi terendah. Menurut Erry (2012), setelah ditelusuri ternyata masyarakat
negara Skandinavia memiliki nilai-nilai budaya yang mengajarkan warga negaranya
sejak kecil untuk membedakan mana yang privat dan yang publik, atau mana yang
menjadi kepentingan pribadi dan publik.
Danang Widoyoko (2012) berpendapat bahwa terdapat kaitan erat
antara korupsi dan perempuan, serta mengapa sejauh ini
tidak dianggap penting dan tidak diakui dalam perbincangan pemberantasan
korupsi. Menurutnya persoalan korupsi dan gender adalah sebuah bab yang hilang
dimana seolah-olah korupsi adalah entitas yang normal, tidak ada persoalan
dimensi gender. Wacana tentang korupsi lebih dominan dipandang secara hukum
dimana gender tidak disebutkan dalam perangkat hukum kita dan digeneralisasi. Fakta
menunjukkan bahwa bukan mustahil bagi perempuan melakukan korupsi hanya karena
perempuan dianggap tidak memiliki karakter agresif dan kompetitif. Buktinya, di
negara-negara dengan tingkat keterwakilan perempuan yang tinggi, jumlah
koruptor perempuannya juga tinggi dibandingkan dengan negara-negara yang keterwakilan
perempuannya rendah.
Negara-negara
skandanavia memiliki peringkat korupsi terendah bukan karena banyaknya
perempuan yang terlibat, namun sistem politiknya. Perempuan yang menduduki
jabatan publik tidak otomatis berkuasa, atau belum tentu secara substansial
dapat menguasai. Terdapat misteri terkait jaringan di belakang praktek korupsi.
Apabila perempuan menjadi pejabat publik maka dia tidak otomatis masuk atau
menggunakan jaringan tersebut, perempuan justru diekslusi dan secara
substansial tidak menjadi pengambilan keputusan. Hal ini mengindikasikan bahwa
perempuan cenderung sekedar menjadi alat politik yang mengarahkan pada tipikor.
Tidak
dapat digeneralisasi bahwa pejabat dan birokrat perempuan memiliki tendensi
untuk menjadi koruptor. Pemberantasan korupsi sendiri merupakan kepentingan
politik perempuan karena selama ini perempuan menjadi korban utama, bukan
pelaku utama. Rocky Gerung di dalam Jurnal
Perempuan (2012) menegaskan bahwa kepekaan moral, rasa keadilan, kepedulian etis, dapat diajukan sebagai keunggulan natural perempuan,
suatu dasar antropologi untuk mewujudkan pemerintahan anti
korupsi. Sri Mulyani menunjukkan sosok birokrat yang melakukan
terobosan-terobosan pemberantasan praktik korupsi dari institusinya, namun
sayangnya justru terdepak dari pemerintahan. Dr. Ratna Sitompul, Dekan FKUI,
yang gigih menyuarkan anti korupsi di kampus UI dan menjadi bagian dari Gerakan
#SaveUI. Saat terdapat gerakan bersama perempuan yang dimulai dari level
keluarga hingga level pemerintahan untuk berkomitmen mencegah dan memberantas
tipikor dengan hak politiknya, maka bukan mustahil praktek busuk ini dapat
dibumihanguskan di Indonesia khususnya. Perempuan-perempuan yang menjadi
pemimpin perlu melakukan gebrakan dan menunjukkan komitmennya untuk memberantas
korupsi karena sekali lagi perempuan merupakan korban utama, bukan pelaku utama
tipikor di Indonesia.
Dibuat untuk mengikuti :
1st The School for Indonesia Anti Corruption Student Ambassador
Mahasaksi, Universitas Gadjah Mada (UGM)
Yogyakarta, 10 Juni 2012
Alia Noor Anoviar
Mahasiswi Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM)
Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia
No comments:
Post a Comment