20110429

Memandang Disabilitas sebagai Suatu Keunikan, Do You Think So???



-Saat seseorang menjadikan disabilitas yang dimiliki menjadi kapabilitas yang luar biasa.-

Bu Mimi & Bu Dwi Widiastri
Jumat, 29 Maret 2011. Seperti biasa pada sekitar pukul 13.15 saya masuk ke dalam kelas Komunikasi Bisnis di FEUI. Namun suasana kali ini tampak berbeda, bangku-bangku disusun berbentuk U dan ada dua kursi di depan. Seperti yang dijanjikan oleh dosen saya, Bu Dwi Widiastri, kali ini kami akan kedatangan seorang dosen tamu spesial yaitu pemilik dari Mimi Institute, Dra. V. L. Mimi Mariani Lusli, M.Si, M.A. Saat beliau memasuki ruangan, pandangan saya dan teman-teman beralih dan mungkin tidak tampak lagi kebingunggan dalam raut wajah kami karena Bu Dwi sebelumnya telah menjelaskan kondisi dari Bu Mimi.

Dra. V. L. Mimi Mariani Lusli, M.Si, M.A. adalah seorang praktisi pendidikan dan konsultan disabilitas yang ternyata memiliki disabilitas dalam hal penglihatan. Saat usianya 10 tahun penglihatannya mulai menurun, namun dokter terus memberikan harapan kepadanya dengan menyuruhnya mengkonsumsi vitamin-vitamin agar penglihatannya kembali seperti awal. Namun waktu demi waktu berlalu sampai pada usia ke 17 tahun, dokter mengabarkan bahwa penyakitnya tidak bisa disembuhkan dan masih dilakukan penelitian hingga saat ini. “Saat itu saya marah karena dokter baru sekarang mengatakannya pada saya…” ujar Bu Mimi. Tetapi ternyata seiring berjalannya waktu, beliau dapat survive dalam menjalani hidup dan saat ini menjadi salah satu orang yang fokus menangani masalah disabilitas.

Pertanyaan awal yang beliau berikan kepada kami, “apa yang kalian rasakan saat melihat orang cacat?” Jawaban-jawaban pun bermunculan, ada yang bilang ingin menolong, kasihan, hebat, merasa dirinya lebih beruntung, sedih, malu, dan lain-lain. Pada kenyataannya, kecacatan selama ini dipahami sebagai handicap, impairment, dan disability. Namun dari tiga pemahaman tersebut, kata mana yang paling tepat untuk menggambarkan kecacatan? Pertama, saat kecacatan diartikan sebagai handicap berarti kecacatan adalah suatu keterbatasan. Sedangkan keterbatasan tersebut sebenarnya tidak dimiliki oleh orang cacat saja, tetapi juga dimiliki oleh orang normal seperti kita. Kedua, jika kecacatan diartikan sebagai impairment berarti kecacatan menggambarkan sesuatu yang rusak. “Hanya retina saya yang rusak saat saya berusia 10 tahun. Retina hanya bagian dari anggota tubuh saya artinya tidak semua bagian dari tubuh saya yang rusak,” jelasnya. Ketiga, apabila kecacatan dianggap sebagai disabilitas artinya ada ketidakmampuan dalam diri seseorang. Maka kata yang paling pantas untuk menggantikan kata ‘cacat’ yang kerap kali berkonotasi negatif adalah ‘disabilitas’.

Penggunaan kata ‘cacat’ juga harus mulai ditinggalkan karena cacat itu misalnya barang cacat adalah sesuatu yang kesannya harus dibuang, sementara jika kata tersebut digunakan untuk manusia maka akan memiliki kesan kurang menghargai. Selain penggunaan kata ‘cacat’, penggunaan kata ‘tuna’ juga harus dipertimbangkan lagi untuk digunakan. Tuna = Tanpa. Bu Mimi menyatakan, “saya punya mata kok, hanya tidak dapat berfungsi jadi saya bukan tuna netra (tanpa mata).”

UU No 4 Th 1997 tentang penyandang cacat di Indonesia sudah lama, namun hanya segelintir orang yang mengetahui  keberadaannya. Ada beberapa alasan yang mendasari kurang dikenalnya undang-undang tersebut, yaitu kurangnya kepedulian orang di Indonesia terhadap sesama yang memiliki disabilitas dan pemerintah yang kurang dalam melakukan sosialisasi (membuat undang-undang sekedar disimpan dalam laci). International Classification Function (ICF) dari PBB menyatakan bahwa disabilitas mengakibatkan seseorang memiliki body disfunction, activity limitation, participation restriction, personal, and environment. Bu Mimi kembali mencontohkan dirinya dimana dia tidak dapat berpartisipasi di dalam kelas bukan karena lemahnya intelegensi yang dimiliki, tetapi adanya disabilitas yang memutuskan jembatan komunikasinya dengan guru. Misalnya saat guru hanya menggunakan kalimat : “Ini dikali ini sama dengan?”, maka akan ada kesulitan untuk menjawab pertanyaan tersebut karena keterbatasan tidak bisa melihat apa yang ditulis di papan. Hal ini tentu akan berbeda saat guru menggunakan kalimat : “Dua dikali tiga sama dengan?”

Indonesia bersama 154 negara lain ikut serta dalam menandatangani Convention on the Right of Person with Disability (CRPD) pada tahun 2007 di Jenewa sehingga seharusnya memiliki tanggung jawab unttuk menyediakan fasilitas bagi penyandang disabilitas, namun hal ini belum terlihat nyata. Sarana pendukung aktifitas bagi penyandang disabilitas masih terbatas di Indonesia dan hal ini berbeda dengan apa yang telah dilakukan diluar negeri dimana terdapat ’Layanan Disabilitas’, misalkan (1) saat ingin berbelanja dapat menelpon supermarket lalu penyandang disabilitas akan ditemani berbelanja dan (2) fasilitas umum seperti kendaraan umum yang memiliki tempat duduk khusus bagi penyandang disabilitas dimana masyarakatnya juga memiliki kepeduliaan dengan mengutamakan fasilitas tersebut bagi yang benar-benar membutuhkan. Hal ini berbeda menurut Bu Mimi dengan kondisi di Indonesia, masyarakat bahkan masih banyak yang bersikap acuh seperti saat penyandang disabilitas penglihat menyebrang jalan bukannya membantu tapi malah meneriaki dengan kalimat tidak sopan seperti “Woy mata lo kemana?” atau “Heh gak ngelihat ya?”. Kesadaran untuk menghargai dan menghormati sesama harus ditumbuhkan secara pribadi, tentu tidak dapat diipaksakan pada masing-masing individu. Mungkin ada satu kunci versi saya agar orang dalam kondisi normal memahami kondisi para penyandang disabilitas : “Tanyakan pada diri anda sendiri, bagaimana anda saat berada pada posisi mereka yang terbatas dalam penglihatan, pendengaran, atau keterbatasan-keterbatasan lainnya.”

Pertanyaan selanjutnya yang beliau ajukan, “Saya unik atau abnormal?”. Saat semua menjawab ‘unik’ maka beliau mulai menanyakan alasan mengapa orang mengatakan dirinya unik. “Setiap orang pasti unik karena diciptakan berbeda oleh Tuhan. Coba teman-teman bayangkan, teman-teman kalau baca pakai mata sedangkan saya membaca pakai tangan. Artinya, saya bisa melihat tetapi dengan cara berbeda.” Begitu pula dengan penyandang disabilitas lainnya juga memiliki keunikan. Orang yang tidak dapat mendengar, membaca apa yang dikatakan orang melalui matanya. Orang yang tidak berjalan, kalau normalnya dengan kaki maka mereka dapat berjalan dengan roda. Keunikan itu sendiri sebenarnya wujud dari bhineka tunggal ika yang selama ini mengkoar-koarkan toleransi dalam kehidupan. Disabilitas, sesuatu yang unik bukan?

Tentu tidak ada seorang pun yang ingin dilahirkan dalam kondisi terbatas. Keterbatasan itu dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu pre natal, natal, dan past natal. Pre natal adalah kondisi sebelum kelahiran atau pada masa kehamilan misalnya disebabkan oleh keturunan, virus, saat pembuahan janin, atau suami merupakan perokok berat sehingga memang disabilitas pada anak tidak dapat disalahkan secara penuh kepada pihak perempuan. Natal merupakan kondisi saat kelahiran misalkan anak yang lahir prematur lalu terlalu lama di dalam inkubator dengan mata yang tidak tertutup kain hitam sehingga bisa menyebabkan disabilitas penglihatan. Past natal lebih luas lagi pada masa kehidupan seseorang misalnya kecelakaan.

Disabilitas merupakan isu lintas sektoral, bukan hanya sekedar memberikan belas kasih atau charity tetapi bagaimana menghargai mereka yang hidup dalam keterbatasan. Penanganan disabilitas selama ini dibedakan menjadi dua, yaitu model medis dan model sosial. Dalam penerapannya, model sosial yang dianggap paling utama. Lingkungan yang perlu berubah untuk menyesuaikan dengan para penyandang disabilitas karena didalamnya terdapat berbagai variabel, namun hal ini bukan berarti para penyandang disabilitas tidak mau melakukan perubahan, hanya saja mereka tidak mampu untuk melakukannya sehingga membutuhkan aksesbilitas. UUD 1945 Pasal 28 merupakan dasar untuk menjelaskan kewajiban dalam memberikan aksesbilitas bagi mereka.

Lingkungan keluarga memainkan peran sentral dalam menyokong semangat para penyandang disabilitas tersebut. Bu Mimi mengungkapkan, “tidak mudah untuk melabel diri sebagai seorang tuna netra. Awalnya setiap kali ditanya hanya bisa menangis, namun karena keluarga saya menjadi sedikit demi sedikit terbiasa menjalani kehidupan. Mereka membuat saya menjadi lupa dengan kondisi ini…” Saat Bu Mimi divonis dokter tidak bisa disembuhkan, orangtuanya tidak lantas menyalahkan dirinya. Sebaliknya, mereka mengatur berbagai kegiatan sehingga membuat dirinya tidak bengong di rumah. Dari hal-hal kecil yang dilakukan orangtuanya, Bu Mimi menjadi terbiasa menghafal hal-hal disekitarnya sehingga saat penglihatannya benar-benar mulai menghilang maka tidak terlalu menyulitkannya dalam beraktifitas, meskipun memang membutuhkan bantuan orang disekitarnya sebagai fasilitator.

Satu hal lagi yang menarik dari sosok Bu Mimi dan sekaligus cambuk bagi para mahasiswa untuk menjadi lebih bersemangat dalam belajar. Bayangkan bagaimana seseorang dengan disabilitas penglihatan bisa menyelesaikan pendidikan sampai pada S3? Tentu bukan hal mudah jika dibandingkan apabila hal tersebut dilakukan oleh orang normal. Saat SMA, Bu Mimi meminta tolong kepada teman-temannya untuk membacakan buku lalu dia akan merekamnya dengan tape recorder sehingga akan lebih mudah untuk belajar materi yang sama tanpa harus minta tolong dibacakan kembali. Menginjak S1 tentu materi kuliah semakin banyak dan tidak mungkin baginya meminta tolong teman untuk membacakan karena setiap kali ujian bisa dari tiga buku bahkan. Akhirnya setiap 3 minggu sebelum ujian, Bu Mimi selalu menanyakan pada dosen tentang bab-bab mana saja yang akan keluar pada ujian sehingga lebih spesifik bagi dirinya untuk belajar. Akhirnya timbullah simbiosis mutualisme antara Bu Mimi dan teman-temannya sehingga teman-teman Bu Mimi dengan senang hati membantunya belajar dan Bu Mimi dengan senang hati membagi bab berapa saja yang akan menjadi bahan ujian sehingga semuanya mendapat nilai yang baik. “Semua orang bisa mendapatkan keuntungan dari saya,” ucapnya disambut gelak tawa seisi kelas.

Pada penutup sesi, Bu Mimi mengajarkan pada kami tentang bagaimana membantu orang dengan disabilitas penglihatan. Pertama, menawarkan bantuan. Kedua, mengetahui bantuan apa yang dibutuhkan, Ketiga, mengenali karakteristik dari orang tersebut. Selain itu, beliau juga memberitahu bahwa orang dengan tongkat yang memiliki strip merah menandakan orang tersebut mengalami disabilitas penglihatan. Lebih dalam lagi, beliau melakukan simulasi dengan bantuan Diandra, salah satu mahasiswi kombis, untuk memperagakan bagaimana menuntun orang dengan disabilitas penglihatan. Rumus pentingnya adalah 3S yaitu Sapa, Sentuh, dan Salam. Sentuhan dilakukan di bahu tangan agar tidak membentuk hal-hal negatif.

Dari cerita saya yang panjang ini, satu hal yang saya rasa pantas untuk diberikan pada Bu Mimi, yaitu Inspirasional. Sosok itu mampu mengubah disabilitas menjadi kapabilitas. Bahkan beliau bisa membuat buku dengan judul “Helping Children with Sight Loss”. Sangat hebat, bukti bahwa orang dengan disabilitas tidak pantas untuk dipandang rendah. Mereka memiliki keunikan, yang tidak kita miliki sebagai orang biasa. Tugas kita adalah menjadikan mereka sosok yang positif sehingga bisa membangkitkan semangat mereka untuk terus berjalan menjalani hidup ini, menjadi lebih berarti.

 Oleh : Alia Noor Anoviar
Depok, 29 April 2011. Kelas A103.
Kelas Komunikasi Bisnis yang tidak sekedar mengajarkan cara berkomunikasi,
tetapi juga mendatangkan inspirasi berbeda setiap pertemuannya :D
Big Thanks to Ms. Dwi Widiastri

1 comment:

muslih21 said...

Terima kasih informasinya, blognya ringan gan.. ayo galakan kepedulian masyarakat terhadap para penyandang cacat di Indonesia.

Pernahkah anda merasa betapa kasihannya para penyandang cacat di Indonesia?.

Bagaimana tanggapan keras anda mewujudkan Indonesia akan hak para orang cacat Disabilitas dan Pandangan Masyarakat untuk sekarang ini?