20120609

Perempuan Bukan Sekedar Boneka Politik : Menagih Partisipasi Perempuan di Kancah Politik dan Perannya dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tipikor di Indonesia




Mulai dari top level hingga functional level di pemerintahan terjerat tindak pidana korupsi (tipikor). Elite politik yang kerap berbicara tentang bagaimana menciptakan pemerintahan bersih pun terbukti melakukan tipikor. ‘Uang panas’ beredar untuk memenangkan tahta dan akhirnya membuat mereka melenggang bebas merampas uang rakyat yang seharusnya dapat dialokasikan untuk pembangunan dalam kerangka pemerataan kesejahteraan. Memanasnya kasus Nazaruddin mengungkap korupsi berjama’ah di tubuh pemerintahan dan menyeret nama tokoh-tokoh politik di Indonesia memunculkan sebuah pertanyaan menggelitik, masih adakah integritas di negeri ini?

Mempertanyakan integritas dalam dunia politik berarti mempertanyakan sebuah retorika. Para pemangku kepentingan seringkali tidak mengatakan seluruh kebenaran, lalu melakukan pengingkaran yang dibuat masuk akal sehingga publik menilai mereka berada pada jalur yang benar sebagai pemangku kepentingan. Menjadi tidak bijaksana jika citra politik digeneralisasikan, namun fakta menunjukkan pengingkaran tersebut nyata terjadi. Saat integritas dijunjung dalam dunia politik Indonesia, justru kecaman dan tuntutan lengser jabatan menghadang, seperti dialami oleh Sri Mulyani.

Tingkat pemberantasan korupsi di Indonesia secara global menduduki peringkat ke-47 dan peringkat ke-2 terbawah di Asia Pasifik (United Press International, 2011). Ketua KPK Busyro Muqodas (2011) menyatakan bahwa upaya pemberantasan korupsi terus dilakukan, misalnya KPK tengah menunggu izin presiden untuk memeriksa 158 pejabat yang diduga terkait dengan korupsi dan 245 tersangka korupsi telah ditangani KPK. Masih ingatkah dengan kasus Gayus Tambunan, Arthalita Suryani, juga rekening gendut para jenderal polri? Indonesia, ladang strategis tipikor.

Pada saat rezim Soeharto berkuasa, peran orang-orang yang bukan merupakan kerabat Soeharto menjadi kurang signifikan terutama perempuan. Perempuan dianggap masih tabu, lemah dan seringkali termarginalkan, dan dianggap lebih pantas menjadi ibu rumah tangga daripada berpolitik. Akhirnya perempuan pada era orde baru berjuang dengan berbagai tuntutan agar mendapatkan hak berpolitik, namun perjuangan tersebut tidak mendapatkan hasil. Jerih payah tersebut justru dirasakan di era reformasi, keterwakilan wanita dapat diajukan paling sedikit 30 persen setiap partai politik peserta pemilu anggota DPR, DPR provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, serta terdapat peningkatan partisipasi perempuan dalam perpolitikan (Grafik). Pembahasan korupsi dan analisis gender pertamakali dilakukan oleh para pakar pemberantasan korupsi seperti Danang Widoyoko (ICW), Erry Riana (Mantan Wakil Ketua KPK), dan Effendi Gazali (#SaveUI).

Jurnal Perempuan edisi 72 (2012) memandang perlu menyoroti soal korupsi dan kaitannya dengan isu gender mengingat buruknya dampak korupsi. Hal paling dasar yang dikaji adalah bagaimana praktek korupsi menjadi sebuah kebudayaan yang akhirnya mengikutsertakan perempuan menjadi koruptor, namun sangat sedikit literatur yang membahas soal korupsi dan gender, padahal kini masalah korupsi sudah mewabah di Indonesia dan telah menyeret sejumlah perempuan menjadi pelaku korupsi. Sebut saja kasus-kasus besar yang melibatkan perempuan sebagai aktris koruptor seperti kasus suap Wisma Atlet dan Kemendiknas yang melibatkan Angelina Sondakh; penggelapan dana nasabah Citi Bank oleh Melinda Dee; dan cek pelawat dalam pemilihan gubernur senior BI yang menunjuk Miranda Goeltom sebagai tahanan KPK.

Padahal, perempuan merupakan pihak yang paling banyak menerima dampak korupsi karena posisinya di masyarakat dimana hal penanganan korupsi, perempuan kurang diperhitungkan dampaknya. Kalaupun perempuan mengetahui ada ketidakadilan akibat korupsi, perempuan tidak bisa bicara sekeras laki-laki ketika melawan korupsi. Pembahasan korupsi dianggap pembahasan yang maskulin. Saat perempuan menjadi terdakwa korupsi, umumnya bukan isu tentang korupsi yang menjadi liputan media, namun isu-isu mengenai gaya hidup yang dijalaninya.

Namun koruptor masih didominasi oleh laki-laki dimana jumlahnya lebih dari 90% (Mariana Amiruddin, 2012). Saat ketidakpastian hukum merajalela, maka kemungkinan besar perempuan yang menjadi pejabat publik akan terseret sebagai pelaku korupsi. Artinya, semakin banyak perempuan yang duduk dalam jabatan publik dan ketidakpastian hukum, maka sebagaimana laki-laki, perempuan pun akan mudah menjadi pelaku kejahatan korupsi, meskipun koruptor kakap masih didominasi oleh laki-laki.

Perwakilan KPP-PA Sunarti (2012) menyatakan bahwa masalah perempuan dan korupsi tidak ada hubungannya dengan identitas perempuan tersebut dimana korupsi adalah semata-mata persoalan kekuasaan dan kesempatan. Perempuan berperan sentral dalam pemberantasan korupsi yang dimulai dengan menjadi pendidik dalam keluarga untuk mendorong generasi muda untuk bertindak jujur dimana hal ini terbukti pada negara-negara Skandinavia yang memiliki peringkat korupsi terendah. Menurut Erry (2012), setelah ditelusuri ternyata masyarakat negara Skandinavia memiliki nilai-nilai budaya yang mengajarkan warga negaranya sejak kecil untuk membedakan mana yang privat dan yang publik, atau mana yang menjadi kepentingan pribadi dan publik.

Danang Widoyoko (2012) berpendapat bahwa terdapat kaitan erat antara korupsi dan perempuan, serta mengapa sejauh ini tidak dianggap penting dan tidak diakui dalam perbincangan pemberantasan korupsi. Menurutnya persoalan korupsi dan gender adalah sebuah bab yang hilang dimana seolah-olah korupsi adalah entitas yang normal, tidak ada persoalan dimensi gender. Wacana tentang korupsi lebih dominan dipandang secara hukum dimana gender tidak disebutkan dalam perangkat hukum kita dan digeneralisasi. Fakta menunjukkan bahwa bukan mustahil bagi perempuan melakukan korupsi hanya karena perempuan dianggap tidak memiliki karakter agresif dan kompetitif. Buktinya, di negara-negara dengan tingkat keterwakilan perempuan yang tinggi, jumlah koruptor perempuannya juga tinggi dibandingkan dengan negara-negara yang keterwakilan perempuannya rendah.

Negara-negara skandanavia memiliki peringkat korupsi terendah bukan karena banyaknya perempuan yang terlibat, namun sistem politiknya. Perempuan yang menduduki jabatan publik tidak otomatis berkuasa, atau belum tentu secara substansial dapat menguasai. Terdapat misteri terkait jaringan di belakang praktek korupsi. Apabila perempuan menjadi pejabat publik maka dia tidak otomatis masuk atau menggunakan jaringan tersebut, perempuan justru diekslusi dan secara substansial tidak menjadi pengambilan keputusan. Hal ini mengindikasikan bahwa perempuan cenderung sekedar menjadi alat politik yang mengarahkan pada tipikor.

Tidak dapat digeneralisasi bahwa pejabat dan birokrat perempuan memiliki tendensi untuk menjadi koruptor. Pemberantasan korupsi sendiri merupakan kepentingan politik perempuan karena selama ini perempuan menjadi korban utama, bukan pelaku utama. Rocky Gerung di dalam Jurnal Perempuan (2012) menegaskan bahwa kepekaan moral, rasa keadilan, kepedulian etis, dapat diajukan sebagai keunggulan natural perempuan, suatu dasar antropologi untuk mewujudkan pemerintahan anti korupsi. Sri Mulyani menunjukkan sosok birokrat yang melakukan terobosan-terobosan pemberantasan praktik korupsi dari institusinya, namun sayangnya justru terdepak dari pemerintahan. Dr. Ratna Sitompul, Dekan FKUI, yang gigih menyuarkan anti korupsi di kampus UI dan menjadi bagian dari Gerakan #SaveUI. Saat terdapat gerakan bersama perempuan yang dimulai dari level keluarga hingga level pemerintahan untuk berkomitmen mencegah dan memberantas tipikor dengan hak politiknya, maka bukan mustahil praktek busuk ini dapat dibumihanguskan di Indonesia khususnya. Perempuan-perempuan yang menjadi pemimpin perlu melakukan gebrakan dan menunjukkan komitmennya untuk memberantas korupsi karena sekali lagi perempuan merupakan korban utama, bukan pelaku utama tipikor di Indonesia.

Dibuat untuk mengikuti :
1st The School for Indonesia Anti Corruption Student Ambassador
Mahasaksi, Universitas Gadjah Mada (UGM)
Yogyakarta, 10 Juni 2012

Alia Noor Anoviar

Mahasiswi Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM)
Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia

No comments: